Jumat, 01 Oktober 2010

Abad pencerahan Eropa dimana semangat mempelajari dunia timur sedang mencapai puncak-puncaknya, knowlade is power begitu jargon ilmuwan orientalisme yang ingin menimba berbagai pengetahuan dari timur. Bersamaan dengan itupula ilmu filologi mulai dikembangkan menjadi salah satu alat terutama untuk mempelajari manusia melalui bahasa. Sebuah mitos yang telah bertahan berabad-abad yaitu bahasa ibrani adalah bahasa Tuhan yang agung dan sacral, mulai menemui ajalnya, dan berdampak pada goyahnya stabilitas dinastik yang berlindung dalam doktrin dan komunitas agama. sehingga dampaknya adalah sekulerisasi di barat.

Akar-akar Budaya: perspektif Benerdict Anderson

Benerdict Anderson telah membahas tentang lahir dan berkembangnya mitos Nasionalisme yang terjadi sekitar abad ke IIV-XX, dalam bukunya Imaged Community. Ada hal yang menarik yang dapat kita ambil yang masih relevan dengan tulisan pendek ini yaitu terkait dengan akar-akar budaya atau system budaya sebagai identitas dan alat komunalitas. Menurut Anderson sebelum nasionalisme lahir ada dua ranah yaitu Komunitas religius dan Ranah Dinastik. Dua ranah tersebut akan sedikit kita bahas yang berdasarkan pada tulisan Anderson.

Komunitas Religius

Sebelum dunia ini mengenal paham nasionalisme sebagai pengikat manusia yang didasarkan atas paham-paham akan kecintaan dan pengorbanan terhadap tanah air, atau yang sering disebut tanah kelahirann (tanah tumpah darah), manusia telah mengenal konsep religius sebagai pemersatu. Kita mengetahui Nabi Muhammad SAW, pada abad ke 7 masehi diutus untuk menyampaikan risalah wahyu kepada bangsa Arap, tipologi masyarakat Arap yang berbeda-beda suku teryata mampu disatukan dengan satu pemahaman tentang konsep iman. Bahkan setelah pemerintahan Abasyiah agama ini mampu memperluas daerah pembebasanya dari Maroko hingga Andalusia Spayol, dan berhasil menyatukan perbedaan manusia dengan konsep pemersatu yaitu atas iman atau ketauhidan.

Begitu juga dengan Hindu dan Budha di wilayah yang lebih timur seperti India, Cina, dan Asia Tenggara. Mereka dipersatukan atas nilai-nilai keagamaan mereka. kepercayaan ini telah mampu menerobos perbedaan etnis, suku, dan bahasa di seluruh persebaran agama ini. Begitu juga Konfunsianisme telah mempersatukan tanah tiongkok atas da

Belahan dunia lain juga menunjukan hal yang sama Romawi dengan Katoliknya, dan sebelum islam berkembang di Persia yang disatukan kepercayaan paganismenya, mampu menyatukan manusia dari masing-masing daerah yang telah menganut kepercayaan yang sama.

Ranah Dinastik

Pemersatu lainya adalah ranah dinastik, ranah dinastik adalah pemersatu manusia didasarkan atas Dinasti-dinasti yang menguasai. Raja-raja dalam suatu wilayah tertentu memiliki daerah kekuasaan sendiri dengan berbagai kekuasaan atas struktur lapisan masyarakat. System yang terbentuk mulai Raja hingga kawulo (hamba), menjadi sebuah penanda status sosial dan bertahan hingga berabad-abad. Tak jarang agama menjadi alasan dasar atas hukum berlakunya system ini, seperti system kekhalifahan yang yang berkembang menjadi system pewarisan tahta bukan lagi system musyawarah.

Begitu juga di belahan dunia lainya, di China Mulai dari Dinasty Han hingga Ching masing-masing dinasti mewariskan tahta kepada keturunanya. Mitos atas perwalian Tuhan kepada Raja yang berkuasa menjadi hal yang telah ditetapkan. Di jawa raja mataram menyandang gelar Khalifatulloh atau wakil Alloh untuk memerintah Negara, konsep ini sebenarnya bergeser dari paham konsep keKhalifahan pada masa empat sahabat. Di jawa konsep yang berkembang lebih pada semacam takdir yang telah ditetapkan oleh Alloh untuk manusia tertentu hingga seluruh keturunanya, sehingga harus diterima apa adanya dan tidak boleh diganggu gugat, sedangkan untuk mempertahankannya dengan menciptakan mitos-mitos tertentu.

