Minggu, 09 Februari 2014


Sabtu 8 Februari 2014, sebuah Desa yang menjadi salah satu tempat bermainku, tepatnya di desa Sambak, kecamatan Kajoran, Magelang. Dulu waktu masih SMP aku pernah menyambangi desa ini, karena temanku cukup banyak  tinggal di desa ini. sekitar delapan tahun kemudian perubahan desa ini cukup signifikan, mungkin dahulu jalan utama masih kurang bagus, jalan lorong-lorong desa menuju dusun belum di cor, sehingga tak mudah kendaraan melaluinya, sekolah-sekolah masih sederhana, dan mungkin waktu itu belum ada LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Wana Hijau Lestari (Link keren Sob:http://wanahijaulestari.wordpress.com/), stasiun radio komunitas SKP FM (Suara Kampung Pintar), Perpustakaan desa, dan Lembaga keuangan mikro yang seperti saat ini yang aku lihat. Aku hampir lupa dengan desa ini, seolah aku belum pernah hadir disini, mungkin karena perubahan fisik dan masyarakatnya yang sangat dinamis.
Keren Sob

Satu jam jarak tempuh desa ini dari rumahku, awalnya aku agak sedikit lupa jalan menuju desa ini, tapi cukup terbantukan dengan adanya beberapa spanduk yang bertuliskan “Forum Desa Nusantara”(Link:http://www.forumdesa.org/  ) di beberapa persimpangan jalan menuju desa ini, sebagai petunjuk jalan. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah kantor LMDH desa yang keren ini, karena cukup jarang ada sekolompok masyarakat di desa yang kemudian menginisiasi sebuah LMDH. Perjalananku aku lanjutkan di sebuah sekolah Madrasyah Ibtidaiyah yang nampaknya dimiliki oleh sebuah Yayasan yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat. Nampak bangunan masjid, sekolah dan PAUD yang  bagus dan mewadahi. Ini menandakan pendidikan masyarakat di sini cukup ter-openi.
Yayasan Pendidikan
nii dia sekolahnya

Dari kejauhan nampak sekumpulan remaja sedang sibuk memasang spanduk dan menempel beberapa kertas bertuliskan petunjuk parkir. Mereka terlihat kompak, tak menunggu lama karena bosan menunggu di depan MI aku samperin mereka. Mereka ternyata bagian dari panitia, semua berkalung kartu pengenal. Aku memulai pembicaraan dengan menyapa mereka, yang ternyata ramah-ramah. Sambil ngobrol, tentu sedikit aku curi informasi tentang kepanitiaan mereka. Yang menarik ternyata mereka sudah terbiasa dengan kepanitiaan. Wah keren ni desa. Ternyata pemuda di sini sejak Sekolah Dasar sudah mulai di masukan dalam kepanitiaan kegiatan tingkat desa. Melalui perkumpulan remaja se-dusun, mereka diorganisir dan diberi tanggungjawab, mulai hal yang sifatnya sederhana seperti membagi surat undangan atau menjadi bagian dari kepanitiaan saat ada hajatan di desa. Ternyata kebiasaan ini membawa mereka ke sebuah hajatan Nasional yang hari ini diselenggarakan yaitu; Forum Desa Nusantara.
pameran produk desa

Pukul 11 orang-orang berjumbel mulai memadati Sebuah sekolah Negeri yang dibangun di sebah punggung bukit di desa Sambak. Aku mengarah kesana, Bendera Merah Putih di sepanjang jalan naik menuju SD menyabut para tamu undangan. Rencananya sekitar 350 peserta dari seluruh nusantara yang terdiri dari perwakilan daerah, para pejabat pusat serta daerah, dan penggiat LSM akan hadir di desa ini. Mungkin dulu orang-orang desa tak terbayangkan, desa mereka yang gterletak di kaki gunung ini akan menjadi tuan rumahnya perhelatan akbar, tapi karena keaktifan mereka sendiri, Forum Desa Nusantara menunjuk desa agar acara ini terlaksana di sini. Sebuah gapura dari bambu yang dihiasai dedaunan dan hiasan dari pohon padi indah menjadi gerbang kami menuju sekolah. Beberapa pemudi sudah duduk menyodorkan daftar absensi di atas meja. Aku bubuhi kertas dengan nama dan perwakilan “PatriotID” yang aku yakin semua orang disini belum tau.hehe


Tarian gugur gunung, jatilan, dan tari topeng hasil kreasi anak-anak Sambak mampu menghanyutkan para hadirin dalam suasana keindahan seni desa yang kini mulai banyak bangkit. Seni desa menjadi media pendekatan para local champion di Sambak. Konon, Sambak ini masyarakatnya belum kompak hingga ada beberapa remaja yang aktif, mereka mengorganisir melalui pendekatan seni lokal. Dari sinilah kemudian tak hanya seni yang tumbuh, kreatifitas, pemberdayaan ekonomi sampai usaha kecil-kecilan tergagas karena ada kumpulan yang positif.
penampilan kesenian dari desa sambak

Pukul 13.00 acara orasi tentang Tasyakuran pengesahan UU Desa No 6 tahun 2014 di mulai (Download UU Desa, Link; http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/ruu-sudah-disetujui), cukup banyak yang hadir. Semua pembicara kecuali gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo hadir. Terlihat beberapa tamu agung seperti  Wakil Gubernur Jateng, Ketua dan wakil ketua Pansus RUU Desa Ahmad Muqowwan dan Budiman Sudjatmiko, Bupati Wonosobo yang telah dua periode sukses meningkatkan kesejahteraan desa yaitu  Kholiq Arif, dan Staf Kemendagri yang ternyata orang Aceh Tardmizi Karim. sedangkan dari kalangan aktivis dan praktisi pendidikan diwakili oleh Agus Tri Harjono dan Arie Sudjito, dosen sosiologi UGM. Orang-orang inilah dari sebagian kecil pejuang disahkannya RUU Desa.
Orasi

