Jumat, 23 Agustus 2013

Kampung Araselo tempat kami belajar

Anak Araselo di bukit 26 yang berlatar belakang kampung





 Kampung Araselo begitu orang lebih mengenal kampung ini. kampung yang terletak dihamparan luas bekas lahan pertanian dan hutan ini merupakan kampung bentukan pemerintah daerah saat Darurat Militer Aceh. Kampung ini terletak di atas bukit Dama Beleuen. memang banyak getah Damar disini itulah sebabnya masyarakat menamai Dama, sedangkan Buleun adalah bulan yang memantulkan cahaya terang pada malam hari di bukit ini. terangkailah kata Cot Dama Buleun (Bukit Damar Buleun).
Fasilitas umum masjid dan balai pengajian
Mengolah buah jerna menjadi salah satu mata pencaharian

Kampung ini secara legal kemudian bernama Kampung Dama Buleuen tetapi lebih terkenal dengan Araselo. Araselo berasal dari nama sebuah perusahaan PT Alas Halo, sebuah perusahaan yang mendapatkan tender dari pemerintah daerah untuk mengelola kawasan pertanian terpadu ini pada tahun 2004 hingga 2007. Araselo kemudian secara administratif bagian dari desa Riseh Tunong, Kecamatan Sawang atau sekitar 71 Km dari Kota Lhokseumawe. Masyarakat Araselo sesungguhnya adalah binaan PT Alas ini. Jumlah mereka mencapai 300 kepala keluarga yang berasal dari keluarga miskin dan korban konflik di kecamatan Sawang dan sekitarnya. Mereka mendapatkan fasilitas rumah sederhana dan kebun 1,5 hektar untuk masing-masing kepala keluarga.
Salah satu contoh rumah di Araselo
 Mayoritas masyarakat disini menjadi petani kebun. adapun komoditas yang bisa dihasilkan disini adalah pinang, kelapa sawit, dan buah-buahan musiman seperti durian. sedangkan selebihnya masyarakat disini menjadi petani hutan. para petani hutan ini biasanya menebang hutan atau memanen komoditas yang bisa dijual, seperti buah jerna, rotan, dan getah damar.
 Kampung Araselo awalnya mempunyai fasilitas umum yang cukup memadai seperti masjid, puskesmas, general genset, dan saluran pipa air. akan tetapi setelah ditinggal oleh PT Alas Helo semua fasilitas terabaikan. dan kini masyarakat secara swadaya kembali membangun fasilitas.
Jalan yang menanjak menjadi salah satu ciri Araselo

Jalan-jalan di kampung Araselo terjal dan cukup susah untuk dilalui kendaraan karena selain tanah liat yang licin saat hujan juga sebagain besar jalan dilapisi oleh bebatuan sungai untuk mengurangi tingkat kelicinan. kampung ini dikelilingi hutan pegunungan geurodong yang mulai gundul, sehingga udara disini masihsejuk
dan segar.
Anak-anak Araselo tetap bersemangat





Anak-anak tidak mengenal kata putus asa. jarak tempuh rumah ke sekolah yang rata-rata jauh, kurang lebih 1-3 Km dan harus menaiki bukit, ditambah jalan yang berbatu. akan tetapi semua itu tak mengurung semangat mereka untuk terus maju.

Ini SD Tempat Kami Menimba Ilmu

 Sekolah Dasar Negeri 25 Sawang adalah tempat pengabdianku di bumi Nanggroe ini. selama 14 bulan aku akan banyak belajar dari tempat ini.

Tampak depan SDN 25 Sawang

  SD ini kurang lebih delapan tahun berdiri, yaitu sejak 2005 atau masa darurat militer dicabut. SD ini awalnya berdiri secara swadaya untuk memenuhi kebutuhan sebuah pemukiman baru di lahan bekas hutan.


Anak-anak asyik bermain saat istirahat
 Selama perjalanannya SD ini tak jarang mengalami berbagai hambatan mulai dari terbatasnya jumlah guru yang mau mengajar di sini, dana operasional yang minim dan tentu dana pembangunan yang terbatas. Hingga akhirnya sekolah ini diakuisisi oleh pemerintah.


Kondisi belajar di dalam kelas
 Semangat dan dedikasi yang tinggi yang mampu mempertahankan SD ini hingga sekarang. tempat ini telah melahirkan beberapa guru yang mempunyai semangat tinggi dan kesadaran penuh akan tanggungjawab sebagai guru.


Tampak samping
 Segala keterbatasan telah mampu dilalui, terbukti hingga sekarang. anak-anakku dengan segala macam keterbatasan terus maju dan tidak akan pernah mengenal kata menyerah dengan kondisi yang ada.


