Sabtu, 21 September 2013

Haii! peserta Festival Gerakan Indonesia Mengajar, berikut puisi yang dibacakan oleh Rozali. seorang anak murid dari SDN 25 Sawang, Aceh Utara. Video ini hanya menunjukan bahwa, anak-anak pelosok Aceh Utara mempunyai mimpi dan cita-cita yang tinggi. Ayo dukung mereka!!
Rozali demikianlah anakku ini dipanggil. Anak aktif dan pemberani ini tak kenal kata "hanjet!", yang artinya "tidak bisa!", seandainya diminta untuk tampil atau mengerjakan tugas. Rozali anak periang yang tak banyak mengeluh. Tak hanya itu saja, anak ke tiga dari lima bersaudara ini mempunyai sikap yang sopan dan mempunyai sikap kepemimpinan yang patut dicontoh oleh teman-temannya. sikap kepemimpinan ini selalu ditunjukan saat perannya yang selalu menjadi pemimpin upacara bendera. Tak hanya itu, Rozali menjadi pemimpin kelas sejak Ia kelas 5. Rozali juga sering ditunjuk oleh Kepala Sekolah Pak Zulfikli untuk melatih teman-temannya menjadi pemimpin upacara. lebih dari itu sebenarnya sikap kepemimpinnya ditunjukan oleh anak ini ketika sering menggantikan temannya menjadi petugas upacara. Semua peran ia bisa, mulai dari membaca teks UUD 45 sampai menjadi petugas pengibar bendera.

Pagi hari Rozali selalu menyapaku dengam godaan khasnya, yaitu ngomong bahasa Aceh. awalnya aku kesulitan memahami apa perkataannya, tapi lama kelamaan aku memahami. "pu haba, pajan ka truk?" (bagaimana kabarnya,kapan sampai sekolah?) sambil mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, ia ngomong dengan intonasi cepat. Akupun hanya tersenyum, karena tak bisa menjawab apa yang ditanyakan anak ini. Tak lama kemudian ia selalu membantuku membersihkan halaman kantor. Saat kawan-kawan lain sibuk bermain, ia lebih sering membantuku membawa kotak sampah.

Rozali tinggal bersama kedua orang tua dan kakak perempuannya. Rumahnya tak bertetangga, karena terletak di pinggiran hutan jauh dari pusat kampung. Rumah papan kayu ini terletak disebuah bukit, yang belum teraliri dengan listrik dan air bersih. Jarak rumah Rozali dengan sekolah sekitar 500 Meter, dekat memang karena sekolah kami kebetulan terletak jauh dari pusat kampung dan lebih dekat dengan rumah Rozali. Letak rumah Rozali yang sekitar 2 KM dari pusat kampung, tak membuat anak ini tak mengaji di Balai. setiap pukul 5 sore, ia sudah terlihat di kedai depan balai, untuk menunggu Teungkunya datang. 

Selain pintar dan mempunyai sikap kepemimpinan, Rozali juga mempunyai ketertarikan dalam musik dan puisi. Entah berapa kali anak ini selalu menawarkan diri untuk direkam saat mendendangkan lagu seperti artis. Jiwa seninya juga membuat ia jago membuat puisi. ketertarikan pada lagu dan puisi ini membuatnya selalu ingin menjadi artis terkenal. Semoga cita-citamu tergapai hai Rozali, pak guru selalu mendoakanmu ^_^
Krue Seumangat Aneuk Nanggroe!

Muhibbudin (Kelas 6)

Nur (Kelas 3)

Saryulis (Kelas 3)

M. Rizal (Kelas 6)
Di depan camera menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi anak-anakku. Yuk tengok bagaimana ekspresi mereka saat di foto.

Sabtu, 14 September 2013

Nur (Kelas 3)

Nurdini (Kelas 4)

Akbar (Kelas V)

Hafidz,Ikrom,Fikri (Kelas V)

Tambah Muhibbudin (kelas 6)
Pose model ala anak SDN 25 Sawang, "Ayo anak-anak, kita berpose seperti model di TV" kataku. Inilah dia sebagian foto yang terbaik.