Semua bersemangat meluapkan kegembiraan  dan rasa syukur atas resminya UU Desa. Orasi para tokoh ini sungguh memukau. Kalau boleh sedikit meredaksikan dari orasi sebagian para tokoh yang hadir, kurang lebih seperti ini;
Budiman Sujatmiko kurang lebih mengatakan “ ini adalah sebuah era baru, yang mana sejak kelahiran Bangsa Indonesia terbitnya atau lahirnya UU yang banyak dibicarakan orang lintas lapisan masyarakat mulai dari desa hingga mereka yang sembunyi di balik tingginya gedung yaitu ada dua; yang pertama UU Agraria tahun 60-an dan UU Desa tahun 2014. Bahkan sebelum saya kesini puluhan pers dan jurnal Internasional menunggu klarifikasi dari saya soal latar belakang lahirnya UU Desa. Ini menandakan bahwa UU Desa mempunyai kekuatan tersendiri dan menyangkut nasib banyak orang."
Arie Sudjito kurang kebih mengatakan; "Kini desa mendapat hak-haknya kembali, setelah sejak lahirnya bangsa ini posisi desa hanya menjadi obyek pembangunan, kini desa diakui dan menjadi salah satu sobyek pembangunan bangsa ini. Desa yang dari awal menjadi sebuah lokasi eksplorasi dan telah menyumbang banyak subsidi kepada pusat, kini desa mendapatkan pengakuan atas pengelolaan dirinya, lembaga desa mendapatkan posisi dan perannya diakui secara undang-undang. "
Tardmizi Karim kurang lebih mengatakan; "dengan mengucap rasa syukur yang sedalam sedalam kepada Alloh SWT, UU Desa yang banyak dinantikan oleh masyarakat telah lahir, ini sebagai wujud bahwa akan terciptanya keadilan sosial yang tak berjenjang antara desa dengan kota. Desa menjadi pusat kemajuan baru."
Itu sedikit kutipan dari orasi yang menggebu-gebu.
Kebahagiaan dan rasa syukur mewarnai acara hari itu. semua peserta dari berbagai pihak meneriakkan yel-yel mereka; Merdesa! Merdesa! Merdesa! Ini adalah tonggak sejarah kemerdekaan desa-desa. Sebagai wujud mengamalkan demokrasi sampai pelosok tanah air.
Semua pihak, terutama para pejuang desa bergembira, mengapa? Karena tentu saja UU Desa berpretensi memajukan desa. Melalui UU Desa secara legal lembaga desa telah diakui. UU Desa juga mengamanatkan pemerintah pusat untuk memberikan subsidi kepada desa dengan jumlah yang tak sedikit. Ini memungkinkan memunculkan pengelolaan desa yang lebih profesional karena akuntanbilitas dan transparasi pengggunaan dana dipertangungjawabkan. Dari UU itulah tentunya ada turunan peraturan daerahnya, sehingga semua pemerintah daerah akan mengarah pada pengedukasian para aparat desa agar profesional dan bisa mengelola keungan dengan sebaik-baiknya. Sehingga lembaga desa lebih terhormat dan mempunyai power dalam mengelola SDA dan SDM desa. 
Acara orasi kemudian ditutup dengan Ikrar besama, demikian ikrarnya:
Dengan memohon Rahmat Tuhan Ynag Maha Esa dan Dukungan berbagai pihak pejuang desa, kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk:
1. bersama-sama mengawal implementasi UU Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa Agar dapat dijalankan sebaik baiknya sesuai amanat reformasi menuju desa yang demokratis mampu menyelenggarakan tata pemerintahan yang baik, bersih, partisipatif, transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.
2. bersama-sama dan bahu membahu membantu desa agar bangkit menatap masa depan yang lebih cerah, berdaya, dan mandiri untuk memakmurkan warga desa.
3. menggalang para relawan yang di seluruh penjuru desa se-Indonesia untuk bekerja keras, tekun, dan penuh dedikasi, demi perjuangan terciptanya kesejahteraan warga desa secara nyata.
4. mengajak seluruh komponen desa untuk belajar, bekerja, dan mendedikasikan dirinya dalam melayani kebutuhan warga desa secara nyata.
5. menjujung tinggi nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan sebagai warga desa untuk saling bekerja sama agar terwujud kemajuan desa untuk saling bekerja sama agar terwujud kemajuan desa di seluruh Indonesia.

MERDESA!!!

Minggu, 02 Februari 2014

Saung di Jalan Muhammadiyah no 48, siang itu ramai di penuhi anak-anak muda yang sibuk mondar-mandir. Sebagian dari mereka nampak sedang bermain-main dengan mouse mereka di depan layar komputer, menyiapkan sebuah strategi kerja. Sisi lain sekumpulan muda-mudi sedang  berkumpul membuat kelompok diskusi melingkar, semua tanpak egaliter. Kami berdua di buat terkagum-kagum dengan gagasan dan jejak rekam aksi mereka. Kang Goris siang itu membawa kami menyusuri setiap jejak semangat para anak muda  di kantor Asgar, sebagai kawah candradimukanya para remaja Garut.  Hangat dan ramah itulah anak-anak garut yang tergabung dalam Agar Muda baca sini Sob: (http://www.asgarmuda.org/).
Syahdan, perkanalan kami dengan dedengkot Asgar Muda, Kang Goris (Sob baca tentang Kang Goris http://indonesiaproud.wordpress.com/2012/03/09/goris-mustaqim-anak-garut-yang-go-international-lewat-bangun-desa/, follow @GorisMustaqim) di mulai dari saat di Aceh Utara. seperti biasa Dika (Sob baca: https://indonesiamengajar.org/pengajar-muda/andhika-mahardika/) yang aktif ini sejak lama memang sudah mengidolakan kang Goris, obsesi tingkat tinggi untuk bertemu dengan sang idola bermuara ketika Dika membeli buku teman-teman Asgar Muda : Pemuda Membangun Bangsa dari Desa, melalui twitter hingga suatu ketika Kang Goris mengirimkan dua buku untuk @Acehpintar program “one man one book for Aceh” (Sob samperin:https://indonesiamengajar.org/cerita-pm/ari-lukmana-3/1-man-1-book-for-aceh ) dan untuk fansnya; Dika. Singkat cerita kemudian kami di bantu oleh Ibu Tri Mumpuni, untuk bertemu dengan beliau yang super sibuk ini.
Tebak mana yang Kang Goris?