Tampak belakang

Rahmadanti mempersiapkan olimpiade sains kuark
 Di sinilah kita semua merajut mimpi, memupuk optimisme, nasionalisme, dan mengasah potensi yang ada.

Dari Polonia Hingga Lhoksuemawe


Polonia 3 November 2012, udara segar menyambut kedatangan kami, dan nampak di aspal bandara bekas kubangan air tanda Kota Medan baru saja mendapatkan berkah hujan. Suasana pagi yang masih sepi membuat udara kota masih segar dan belum terkontaminasi asap kendaraan. Setelah beres mengambil carier dan ransel, kami-pun bergegas menuju terminal bandara. Kebetulan disalah satu kios di bandara rumah makan padang sudah membukakan pintunya lebar-lebar, pertanda siap melayani pengunjung. Mungkin saat itulah pikiran kita sama yaitu, ingin segera mengisi perut yang memang sejak pukul 01.00 WIB dini hari perut belum optimal terisi.  
Makanan padang adalah makanan universal bagi kami. Artinya makanan padang menjadi pilihan utama, saat kita buta arah ketika memilih makanan. Kerap saat kita lapar dikota orang, kita tidak usah berfikir panjang soal kecocokan rasa atau kehalalan makanan, ya tentu saja karena masakan padang secara rasa dan kehalalan insyaAlloh terjamin.Tentu ini berlaku bagi kami yang awam masalah kuliner. Dugaan kami tidak terlampau jauh, dan memang masakan Padang hampir sama rasanya dimana-mana, yang membedakan hanyalah soal harga yang sesuai dengan konteks daerahnya.
Jam menunjukan pukul 08.30 waktu Medan. Kami-pun ber-tujuh (ditambah satu orang dari team operasional) seusai menyantap makanan, seperti halnya kawan-kawan PM lain yang sudah mulai memamerkan foto-foto mereka yang terpampang di facebook atau Twiter. kami-pun tak mau kalah untuk segera mencari space yang strategis untuk sekedar berfoto dan memamerannya ke hadapan publik pengguna media sosial. Supaya publik memahami arti foto kita, kita-pun mengambil latar bandara polonia, sehingga setidaknya foto kami banyak bercerita tentang posisi kami.
Setelah narsis di depan kamera, kami kembali didepan rumah makan. Seperti halnya kebanyakan kota-kota di Indonesia, kami-pun masih menyaksikan pemandangan yang cukup membuat kami miris. Tepat disamping kami, anak-anak yang kira-kira masih sekolah dasar harus bekerja menyemir sepatu dan sambil menikmati rokok. Pemandangan ini membuat kami berfikir bahwa, pada kondisi tertentu anak-anak Indonesia harus berjuang untuk hidup dan mengorbankan hak-hak mereka yaitu menikmati pendidikan dan kasih sayang. Tak lama kemudian, sekitar pukul 09.00, dua orang Medan membawa dua mobil menyapa kami. Kami-pun kemudian paham bahwa, team akomodasi sudah mempersiapkan segalanya, termasuk akomodasi kami menuju ke Aceh Utara. Kami-pun segera menuju mobil, meninggalkan pemandangan yang cukup umum tadi. 
Kota Medan menjadi awal perjalanan kami di Pulau Sumatra ini. Pulau yang kaya, dan mempunyai sejarah panjang mulai dari masa klasik kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai, tempat Ibukota Indonesia saat darurat, dan menjadi tempat lahirnya beberapa tokoh-tokoh nasional seperti Tan Malaka dan tokoh ulama kharismatik masa Orde Baru yaitu HAMKA. bagi kami Sumatera adalah pulau istimewa. Terlebih kami akan menuju ke Bumi Serambi Mekah, tempat yang masyhur dengan berbagai lika-liku sejarahnya yang panjang, dan tempat yang bagi Bangsa Indonesia adalah tempat istimewa.