Kamis, 12 September 2013



Logo Akber Lhokseumawe
Kegiatan Class
               Entah tepatnya tanggal berapa waktu itu, sekitar bulan Maret 2013, sebuah undangan mengisi acara tiba-tiba datang dari Akademi Berbagi Medan yang dibawa oleh Rifki Furqon, anak Aceh yang kebetulan saudaranya menjadi kepala

sekolah Akber Medan. Tentu tawaran ini menggiurkan akan tetapi, karena suatu hal kami akhirnya tidak menyanggupinya. Dari sini, kemudian hadir sebuah gagasan untuk membuat Akber Lhokseumawe. Tetapi kemudian pertanyaannya adalah siapa yang mau bersusah payah membangun sebuah perkumpulan yang tak menghasilkan profit dalam bentuk materi. Awalnya tentu kami masih berfikir-fikir bahwa, tidak akan ada yang mau bersusah payah membangun fondasi awal Akber di Lhokseumawe. Ide ini kemudian berlarut tak teraplikasikan dalam sebuah gerakan nyata, lebih pada angan-angan yang terus kami impikan dan selalu dibayangi sebuah pertanyaan besar, kapan Akber terwujud di bumi Nanggroe ini? tentu semua dengan sejuta harapan yang diidamkan bersama, yaitu membangun ruang berbagi dan dialog di tengah-tengah remaja Aceh.

                Bulan keempat kami di Aceh, sebuah undangan kali ini datang dari sebuah lembaga kursus bahasa Inggris yang bernama HES, kepanjangan dari Hana Engglish School. Lembaga ini berdiri di Lhokseukon, sebuah kota kecil  di Aceh Utara. Di sinilah seorang bernama Bang Hanif dengan penuh optimisme membangun usaha dibidang jasa itu. Selanjutnya kami mengetahui bahwa Bang Hanif ini juga merupakan tenaga pengajar Bahasa Inggris di Universitas Malikhussaleh, yang menjadi salah satu kampus besar di Aceh.  Orang pekerja keras ini mengundang kami untuk sedikit menceritakan pengalaman selama tugas  di depan para peserta kursus.


                Singkat cerita dari sinilah kemudian ada sebuah keajaiban yang mengharuskan Akber Lhokseumawe lahir. Ajaib, karena kami dipertemukan Bang Hanif yang ternyata sejak lama beliau berkeinginan membuat Akber di Aceh, akan tetapi belum terlaksana. Dari sinilah kemudian angan-angan kami dapat terwujud, dan akhirnya kami bersepakat untuk bersama melahirkan Akber di Nanggroe.

Suatu pekerjaan akan mudah jika dikerjakan dengan bergotong royong, demikian halnya dengan Akber Lhokseumawe. Di awal perintisaanya, kami juga melakukan konsultasi dengan Sekolah Demokrasi. Dengan respon yang positif, anak-anak Sekolah Demokrasi akan membantu apa saja yang bisa dijangkau oleh mereka. Waktu itu sekitar bulan april Sekolah Demokraasi menawarkan tempat dan peserta untuk kelas pertama Akber, sehingga pada akhir bulan itu kami bisa mewujudkan Akber di Lhokseumawe. Kelas pertama demikian kami menyebutnya, lagi-lagi gotong royong untuk membuat kelas perdana ini, beruntung kami karena ada Rifqi Furqon waktu itu yang mau membantu untuk menjadi pembicara pertama di Akber Lhokseumawe.

                Memang tak ada sesuatu yang mudah diraih tanpa adanya sebuah usaha, begitu juga dengan Akber ini. dalam perjalannya Akber tentu menemui berbagai hambatan dan rintangan. Kini Akber sepenuhnya dikelola oleh para remaja hebat asli Aceh. Sedangkan Pengajar Muda hanya sedikit membantu jika ada yang dibutuhkan dalam perjalannya. Setiap bulan Akber selalu menyelenggarakan kelas di Kota Lhokseumawe dengan berbagai tema yang mampu menarik para remaja di kota ini. selain itu, kini Akber juga menjadi salah satu forum yang berperan dalam bidang sosial. Ketika bencana gempa terjadi di Takengon dan Bener Meriah, mereka ikut turun tangan membantu saudara mereka.

                Kami para Pengajar Muda berharap Akber Lhokseumawe selamanya menjadi ruang berbagi, ruang dialog anak-anak muda Aceh tentang berbagai hal positif untuk membangun Aceh yang lebih baik. 