Selasa, 28 Januari 2014, waktu menjelang subuh, kereta api Mutiara Selatan kami menghentikan lajunya di sebuah stasiun kecil di Garut. Cipeundeuy demikian papan nama di depan stasiun. Udara dingin seketika telah menyambut kami di stasiun yang sepi pagi itu. perjalanan kami di lanjutkan menuju kota garut. Konon di kota inilah para agen perubahan bersemanyam, membangun sejuta harapan untuk masyarakat Garut. Mobil mini bus membawa kami selama hampir dua jam setengah menuju kota Garut. Garut nampak di kelilingi oleh mahameru, sehingga Garut ini menjadi sebuah surga kecil yang berada di tengah-tengah  hamparan pegunungan yang subur dan kaya sumber daya alam.
 Dua setengah jam kemudian, kami sampai di sebuah lokasi, yang orang-orang Garut sebut sebagai alun-alun Garut. Kami lanjutkan perjalanan kami ke sebuah jalan yang di sebut jalan Muhammadiyah. Tiga jam  perjalanan kami, hingga akhirnya kami berdua di sambut oleh senyuman Kang Goris. Tak menunggu lama kemudian kami diajak towaf untuk melihat komponen saung dan kegiatan di markas Asgar.  Kami terkesima ketika melihat saung yang rame dengan anak-anak muda, mulai dari anak Sekolah dasar hingga “orang-orang tua”.  Tak lain mereka adalah anak-anak yang mengambil kelas super camp, salah satu program Agar Muda. 
magnum opus temen-temen Asgar Muda


Kemudian kami mempertemukan dengan beberapa orang dedengkot Agar Muda dan para pegurus super camp. Yang selalu membuat kami tak lupa ada Kang Heri, salah satu pemikir dan filosof Agar Muda dari UGM. Beliau ini adalah dewan pembinanya-nya Asgar Muda. Kemudian kami bertemu dengan Kang Ecep, yang super kreatif yang telah mengembangkan boneka lucunya,  tak lain beliau ini adalah orang risetnya Asgar. Kemudian kami juga dipertemukan dengan Kang Asep, manager super camp yang banyak sharing tentang bagaimana mengelola super camp ala Asgar Muda yang membuat kami kagum dan bangga melihat saudara kami di garut ini.
Perjalanan kami kemudian dilanjutkan dengan obrolan intim dengan Kang Goris. Siang itu kami memilih sebuah gubuk di depan kantor Asgar. Kang Goris banyak berkisah tentang perjalanannya bersama pemuda garut lainnya membangun bahtera Asgar Muda. Yang membuat kami terkesima dengan Kang Goris ini adalah sikap beliau yang tak menggurui, meskipun beliau sudah sangat makan asam garam dalam dunia sosial-bisnis dan pemberdayaan tapi tetap saja Kang Goris selalu berkata, ingin belajar dari kami dan sedang belajar. Wah, kamipun jadi tidak enak sendiri dan malu dengan pencapaian beliau yang luar biasa. 
berpose domba garut  ala Asgar Muda

Obrolan kami yang panjang, beberapa hal yang bisa kami simpulkan dalam perbincangan waktu itu. diantaranya adalah; jika kita mempunyai ide brilian yang sifatnya mulia, karena dalam ide kita untuk membantu orang, maka lekas lah di realisasikan, jika kita sudah mewujudkannya maka banyak tangan yang akan membantu kita, termasuk invisible hand.  Ini menjadi tamparan bagi kami selama ini yang hanya berfikir tanpa aksi, jadi malu sama teman-teman Asgar Muda yang hebat ini.
Kang Goris orangnya humoris, pengetahuannya yang global membuat kami banyak belajar  tentang  banyak hal. Tentu sama halnya dengan para Asgar Muda yang super hebat, kami mengambil banyak pelajaran dari mereka. Inspirasi yang mereka tebarkan menjadi motivasi kami para pemuda di belahan lain bumi Indonesia, untuk bergerak melakukan hal yang sama.
Thanks a lot Sahabat Asgar Muda.   

Minggu, 19 Januari 2014

Susah menggambarkan diskusi panjang lebar kami dengan Pak Is. Tapi ada sesuatu yang bisa kami rasakan bahwa, ada sebuah perjalanan spiritual yang mendalam. Mungkin tak banyak orang belajar enterpreneurship yang seperti ini. Pembelajaran kami diawali sebuah dialog yang justru menurut kami apa yang disampaikan oleh beliau lebih tepat pada jatung permasalahan. Bukan sekedar paparan ilmu yang tak tepat guna, alih-alih pencerahan, justru hanya sia-sia. Ini adalah salah satu yang diterapkan beliau dalam social-enterpreneur, bahwa dalam praktiknya tentu dilandasai dengan asas permasalahan yang muncul di lingkungan masyarakat kemudian di tangkap dengan hati dan dilogikakan agar menjadi sebuah solusi atas permasalahan.
Pak Is memberikan wejangan

Selama berdialog dengan Pak Is, jika disistematiskan ada sebuah fase spiritual yang beliau tularkan kepada kami:
Pertama adalah fase brainstorming, soal permasalah bisnis yang ada, ini lebih pada mengarahkan kembali, kompas-kompas pemahaman yang telah salah pada kami bertiga.
 Selama itu ada fundamental yang ditananamkan oleh beliau dalam memperdalam ilmu ini. Beliau dalam menjawab sebuah permasalahan kami, pasti akan dimulai dengan hal yang sangat mendasar. Contoh sebuah hal dasar mengapa kita harus ber-social enterpreneur? Beliau selalu menekankan bahwa berangkat dari sebuah permasalahan yang ada di masyarakat. Ada sebuah alasan besar yaitu kealphaan sebuah keadilan dalam aspek bisnis, sehingga melahirkan berbagai bencana kemanusiaan. Orientasi penumpukan kekayaan (profit accumulation) telah melahirkan watak bisnis yang menghilangkan sisi kemanusiaan akibatnya bisnis kehilangan ruh spiritualnya. social-enterpreneur yang mempunyai sifat share, benefit for others dan empowerment menjadi system untuk mengisi kekosongan kemanusiaan dalam berbisnis yang konvensional.
ppt