Saat perjalanan itulah, masing-masing pikiran kami melayang. Saya sendiri memikirkan dan menerka-nerka tentang kondisi masyarakat disana. Sesaat pikiran melayang ke hal lain, tentang kapasitas diri, mampukah merubah entitas perilaku ditengah-tengah kondisi masyarakat yang bisa saja diluar ekspektasi dan seterusnya pikiranku melayang. Sekarang merambah ke kondisi masyarakat di penempatan yang katanya pelosok itu. Cukup capek terus-menerus saya membanyangkan soal Aceh. Pikiran-pikiran yang kadang tak terkendalikan sempat membuat saya tak sempat istirahat selama perjalanan.
Masjid Tua di Sumatera Utara
Waktu Dhuhur-pun datang. Terasa lama sekali, kabarnya delapan jam waktu efektif menuju Lhoksuemawe, sebuah kota yang kabarnya berkembang karena kekayaan buminya. Mobil berhenti di sebuah masjid tua yang membuat jiwa arkeolog saya terpantik lagi. Masjid yang indah dengan arsitektur khas Aceh, sempat membuat kami mengira bahwa kami telah sampai Aceh. Masjid di sebuah daerah di Sumatera Utara itu adalah masjid tua yang dibangun oleh salah satu tokoh ulama didaerah ini. Sayang sekali saya tidak sempat mengabadikan soal nama dan latar belakang sejarahnnya karena waktu tidak banyak. Akan tetapi saya sempat memotret bagian-bagian menarik dari bangunan yang penuh ornamen yang indah itu.
Deretan Tulisan Asmaul Husna di Aceh Timur
Sekitar 3 jam kemudian, kami sampailah di Provinsi Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Timiang. Kesan pertama saya melihat aceh adalah kehidupan keberagamaan masyarakatnnya. Masjid dan balai gampong hampir disepanjang perjalanan terlihat cukup rame. Masjid dan balai menjadi jatung aktivitas masyarakat dalam sebuah gampong atau dusun. Tempat ini menjadi  tempat masyarakat berhubungan dengan Tuhan dan antar sesam manusia, selain itu majlis ilmu yang sering disebut munasyah dan pengajian anak-anak setiap hari diselenggarakan disini. Disepanjang pinggiran jalan juga kami lihat papan-papan bertuliskan Asma’ul khusna yang berjumlah 99 nama indah Alloh. Mungkin nama-nama ini dipaparkan agar masyarakat selalu mengingat nama Alloh dan selalu menghafalnya.
Dua jam kemudian tibalah kami disebuah kota yang cukup rame, yaitu kota Lhouksuemawe. Masjid Islamic Center yang megah menyambut kami dijantung kota itu. Kota kedua terbesar di Provinsi Aceh ini adalah tempatnya pabrik pupuk terbesar di Asia tenggara Iskandar Muda yang dahulu sering muncul didalam pelajaran sekolah dasar. Terlihat disempanjang jalan adalah warung kopi, Aceh adalah surganya warung kopi atau cafe. Sebelum cafe-cafe ala kota menjamur, Aceh telah mengenal warung kopi, tempat berkumpul dan nongkrong bagi semua kalangan dan umur. Kami-pun tak mau melewatkan kesempatan ini, setelah menaruh barang-barang diwisma, sebuah warung kopi yang isunya elite di Lhouksuemawe kami jajal. Dhapu kana kupi, yang kurang lebih artinya ada kopi di dapur adalah nama cafe ini. Cafe ini terletak dipinggir jalan utama dan tepat di depan Islamic Center. Cafe ini dilengkapi beberapa LCD dan proyektor tempat masyarakat menonton pertandingan sepak bola. Dan terlihat didinding terpampang foto-foto yang saya tidak tau siapa itu dan lambang Gerakan Pemuda Pancasila juga dilukiskan ditembok itu.