Semua ini baik komunitas religius ataupun Ranah dinastik telah mampu menyatukan perbedaan manusia dalam satu misi dan tujuan tertentu, sehingga kekuatan pemersatu dari kedua ranah ini adalah nilai-nilai religius atau kesamaan atas dasar keimanan, sedangkan dalam ranah dinastik lebih pada loyalitas kepada penguasa atau raja yang didukung mitos-mitos. Semua akar-akar budaya tersebut disebut “dunia lama”.

Eropa dalam Selimut Agama

Agama Isa telah memasuki kerajan Romawi dan menjadi agama resmi negera tersebut, semua wajib untuk menjalankan perintah agama bagi seluruh rakyat yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan ini. Daerah jajahan baru harus mengikuti ketentuan ini, jika tidak mengikuti tentu saja pemusnahan masal (Genoksida) akan dilakukan. Singkatnya antara agama dan Negara saling berkerjasama dan menguatkan antara satu dengan lainya, agama harus dijaga oleh kekuatan Negara, begitu juga sebaliknya agama harus mempunyai doktrin untuk menguatkan legitimasi penguasanya. Hal-hal yang bersifat pembaharuan yang akan mengganggu stabilitas keduanya akan dihancurkan.

Pada tahun 1517, misalnya menjadi contoh kongkret mulainya pembangkangan atau pemberontakan atas status quo ini, ketika Marthin Luther menentang “Holy Trade” atau perdangan dan eksploitas wilayah jerman pramerdeka. Hingga kerajaan Roma mengeluarkan Curia pada tahun 1520 yaitu sebuah maklumat Exsurge Domine(Bangkitlah Tuhan), yang berisi teguran keras terhadap soudara Marthin Luther dari Ordo Sanct yang menghidupkan bid’ah yang terkutuk. Singkat ceritanya aksi tersebut dilanjutkan oleh Marthin Luther dengan menolak keras dan membakar Bulla atau hukum ketentuan dari Vatikan yang berisi ketentuan Jerman untuk mengikuti kultur Vatikan dan menerapkan bahasa Latin yang sacral. Kekacauan ini memuncak ketika Marthin berani menafsirkan Penjanjian Baru ke dalam bahasa jerman. Perlu diketahui bahwa pada masa kerajaan Roma bahasa Latin adalah bahasa suci dan wajib digunakan disetiap daerah kekuasaan. Akibatnya bahasa-bahasa daerah seperti jerman, italia, dan lainya direduksi sedemikian rupa.

Contoh diatas hanya segelintir pemberontakan yang ditempuh melalui deskontruksi kesakralan bahasa dan budaya katolik yang berada di daerah kekuasaan Roma. Hingga akhirnya pemberontakan meluas dan membagi kekuasaan Roma atas beberapa wilayah-wilayah kecil yang berdaulat dengan masing-masing bahasanya, hal ini menandakan mulai hancurnya ranah dinastik yang sebagai awal alat pemersatu manusia.

Filologi dan peran aktifnya dalam sekulerisasi

Yang menarik dari contoh peristiwa tersebut adalah usaha penerjemahan Injil Perjanjian Baru oleh Marthin Luther yang menggemparkan dan heroik itu. Hal ini menjadi awal pemberontakan atas kondisi agama yang menjadi sebuah ketentuan yang tidak bisa digugat dan memaksa umatnya untuk mengikutinya tanpa proses rasionalisasi sebelumnya. Injil yang tadinya menjadi sepenuhnya Hak gereja vatikan dalam menafsirkan, Marthin berusaha melampau hal tersebut. Hegemoni gereja inilah yang menurut Marthin sebagai akar kebohongan yang berujung pada ketidakadilan yang berdalih pada ketentuan injil. Untuk itu Injil perlu ditafsirkan ulang ke bahasa Jerman agar masyarakat mampu memahami hakikat makna Injil itu sendiri. Sehingga masyarakat Jerman akan lebih memahaminya. Pemikiran dan karya Marthin Luther ini mendapatkan respon kagum dari Nietzsche sebagai berikut:

Mahakarya prosa Jerman….adalah mahakarya seorang pengkhotbah Jerman yang agung…dibandingkan dengan karya Luther maka, karya lain hanyalah karya sastra, yaitu sesuatu yang belum tumbuh di jerman atau palah yang tidak tumbuh…

Keberanian Marthin inilah menjadi awal pengkajian filologi untuk diterapkan dalam teks-teks perjanjian baru yang kemudian dikembangkan oleh para peneliti lainya. Yang perlu saya tekankan disini adalah keberanian Marthin yang berdampak bagi ahli-ahli untuk berani mempertanyakan apakah bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sacral yang dianggap awal bahasa manusia yang diturunkan oleh Tuhan?, kemudian pantaskah manusia masih mengagungkan bahasa Ibrani sebagai satu-satunya bahasa yang lanyak dipakai baik dalam kenegaraan atau agama?.kemudian apakah Tuhan mengutuk manusia akibat perbuatan Bid’ah, yang melanggar ketentuan Vatikan?