Fase kedua adalah lebih fokus pada philosophy social-enterpreneur itu sendiri. kami sebut ini sebuah penanaman “aqidah” atau konsep kepercayaan sebagai penompang sebuah tindakan.
contoh fase ini adalah pada sebuah pertanyaan soal weltanschauung-nya social-enterpreneur. Jawaban yang menarik yang disampaikan oleh beliau. Bahwa social enterpreneur itu awal dibangun bukan atas logika yang bertumpu pada akal. Akal justru hanya sebagai stimulus yang digunakan sebagai tahapan selanjutnya untuk merumuskan solusi. Sehingga posisi utama atau pijakan sebuah social enterpreneurship dimulai dari empathy. Empathy ini menurut sepenangkapan kami dari hasil yang telah disampaikan beliau bahwa; sensitibilitas sebuah entitas seseorang dalam menangkap sebuah gejolak yang ada di lingkungan sekitar. Masyarakat mempunyai banyak problem yang menjangkitinya, sehingga empathy seseorang di situ bermain, rasa belas kasihan sehingga melahirkan keinginan kuat dari hati seseorang (risk taker) untuk menyelesaikan permasalahan. Hingga akhirnya menggunakan logikanya, tersebut untuk turun tangan mencari solusi atas permasalahan yang ada. Sehingga melahirkan social-enterpreuner. Berbeda halnya dengan bisnis konvensional yang berdasarkan otak, karena hanya berfikir bagaimana menghasilkan keuntungan dari sebuah resources. Ini menarik, sehingga kami menyebutnya selama kami belajar dengan beliau sebagai perjalanan spiritual. Atau lebih tepatnya mengenal bagaimana menjalani sebuah spiritual yang menjadi ruh sebuah bisnis.
ppt

Ketiga adalah “fiqih” Social-Enterpreneur.
Sebagai konseptor Pak Is juga menapaki jalan sebagai pelaku bisnis sosial. Lebih dari itu beliau banyak berkaca dari para pelaku bisnis sosial dan mengamati polanya. Pengetahuan inilah yang akan memperkaya untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan kami yang mendekati soal teknis bisnis-sosial. Contohnya dalam managemen risiko bisnis sosial. Tentu semua bisnis mempunyai risiko, yang menyangkut untung dan rugi. Beliau selalu menerangkan bahwa soal pengelolaan sosial bisnis tetap mengacu pada bisnis modern, apalagi jika menyangkut produksi suatu barang tapi bedanya dalam bisnis ini, impact untuk masyarakat lebih besar, sehingga tidak ada cerita penumpukan kekayaan pada satu orang. Hal yang menarik yang beliau terangkan soal bisnis sosial adalah dalam konsep sosial bisnis, pelaku membangun social-resource sehingga semakin lama sebuah bisnis akan kuat karena semakin kuat jejaring social-resourcenya. Beda dengan bisnis convensional yang selalu mengandalkan capital-resource saja, yang semua hanya di nilai dari sebuah materi.
Dalam ilmu Tasawuf social-enterpreneur adalah sebuah jalan menuju Tuhan bagaikan pendekatan seorang sufi untuk mencapai hakikat…
Bersambung..

Jumat, 17 Januari 2014

Hujan deras menggunyur Jakarta sore itu, beberapa ruas jalan nampak dipenuhi oleh air yang menghambat laju kendaraan. Kami bertiga; aku, Dika, Didin bertolak ke kantor  IBEKA (Istitut Bisnis dan  Ekonomi Kerakyatan, Link baca sini Sob: http://ibeka.netsains.net/) dari wisma BNI, rencana kami akan bertemu punggowo IBEKA,  Ibu Tri Mumpuni (baca Sob; http://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Mumpuni). Sesuai dengan kesepakatan sore kemarennya, kami bertiga akan merepotkan beliau, karena kami akan mengikuti beliau ke salah satu ujung kabupaten Subang. Kami beruntung karena diberi kesempatan langka untuk mengunjungi Bapak Iskandar Budisaroso yang tidak lain adalah Founder IBEKA dan suami Ibu Tri sendiri.
Ini dia Ibu Tri Mumpuni
Syahdan, awal pertemuan kami dengan Ibu Tri berawal dari Vira (Baca Sob: https://indonesiamengajar.org/pengajar-muda/elvira-rosanty/), waktu itu kami sedang hangat-hangatnya menjadi veteran Pengajar Muda. Maklum saja baru seminggu pulang dari penempatan. Kebetulan rekan kami ini, punya kawan waktu kuliah di UTM (University Technology of Malaysia), beliau adalah Astri (baca link: https://indonesiamengajar.org/pengajar-muda/nurrachma-saraswati/) , yang tak lain putri Ibu Tri dan Pak Iskandar. Singkat cerita dari Astri inilah kemudian kami bertemu dengan orang hebat seperti Ibu Tri dan Pak Is.