Suasana Cafe di Lhokseumawe

Cerita hari pertama di Aceh ini diakhiri di cafe ini. Dan akhirnya memutuskan bahwa cafe ini menjadi markas sementara kami saat berkumpul di Lhouksuemawe.

Kamis, 22 Agustus 2013

Penerapan Gender dalam Penelitian Arkeologi dan Pro-kontra Penggunaanya


Wanita Nias sedang berbondong pergi ke Gereja
Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997 dalam Baron&Byrne, 1979). Pengertian Gender dari kamus John Echol adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Pembahasan Gender menurut Mufidah secara normative pada:
1. Marginalisasi Perempuan
Anggapan bahwa perempuan dalam masyarakat konvensional kerap menjadi obyek penindasan dan terkalahkan dalam hal apapun termasuk peran dalam keluarga.
2. Penempatan perempuan pada subordinat
Anggapan wanita hanya sebagai pelengkap kehidupan kaum laki-laki dalam istilah jawa wanita sebagai konco wingking.
3. Stereotype Perempuan
Pelabelan atau sterootype perempuan dalam kontruksi sosial masyakat tertentu menjadi image wanita menjadi buruk. Dalam positivism yang diletakan oleh Hegel yang membuat stereotype aktif-pasiv, ia bersikukuh bahwa di dunia ini ada obyek aktif dan pasif, laki-laki adalah aktif sedangkan wanita adalah pasif.
4. Kekerasan(Violence)
Wanita dibagian wilayah dunia selalu dikaitkan dengan obyek kekerasan, karena secara kodrati adalah makhluk lemah yang harus dilindungi.
5. Beban Kerja yang tidak Proposional.
Anggapan wanita hanya sebagai pendamping dan pelengkap menjadikan wanita kerap dijadikan obyek eksploitasi, terutama didalam lapangan pekerjaan.
Pemahaman dan kontruksi pikiran yang menjadi dasar para kaum feminis kerap menuntut ulang dalam setiap metode penelitian sosial. Penelitian sosial harus mempertimbangkan peran wanita dan sadar akan pengaruh wanita, sehingga penelitian dinilai akan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga apa yang telah mempengaruhi para peneliti dari kalangan Arkeolog, Arkeologi harus mempertimbangkan peran kaum wanita masa lalu dalam dengan melihat kemungkinan-kemungkinan yang mucul dalam obyek kajiannya.
Penerapan dalam Ilmu Arkeologi.
Banyak penelitian dalam Arkeologi yang menggunakan pendekatan Gender, penelitian-penelitian ini kebanyakan berangkat dari asumsi marginalisasi peran wanita dalam kasus-kasus penafsiran obyek kajian arkeologi. Seperti yang dilakukan oleh Karlotte Brysting Damm ditulis dijurnal yang berjudul Time, Gender, and Produktion: A critical Evalution of Archaelogical Time Concepts, yang mencoba mempertanyakan kembali kefalidan penafsiran kaitannya konsep waktu dalam Arkeologi yang mencoba mengevaluasi pandangan atau konsep waktu yang dipahami oleh peneliti barat yang menurutnya kurang tepat saat digunakan dalam menafsirkan konstruksi kebudayaan masyarakat masa lampau. Damm membandingkan dengan konsep waktu menurut orang Papua yang memiliki perbedaan dengan konsep barat dan kemudian dikaitkan dengan produktivitas dan peran kaum wanita dalam membuat gerabah
dengan melihat akumulasi kereweng dalam sebuah situs. Selain itu dalam penelitian Irigaray, dan Cixous, 1985 yang memunculkan istilah Phallocentrism dalam setiap penafsiran yang meniadakan peran wanita dalam setiap sejarah peradaban, mencoba berangkat dari kritik penelitian yang telah lalu dan secara kualitatif kembali mengguakan pendekatan Gender, atau penelitian Mary Baker dalam jurnal Gender: Enabling Perspektive or Politically Correct Term? An Analysis of How Gender and Material Culture are Viemed by 1990s Academia, yang berpendapat bahwa harus ada sebuah pemikiran yang melawan dominasi akibat dikotomi dalam setiap penelitian arkeologi, dan masih banyak peneliti-peneliti yang lain yang mengguakan pendekatan ini, termasuk penelitian di Indonesia terutama akhir-akhir ini yang banyak mengungkap peran wanita masa klasik.
Berangkat dari kritik terhadap asumsi-asumsi terhadap kefalidan penelitian arkeolog,dan sampai pada proses penafsiran data yang sangat melihat atau mempertimbangkan peran wanita, seperti contohnya melihat kembali peran wanita dalam masyarakat prasejarah yang selalu diasumsikan sebagai pelaku food Gathering bukan hunter atau pemburu, sehingga anggapan ini menimbulkan kesan peran wanita yang tidak ada dalam konstruksi social, marginalisasi dan lain sebagainya, akan mempengaruhi pada sebuah kesimpulan akhir dalam penelitian.
Kritik Analisis Gender
Sebuah Kritik dari penerapan berbagai penelitian Gender didunia Arkeologi yang dilakukan Alison Wylie dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian arkeologi menggunakan pendekatan ini diawali oleh kritikan dan ketidak kepercayaan akan penafsiran yang dianggap menghilangkan peran-peran wanita. Bahkan menurutnya dalam stadium tertentu akhir-akhir ini penelitian berbasis Gender telah terintervensi oleh kepentingan politik yang cenderung pragmatis. Alasanya adalah seringkali penelitian ini tidak obyektif dan penuh kepentingan, selain itu apa yang disuarakan tidak atau sulit dalam pengaplikasianya di lapangan, melanggaran Norma-norma penelitian, dan selain itu dalam penerapanya sering kali melupakan konteks penelitian yang digeneralkan dalam sebuah teori yang mengikuti faham feminish . Kemudian dia mengutip pendapat yang ada dalam jurnal metodelogi dan teori arkeologi bahwa penelitian arkeologi dengan gender seringkali tidak sesuai dengan teori gender dalam disiplin ilmu gender. Selanjutnya dia mengusulkan bahwa Gender dapat berkontribusi dalam setiap penelitian Arkeologi dengan ketentuan: 1. kejujuran peneliti dalam menafsirkan penemuan Arkeology, 2. Penerapan teori gender harus sesuai dengan disiplin ilmu Gender atau Gender yang Normative (yaitu semata untuk mengungkap marjinalisasi peran wanita dalam obyek penelitian).3. Harus lebih melihat konteks.
Kesimpulan
Meskipun dalam perannya pendekat Gender dalam dunia Arkeologi menuai berbagai kritikan dan atau dukungan, penelitian Gender dalam arkeologi akan lebih obyektif jika tanpa adanya intervensi, dan tentu akan tetap bermanfaat untuk menyumbangkan data dalam disiplin ilmu arkeologi.
Daftar Pustaka:
Mufida, 2003: Paradigma Gender, Banyu Media Publishing. Jawa Timur
Mary Baker: Enabling Perspektive or Politically Correct Term? An Analysis of How Gender and Material Culture are Viemed by 1990s Academia. Jurnal Gender.
Karlotte Brysting Damm: Time, Gender, and Produktion: A critical Evalution of Archaelogical Time Concepts. Tanpa tahun.
Alison Wylie, 2007: Doing Archaelogy as s Feminist: Introduction. Jurnal arkeology Methode and Theory.