Kajian para filolog telah panjang lebar dibahas dalam kajian Orientalisme oleh Edward W Said (1978) diantaranya yang dibahas adalah kajian seorang filolog dari Paris Ernest Renan (1848), yang telah banyak mengkaji perbandingan bahasa dari Dunia Timur dan Barat. Ketertarikan Renan pada bahasa-bahasa Semit, Ibrani dan Sangsekerta membawa Renan sebagai seorang pengkaji bahasa yang handal. Dalam berbagai pidatonya, terutama di Sorbone ia berceramah tentang pengabdian filologi kepada ilmu-ilmu sejarah. Ia mengungkapkan bahwa apa yang sebenarnya diajarkan filologi, seperti halnya agama, kepada kita mengenai asal-usul umat manusia, peradaban, dan bahasa.

Selain itu pandangan Renan terhadap ilmu filologi adalah sebagai satu-satunya cara yang memungkinkannya sebagai seorang pemuda untuk keluar dari agama dan pindah ke filologi. Selain itu ia mengungkapkan bahwa “hanya satu pekerjaan saja yang tampaknya berharga untuk mengisi kehidupan saya. dan pekerjaan ini adalah meneruskan riset kritisnya terhadap agama Kristen”(proyek Renan terhadap sejarah asal-usul agama dan bahasa). kemudian atas proyek renan dalam mempelajari asal-usul bahasa ini adalah berhasil menghasilkan tata bahasa perbandingan, reklasifikasi bahasa dalam rumpun-rumpun, dan penolakan gagasan bahwa bahasa berasal dari Tuhan.

Said mengatakan bahwa” tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa pencapaian-pencapaian ini dapat dikatakan merupakan konsekuensi langsung dari pandangan yang mengatakan bahwa bahasa seluruhnya adalah fenomena manusiawi. Ketika secara empiris ditemukan bahwa apa yang dinamakan bahasa-bahasa sacral (utamanya bahasa Ibrani) sama sekali bukanlah bahasa yang paling kuno dan bukan berasal dari Tuhan”. Kemudian Said menegaskan kembali bahwa apa yang dikatakan Foulcault sebagai penemuan bahasa suatu peristiwa sekuler yang menggantikan konsepsi agama tentang bagaimana Tuhan menganugerahi bahasa kepada manusia di Taman Eden(Said,1978:206)

Tentu saja apa yang dirumuskan Renan melalui hasil risetnya tersebut menggemparkan Eropa, bahkan sempat dilarang pembahasanya, terutama bagi yang masih memegang kuat akan tradisi-tradisi agama Katolik. Statement ini juga mendukung proses sekulerisasi agama yang sedang berkembang subur di Eropa pada masa itu. Kemudian hasil kajian Renan inipun kembali di lanjutkan oleh sejumlah peneliti diantaranya William Jones yang meneliti status orisinalitas bahasa(1785-1792), dan Franz Bopp dalam bukunya Vergleichende Grammatik (1832). Keduanya berasumsi bahwa dinasti keilahian bahasa benar-benar telah diruntuhkan dan direduksi menjadi sejenis gagasan yang dapat berubah-ubah. Untuk itu, jika umat Kristiani menyakini bahwa bahasa-bahasa di Dunia ini sebenarnya berasal dari bahasa Ibrani, maka perlu memiliki suatu konsepsi yang baru untuk bertahan hidup menghadapi bukti empiris yang mereduksi status keilahian bahasa dari kitab sucinya (Said, 1978:206). Pemahaman kaum sekuler inilah yang ikut menyumbang runtuhnya ranah dinastik dan komunitas keagamaan yang semakin ditinggalkan, dengan menggantikan sebuah “Dunia Baru” yaitu dunia ilmu pengetahuan dan rasionalitas.

Kesimpulan

Abad bangkitnya ilmu pengetahuan di Eropa mampu menghancurkan segi-segi keilahian dan dinastik hingga mencapai sebuah titik kehancuran, hingga muncul apa yang disebut abad sekulerisasi terhadap hal-hal yang berbau konservatif terutama di Barat. Ilmu filologi sebagai salah satu produk dari “Dunia Baru”, ikut berperan terhadap proses sekulerisasi tersebut hingga akhirnya menjauhkan manusia Eropa dari kehidupan Agama dan system Dinasti.

Daftar Pustaka

Anderson, Benerdict;2001: Komunitas-Komunitas Terbayang(Imagined Community): INSIST, Yogyakarta.

Said. W. Edward; 1978`: Orientalisme: Pustaka Pelajar, Yogyakarta.