Kami bersama Ibu Tri berangkat ba’da Mahrib, ternyata hujan tak kunjung reda juga, justru semakin deras. Jalan-jalan semakin tenggelam sore itu. Tapi perjalanan kami tambah seru karena Ibu Tri, yang duduk di sebelah pak supir, selalu menghiasi dengan celoteh lucu yang berbobot, karena kami bisa banyak mengambil ilmu dari lelucon beliau. Beliau sekilas memang orang yang tegas dan tanpa tedeng aling-aling, jika mengomentari atau mengkritik sesuatu. Istilahnya ceplas-ceplos tapi bukan ngawur. Ceplas-ceplos beliau memakai dasar ilmu dan cara berfikir yang logis. Tentu saja dengan dibumbui penyedap yaitu selera humor beliau yang tinggi sehingga bikin kami tertawa selama menuju Subang. 
Tak terasa sekitar tiga jam, pukul 22.00 WIB kami sampai di sebuah rumah di Desa Cicadas, Kecamatan Sigalaherang, Kabupaten Subang. Kondisi malam hari dan hujan, sehingga kami tak terlalu menghiraukan lingkungan sekitar rumah. Kami di sambut ramah oleh bapak Iskandar, yang nampaknya sengaja menantikan hadirnya istri tercintanya sampai larut malam. Selanjutnya, kami semua makan malam sambil ngobrol banyak hal. Sesuatu hal yang paling mengesankan dari interaksi keluarga yang baru aku kenal ini adalah panggilan sayang untuk suami. Wow, jaman sekarang cukup langka aku mendengar panggilan itu dari seorang istri untuk suami. Interaksi mesra yang mereka tunjukan sungguh menginspirasi kami, sehingga bagaimana kedepannya harus bersikap kepada istri. Hal lain yang banyak kami belajar dari keluarga ini adalah, dari meja makan kecil, mereka mendikusikan soal kepentingan rakyat marginal di dunia yang besar ini. Mungkin Ibu dan Bapak ini sering memunculkan gagasan besar untuk rakyat, berawal dari meja makan kecil ini. Dahsyat!  

Pagi Pertama

Pagi 13-1-2014 ternyata gerimis masih membasahi tanah Subang, aku beranjak ke luar rumah  yang exsotis ini untuk melihat penampakan rumah dari luar. Ternyata benar dugaanku, penampakan alam selaras dengan rumah. Halaman rumah yang dirimbuni pepohonan yang berlantaikan permadani hijau rerumputan. Beranjak ke sebelah timur rumah yang tak kalah menarik, jauh di balik sawah berundak, terdapat bukit yang tak terlalu tinggi menghiasi hamparan padi yang belum lama di tanam petani. Gemercik air terjun mini menghiasi sebelah barat rumah, dengan jalan yang menanjak menuju semacam villa untuk para tamu.
Rumah Ibu Tri nampak sebelah barat

Gerimis belum saja turun, aku urung untuk mengeksplorasi lebih jauh sisi utara rumah, aku lebih memilih melihat tempat penangkaran kupu-kupu di sebelah barat rumah,  beberapa kupu-kupu terbang di bawah jaring-jaring yang menutupi rerimbunan pohon dan bunga di taman kupu-kupu ini. aku akhirnya tertarik untuk memasuki bengkel pembiakan kupu-kupu, sekaligus bengkel pengawetan kupu-kupu untuk bahan kerajinan.
 Sekitar pukul 07.30 WIB kami siap-siap untuk sarapan pagi. Nasi beserta lauk dan sayur rupanya sudah tersaji di meja. Tanpa bosa-basi kami santap. Awalnya kami mengira Bapak dan Ibu belum makan, karena tanda-tandanya nasi belum jua teraduk oleh centong, ternyata setelah kami konfirmasi beliau berdua, rupanya sedang puasa sunnah senin-kamis. Kan, kami dapat pelajaran lagi, kalau mau jadi orang hebat, sering-seringlah puasa. Istilah Pak Iskandar  tirakatan. Oke, kami akhirnya bertiga menikmati sajian nikmat pagi itu. selesai makan kamipun bertiga menghampiri Pak Is yang sedang dengerin lagu tahun 80-an, yang kami gak tau judulnya.

School Of Empathy

Istilah ini  diambil dari Bapak Iskandar. Inilah kira-kira untuk menggambar kegiatan kami selama tiga hari di Serdang. Selama itu kami mengalami proses berfikir untuk mencapai pencerahan. Selama itu pula empati kami diasah, mata kami dibuka untuk melihat realita kehidupan. Selama itu kami harus menentukan arah kami kedepannya, dan akhirnya kami masing-masing yakin untuk memilih garis kehidupan kami, yang memang harus kami buktikan dengan tindakan selanjutnya.
 
Wejangan dalam school of Empathy bersama Pak Is

Diawali dengan sebuah pertanyaan, proses itu berlangsung. Kami awalnya bertanya tentang sosial bisnis, sesuai dengan apa yang digeluti oleh beliau. Diskusi kami berlangsung, jawaban-jawaban beliau atas pertanyaan, mengantarkan kami pada fase-fase yang unik. Hingga akhirnya selama itu kami tak hanya mengalami proses dialetika atau pemasukan sebuah pemahaman yang di bawakan melalui logika-logika pembenaran, tapi kami mengalami semacam perjalanan spiritual..
Bersambung…