Subuh 3 November 2012


Akhirnya hari yang ditunggu-tunggupun datang, tanggal 3 November 2012 menjadi hari yang istimewa. Hari itulah semua perasaan mulai dari bahagia, sedih, takut, ragu dan penasaran bercampur aduk menjadi satu dan sempat mewarnai suasana pelepasan para Pengajar Muda. Pukul 04.30 WIB, hampir semua dari team Indonesia Mengajar, Pengajar Muda angkatan V, dan sebagian wali yang mengantar berkumpul di depan pintu AI bandara Sukarno-Hatta untuk mengikuti prosesi pelepasan.
Pelukan perpisahan
Lagu kebangsaan-pun dinyayikan dengan penuh hikmat dan khusuk. Terlihat semua yang hadir meresapi suasana yang terbangun pagi itu. Mungkin semua yang hadir merasakan hal yang sama terutama bagi para Pengajar Muda, saat lagu kebangsaan dialunkan serasa bagaikan genderang perang dan kami menyadari bahwa perjuangan ini benar-benar segera akan dimulai dan ini bukan mimpi atau bukan simulasi seperti saat pelatihan intensif. Perasaan awal yang masih ragu dan merasa belum siap seketika menghilang dan memang harus segera disingkirkan, karena waktu sudah tidak memberikan ruang dan peluang untuk ragu.
Lagu Indonesia Raya telah dinyayikan, tidak lama kemudian kalimat-kalimat penyemangat mulai masuk kedalam benak kami. Bapak Anis Baswedan dengan ke-khassannya beliau menyampaikan pidato singkatnya. Pidato yang penuh makna bagi kami dan menambah kuat hati kami yang tadinya sempat layu. Beliau memang pernah menyampaikan beberapa point yang sama, akan tetapi karena konteksnya berbeda, maka kami-pun pada hari itu lebih mampu mersesapi secara mendalam apa yang beliau sampaikan.

Isak tangis para PM V
Pidato berakhir dan kini berganti perasaan sedih mulai muncul, perasaan ini lebih pada romantisme hari-hari yang telah berlalu yang penuh kebersamaan diantara kami 50 orang pengajar muda dan team IM yang selama dua bulan merajut tali kebersamaan. Nyaris 24 jam kami bersama, canda tawa bahagia, sedih, takut, ragu, dan kecewa kami alami bersama-sama. Sehingga ikatan kami telah kuat, hati kami telah menyatu bersama dengan sikap optimisme kami. Saat pelepasan itulah, ibarat kebersamaan itu akan diceraikan secara paksa dan seketika air mata tak dapat ditahan lagi. Tapi inilah tugas, bagaimanapun tugas ini yang telah mempertemukan kita, dan kami yakin 14 bulan mendatang kami akan dipertemukan kembali dengan masing-masing cerita yang berbeda dan saat itulah kami telah menjadi pribadi-pribadi yang lebih matang, karena proses penempaan yang panjang.
Akhirnya satu demi satu team meninggalkan terminal, naik ke udara menuju tanah tempat masing-masing berjuang. Hanya doa dan bekal selama pelatihanlah yang akan selalu menemani kami, dan hingga saat nanti tiba waktunya kami akan dilepas secara individu.
Selamat berjuang kawan....