Minggu, 12 Januari 2014

Waktu terasa begitu cepat, tak terasa 25 November telah hadir kembali. Saat itulah dimana seluruh guru di Indonesia  akan merayakan hari ulang tahun organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang lahir pada tahun 1945. Sebuah organisasi yang lahir sangat cepat, hanya selang tiga bulan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini menunjukan semangat kebangsaan dan cita-cita guru sejak dahulu untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. Meskipun kini umur PGRI telah mencapai 68 tahun, akan tetapi gelombang permasalahan yang dihadapi guru tak kunjung reda menjangkiti para guru, mulai dari masalah pergantian kurikulum, kesejahteraan guru, hingga masalah kenaikan pangkat, akan tetapi di tengah-tengah masalah yang tengah dihadapi, semua pihak tetap menuntut kedewasaan guru dalam mengemban tugas mulianya sebagai pendidik.
Salah satu permasalahan yang dihadapi guru saat ini, menurut Zulfkri Annas salah seorang dari Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas adalah masalah gonta-ganti kurikulum yang diklaim banyak memusingkan para guru, baik menyangkut aplikasi kurikulum hingga masalah administrasi yang harus mengikuti kebijakan baru kurikulum. Dampaknya cukup signifikan yaitu seolah kurikulum menjadi kambing hitam karena dianggap sebagai  biang masalah atau bahkan menjadi momok musuh bagi para guru kita. Padahal kalau kita menengok devinisi dan maksud dari kurikulum itu sendiri, sesungguhnya kurikulum adalah sahabat guru yang akan membantu dalam pelaksanaan pencerdasan. Todd (1965) dalam bukunya Curriculum Development and Instructional Planning Nederland, mendevinisikan kurikulum sebagai “pengalaman pendidikan (belajar) yang terencana atau yang direncanakan oleh sekolah (satuan pendidikan) yang dapat diselenggarakan kapanpun (any time) dan dimanapun (any where) serta dalam keberagaman konteks sekolah sebagai bagian dari masyarakat”. Jadi kurikulum seharusnya menjadi teman guru yang selalu setia menemani guru saat memberikan inspirasi terhadap anak didik.
 Kadang, banyak kalangan memaklumi sikap guru terhadap kurikulum, karena melihat latar belakang sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia yang mengalami berbagai perkembangan dan pergantian mulai dari kurikulum Tahun 1947 atau yang sering disebut Rentjana Pelajaran 1947, hingga terakhir adalah Kurikulum 2013, kurikulum selalu mengikuti perkembangan global bahkan kebutuhan pasar. Akan tetapi, apakah lantas guru seperti robot yang dengan mudahnya di kendalikan oleh kurikulum? Memang sebagain fungsi kurikulum adalah sebagai sebuah petunjuk pelaksanaan teknis dalam proses kegiatan pembelajaran, akan tetapi kemudian apakah kita sebagai guru menjadi terintimidasi dengan gelombang perubahan kurikulum yang akan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman? Sehingga melupakan sisi kewajiban kita untuk mencerdasakan anak, karena disibukan pada penyesuaian kurikulum. Tentu saja jawabannya tidak, karena sebagai guru kita harus mampu mengendalikan kurikulum itu sendiri, karena senyatanya kurikulum adalah sebuah pendekatan saja dalam proses memasukan ilmu dan penanaman karakter ke murid, dan gurulah yang mengetahui sesungguhnya apa yang terjadi dilapangan dan cara terbaik untuk anak didiknya. 
Guru adalah pawang kurikulum, demikian mungkin yang cocok untuk menggambarkan bagaimana seharusnya sikap guru terhadap kurikulum saat ini. Di balik hantaman permasalahan klasik guru dan perubahan kurikulum, guru harus menjadi sesosok pawang yang mampu mengendalikan kurikulum. Kurikulum terbaru 2013 misalnya, kurikulum ini adalah produk pemerintah pusat, akan tetapi seperti pernyataan Todd (1965) di atas tadi, kurikulum mempunyai sifat fleksibelitas dan kontekstual, artinya secara garis besar aturan dalam kegiatan belajar mengajar memang telah ditentukan, akan tetapi pusat telah memberikan butir-butir yang bisa di kembangkan dan disesuaiakan oleh daerah. Sesungguhnya contoh nyatanya telah diterapkan dalam kurikulum 2006 atau yang dikenal kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini adalah pengejawantahan semangat desantralisasi politik Indonesia, yang tadinya sangat sentral. Dalam kurikulum tersebut pada tingkat sekolah bisa mengembangkan silabus yang memiliki standar kopetensi siswa, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan masing-masing lingkungan sekolah, akan tetapi tetap mengacu sesuai yang digariskan oleh pusat.
Demikian halnya pada proses penerapan kurikulum 2013, sebagai guru kita tentu diwajibkan untuk bersikap positif terhadap hadirnya kurikulum baru. Selanjutnya, guru dituntut untuk memahami, dan kemudian baru mengendalikan penerapannya, sesuai dengan masing-masing kebutuhan dan kemampuan siswa didik. Ibarat seorang pawang harimau yang profesional dalam bisnis sirkus, seorang pawang harus menerima apa adanya harimau yang akan dicetak sebagai hewan sirkus, kemudian tentu saja yang paling terpenting adalah sang pawang memahami betul karakter harimau tersebut, karena setiap hariamau tentu mempunyai karakter berbeda, dan setelah proses tersebut dilalui semua, tentu saja sang pawang bisa mengarahkan hariamau sesuai dengan keinginan yang ia butuhkan untuk bisnis sirkusnya. Bayangkan saja jika sejak awal orang tersebut tidak memahami sifat harimau, tentu tidak akan bisa menjadi pawang harimau tersebut. Atau ia sudah mampu memahami sifat harimau, akan tetapi gagal pada pengendaliannya, tentu bukan di sebut sebagai pawang.
Dalam konteks Aceh, kurikulum 2013 adalah sebuah trobosan baru yang diterbitkan oleh pusat untuk menghadapi perkembangan dunia global sekarang. Sebagai guru di Aceh, tentunya harus bisa menjadi pawang yang mengenadalikan kurikulum. Jalan menjadi pawang tentu guru harus memahami terlebih dahulu, kemudian guru di tuntut kreatif untuk menyesuaikan dengan semangat kebudayaan, norma dan agama di Aceh, untuk selanjutnya ditransfer ke peserta didik. Tentu semua itu perlu kerja keras semua pihak pemangku kepentingan pendidikan untuk mendukung guru dan guru itu serdiri untuk memahami kurikulum dan hingga sampai mampu mengembangkannya. Sehingga refleksi untuk peringatan hari jadi PGRI ini adalah tidak selayaknya sebagai guru takut menghadapi sebuah perkembangan baru, akan tetapi guru harus mampu mengendalikan sesuatu baru, agar sesuai dengan norma lokal dan kemampuan siswa pada masing-masing sekolah untuk memahami pelajaran. Sehingga guru di Aceh akan di sebut sebagai pawang kurikulum, yang paham dan kreatif mengambangkan atau mengendalikan kurikulum sesuai dengan konteks ke-Aceh-an. Hal terpenting adalah guru Aceh akan tahan akan terpaan gelombang perubahan kurikulum kedepannya. Selamat Hari PGRI ke- 68.     

Sabtu, 19 Oktober 2013

Jayus

Jayus

Jayus

Jayus

Jayus

Jayus

Jayus dkk

Jayus dkk
Jayus (3/4 Tahun) sebuah nama sebenarnya. namanya bukan terinspirasi dari sebuah tokoh yang muncul di media massa beberapa waktu lalu karena ulahnya memakan uang rakyat lewat jalan korupsi. Gayus Tambunan tenar belakangan sesudah artis cilik Araselo ini lahir. Bukan juga nama Jayus terinspirasi dari seorang yang bernama Jayus yang tenar karena tragedi Talangsari tahun 1989, biar tau tragedinya cek link ini.
Karena di Araselo listrik aja baru masuk tiga bulan yang lalu, pasti soal tragedi ini pasti ortu Jayus gak ngerti.
Atau jangan-jangan terinspirasi dari bahasa slang yang populer tahun 90-an, cek biar tau cek, silahkan  
setelah di konfirmasi ayah dan ibunya juga bukan dari kata itu. lalu apa, ibunya menjelaskan dengan penuh makna akan cinta..wuih, jadi alkisah nama ayah Jayus adalah Jamil dan Ibu bernama Yusmiyah. Nah, biar cinta pasangan ini abadi maka diambillah kata depan Ayah "Ja" dan kata depan nama ibu "Yus" jadi rumusnya begini: (Jamil-Mil)+(Yusmiyah-miyah)= Jasus, plok..plok...wuih cerdas ya ayah ibu Jayuz..hehe
Jayus terlahir istimewa seperti kawan-kawan lainnya, kenapa? ceritanya begini: pertama wajahnya photogenic banget, liat aja hasil jepretan saya saat mendokumentasikan wajah-wajah lucu anak Taman kanak-kanak, atau saat kawan-kawan dari Banda Aceh datang, Jayus langsung jadi obyek jepretan kamera. wah, calon model ni Jayus.
Kedua, Jayus ini anak cerdar, banyangkan saja anak ini punya aja alasan untuk tidak masuk kelas. memang Jayus selalu berangkat sekolah tapi habis itu gak mau masuk, kalau ditanya ada aja jawabannya mulai dari Ibu guru gak masuk, padahal jelas-jelas ada guru, pernah juga alasan gak bawa buku, padahal TK kan gak perlu bawa buku, atau adalagi, alasannya gak bawa nasi. ampyunn..cerdaskan alasannya..
Jayus juga udah pandai berbahasa Indonesia, meskipun masih TK dia selalu berceloteh pake bahasa Indonesia. "minta uang mak" atau "belajar pak".
Jayus selalu minta uang untuk jajan. anak ini tidak tak henti-hentinya selalu minta uang, maklum aja gaulnya di kedai, jadi kalau duduk sama Jayus pasti terdengar suara "nebi peng mak" atau "Yah, nebi peng" (emak beri uang). sampai-sampai ibunya pusing.
Jayus anak yang gak pernah takut, dia tergolong bandel dan tahan banting. seringkali tiba-tiba mukul teman yang lebih besar tanpa alasan. tapi lucu, karena habis mukul langsung ngekek sendiri. kalau berantem, gak tanggung-tanggung sama anak yang lebih besar dan jarang nangis.
pokoknya Jayus ini banyak tingkahnya, aku selalu kesepian kalau Jayus ini gak keliahatan. untung saja rumahnya tepat di depan rumah tempat aku tinggal, hanya terpisah jalan kampung. jadi anak ini selalu ada.
sering anak ini jadi pengawalku. saat anak lain pulang atau aku baru sampai rumah dari sekolah Jayus pasti udah mengekor dibelakangku, ikut masuk kamar, ikut di dapur, hingga nunggu di depan kamar mandi saat aku di dalam. hahah...lucu diikutin terus...
wah, bakalan kangen ni kalau besok pulang ninggalin Jayus...hiks

Jumat, 18 Oktober 2013

Pun, aku menikmati kebiasaan masyarakat di sini, saat malam hari atau di luar waktu itu, ketika ada kesempatan aku meluangkan atau karena memang kewajibanku sebagai anak yang tak rela hati meninggalkan emak sendirian di tengah-tengah ramainya malam versi kampungku. Emak selalu menunggu, di tengah-tengah pekatnya asap rokok yang sering membuat nafas ini sesak, atau di tengah-tengah obrolan kopi yang membicarakan tentang banyak hal, mulai dari soal politik hangat Qanun Bendera, aliran sesat, hingga isu regional kampung yang biasa sekali soal gosip tetangga. Minimal peranku di kedai adalah sedikit meringankan beban bagi tubuh emakku yang sudah mulai melemah karena dimakan usia.
Ya, itulah kehidupan malamku. Kehidupan malamku sangat bewarna , setidaknya dimulai dari senja saat kumandang adzan magrib diperdengarkan melalui corong-corng masjid, aku beranjak dari rumah tinggalku. Nampaknya karena rutinitas, aku mulai tak menghiraukan lagi pemandangan indah senja seperti biasa, langit merah di balik masjid kayu yang dihiasi deretan pegunungan, dan di sudut lain lautan Selat Malaka terlihat tipis seperti kabut. Tak lupa teriakan anak-anak dari balai menjadi tambahan indahnya suasana setiap sore.
Saat bintang sudah berani menampakkan eksistensinya, aku manfaatkan waktuku untuk sekedar meramaikan balai pengajian. Aku ikuti alur pengajaran yang telah dikurikulumkan oleh tengku masjid. Memang sedikit aku memodifikasikan kebiasaan di sini dengan sedikit pengetahuannku tentang soal baca Al-Quran dan iqro’, tapi tentu itu sangat minim, dan lebih aku ikuti cara orang di sini mengajarkan untuk anak-anakknya. Sesekali juga aku dipercaya untuk menjadi imam di masjid, menggantikan tengku, saat tengku harus masuk hutan, mencari rizki dari mahalnya buah jerna, atau saat tengku berdiri di deretan paling belakang sof sholat anak agam (cowok), untuk mengawasi, siapa-siapa yang bergurau atau salah saat mempraktikan gerakan sholat. Itulah kegiatan sebagian di waktu malamku.
Suara Adzan Isyak sekitar pukul 21.00 WIB, menandakan anak-anak boleh menyelesaikan ngajinya dan bersiap menjalankan sembahyang. Setelah sholat, mereka kembali melanjutkan aktivitas di kedai atau belajar bersama di rumah nenek Ponah. Bagiku aktivitas kini berlanjut untuk mengajari matematika atau menulis untuk anak-anak yang masih mau belajar. Di ruang tamu rumah, aku sediakan rak kecil untuk majalah anak dan buku yang aku beli. Harapannya buku-buku ini mau dibaca. Pukul 22.00 WIB, biasa anak-anakku ini harus sampai berkali-kali diingatkan untuk segera pulang lekas tidur. Tapi bagi anak-anakku, jam segitu belumlah waktunya tidur, karena justru waktu itu layar televisi sedang menjual acara-acara andalannya untuk menarik para pemirsa. Tentu saja anak-anakku tambah tidak mau beranjak dari kedai.
Pukul 22.00 WIB, kehidupan malamku belum berakhir, atau justru ini baru dimulai. Tapi dengan cara yang berbeda, bagiamana aku harus menyelami dan menjalaninya. Aceh bagiku menawarkan sesuatu hal baru, terutama kehidupan malamnya. Aku merasakan waktu malam di sini lebih panjang dan penuh dengan komunalitas yang kadang menghibur, memberikanku sebuah makna dan pelajaran, tapi tak jarang juga membuatku terlena dengan kenyamanannya. Aceh selalu menyuguhkan pelajaran baru disetiap malamnya, mempertemukanku dengan orang-orang baru yang membuatku lebih banyak mengenal banyak hal. Inilah kehidupanku yang lain, baru dimulai pukul 22.00 WIB.
Berawal dari sebuah adaptasi untuk mengkondisikan diri hidup disebuah rumah berkedai yang tentunya tidak semudah yang diperkirakan. Seminggu hidup di sini aku harus bertahan, mungkin mirip anak Salmon, yang harus memulai hidup di air laut Samudera Atlantik, saat ia beranjak dewasa setelah sebelumnya menikmati tawarnya air sungai. Sungguh berat, tapi harus dipaksakan. Malam itu pukul 00.00 WIB, tubuhku menjadi berat dan hampir tak sanggup untuk hanya sekedar duduk. Kelopak mata sudah tak sanggup dibuka, maklum pagi hari aku sudah bangun dan harus bersiap-siap menyapa anak-anak. Tak jarang malam itu aku harus berkali-kali mengusap air ke wajah, berharap menghanyutkan rasa kantuk dari wajah. Emak masih terlihat sibuk melayani orang yang duduk, sambil sekali-kali menggulung daun lontar tipisnya yang telah terisi tembakau untuk kemudian dihisab. Itulah senjata mujarab emak, selain kopi hitam untuk mengusir kantuknya setiap malam.
Tiga bulan di sini, aku seperti berada di planet lain karena tak memahami apa yang dibicarakan orang-orang di sekelilingku. Orang-orang di sini tak banyak memulai pembicaraan denganku, mereka biasa buka mulut saat aku bertanya terlebih dahulu. Sehingga wajar saja kalau kemudian aku diam, tak satupun orang berbicara denganku. Malam semakin larut, aku lihat jam ditanganku yang telah menunjukkan pukul 01.00 WIB, tetapi beberapa orang di kedai masih asyik menyimak televisi yang suaranya harus beradu dengan raungan keras genset di belakang rumah. Emakku orang yang telaten, ketika hanya satu orang yang tersisa di kedai, emakku tetap saja masih menunggu sampai orang itu pulang. Baru kemudian Araselo gelap gulita, karena kedai emakku menjadi penerangan terakhir di kampungku.
Delapan Bulan berlalu, aku masih bertahan di sini, di kedai emak yang selama ini menjadi tumpuan harapan satu-satunya emak untuk mencari rejeki. Selama itu aku juga lambat laun berubah, sekarang tubuhku telah berevolusi terhadap dunia malam Aceh, sehingga bisa bertahan seperti orang-orang di sini. Malam itu tak ada suara genset lagi, karena listrik telah mengalir melalui tali-tali hitam yang berkilo-kilo meter panjangnya terpanggul oleh tiang-tiang kokoh di sepanjang jalan. Kulkas, televisi berinci besar, sound system, dan lampu terang telah tersedia di kedai emakku. Kini orang semakin nyaman dan betah duduk di sini. Demikian denganku, aku lebih bisa menikmati TV di sini, dari pada sebelummnya saat masih di rumah, karena banyak komentator handal di sini. Kini aku tidak lagi seperti alien yang tak memahami bahasa planet lainnya, tapi kini aku bisa merespon pernyataan ataupun perkataan orang lain. Sesekali aku nikmati kopi hitam seperti yang lain, sehingga aku lebih tahan dan tak pernah mengantuk lagi. Bahkan kini tak bisa memejamkan mata ketika aku berusaha tidur di awal waktu. Kini aku telah berevolusi menjadi manusia insomnia.
Rupanya tidak hanya aku sendiri yang berevolusi, orang di sekelilingku juga demikian. Orang kini tak harus menunggu aku bertanya, karena sekarang bersahut-sahutan. Orang sekarang terbiasa melihat orang membuka laptop di kedai, dan kini orang duduk di kedai juga sesekali membuat alat pembelajaran untuk besok aku pakai untuk mengajar. Pernah suatu ketika orang di kedai bertanya-tanya ketika aku membawa kertas lipat, dan beberapa steak es krim. Malam itu aku harus menyiapkan kupu-kupu mainan dari steak es dan kertas untuk besok dipamerkan saat pelajaran SBK. Rencana malam itu aku akan membuat beberapa kupu sendirian sambil menunggu kedai bersama emak. Rupanya malam itu aku tak jadi membuat sendiri, karena kemudian bapak-bapak ikut membantuku membuat kupu-kupu palsu itu. Bahkan hasil buatan mereka lebih bagus, dari pada hasil karyaku, padahal awalnya mereka hanya meniru saja. beberapa kali, orang-orang di kedai juga membantu menggunting kertas karton untuk alat peraga keesokan harinya. jadi kerjaanku semakin ringan sekarang kalau aku kerja di kedai.
Saat itulah aku berfikir bahwa, bukan aku saja yang berubah karena kehidupan malam di sini, tapi kemudian warga Araselo juga berubah dan menyesuaikan diri dengan tingkahku. Mungkin perubahan itu tidak seberapa, akan tetapi minimal semua saling mewarnai.