Kamis, 05 September 2013

Masa lalu
Pak Geuchik Banta tiba-tiba menghampiriku, sambil menggenggam bendelan kertas agak lusuh yang bertuliskan “Proposal Permohonan Pengadaan Listrik Gampong Araselo”. Awalnya aku mengira ada sesuatu hal serius yang ingin beliau sampaikan, tapi perkiraan itu meleset, karena Pak Geuchik hanya ingin meminjam sejenak Laptopku, untuk mengotak-atik surat sebagai lampiran proposal. Kisah bendelan lusuh ini aku ingat kembali setelah delapan bulan bergaul dengan masyarakat Araselo. Tepatnya saat aku pulang dari Banda Aceh dan tak disangka bahwa malam ini adalah malam pertama warga bercengkrama dengan yang namanya listrik PLN. Ini bukan momentum yang remeh temeh, karena ini adalah perjuangan panjang selama kurang lebih lima tahun. Pak Geuchik pendahulu hingga sekarang, Pak Banta yang dibantu masyarakat naik turun gunung, membawa bendelan lusuh ini. Mereka tak berhenti keluar masuk mulai dari kantor kecamatan sampai Kantor Bupati, tujuannya yaitu memohon dihadirkannya listrik di kampung kami.

Araselo selama ini tak beristrik PLN. Syahdan waktu awal pembangunan kampung di bekas areal hutan ini, jamak masyarakat di sini menggunakan tenaga surya sebagai penerangan dan cukup untuk menghiduokan satu radio untuk memecah keheningan. Waktu terus berlalu, tentu ini tidak sesuai dengan perkembangan jaman, karena kebutuhan akan hiburan dan peralatan elektronik lainnya semakin tak terelakan. Maka tak heran jika sebelum adanya listrik PLN kedai-kedai sebagai jantung kedua pusat peradaban kampung setelah masjid, ramai karena hadirnya daya listrik yang lebih besar bersumber dari genset. Itulah sebabnya kedai bagaikan lampu yang dikerubungi anai-anai karena saking banyaknya orang.

 Berlanjut pada kisah bendelan lusuh “ajaib” yang di bawa pak Geuchik tadi. Alhasil perjuangan pak Geuchik ini membuahkan hasil, sekitar tiga bulan menjelang puasa 1434 H. Petugas PLN naik ke kampung dan tak kurang dari satu bulan, pekerjaan membentangkan kabel dan tiang listrik sepanjang 10 KM itupun rampung. Sebuah kerja kompak yang membuahkan hasil memuaskan. Dan kini saat hari pertama listrik dialirkan, aku baru sadar akan ajaibnya benda bendelan lusuh tadi. Yah kini bendelan ini merubah segala aspek kehiduan masyarakat Araselo. Betapa tidak malam ini kedai buka lebih lama dari biasanya yang hanya pukul 01.00 malam. Termasuk kedai emakku, ternyata emakku berfikiran bahwa listrik PLN lebih murah dari pada listrik genset untuk menghidupkan peralatan elektronik TV, sehingga emakpun tak ragu untuk melayani pembeli lebih lama dari biasanya. Dampaknya anak-anakku juga ngikut nongkrong lebih lama, karena menanti orang tua mereka yang masih keasyikan menonton layar kaca. Paginya lebih heboh lagi, suara penyiar  berita TV, yang selama ini aku rindukan, karena tak pernah terdengar, meramaikan suasana pagi di warung emakku. Belum lagi dengan dendangan pagi lagu dangdut dari radio baru tetanggaku  yang ikut meramaikan pagi itu.

Laju dampak adanya listrik tak bisa dihambat lagi. Banyangkan saja sekarang alokasi keuangan masyarakat lebih dipertimbangan untuk menghadirkan barang elektronik. Setidaknya kini di Araselo ada dua kulkas yang dibeli dua hari pasca ada listrik. Rumah-rumah kini mulai mempunyai ruangan privat untuk hiburan yang kadang sedikit menggeser budaya komunalisme di kampung, dan yang pasti anak-anak sekarang akan lebih sering menonton televisi. Ah, semua itu tentu suatu masalah yang tidak usah menjadi focus yang penting sekarang tentunya anak-anakku bisa belajar dan membaca buku pinjaman perpustakaan di malam hari, tanpa ada hambatan. Kini tak ada alasan gelap, tapi tentu kemudian alasan akan berganti dengan alasan lain yang lebih canggih kalau anakku lalai mengerjakan tugas rumahnya. Ini wajar, tentu menjadi tantangan terbaruku, dan tentu tantangan baru buat orang tua wali, karena harus pinter-pinter mengatur waktu.

Malam itu selain menjadi malam pertama kampungku beranjak dari kegelapan, sekaligus menjadi malam istimewa karena bertepatan dengan hari meugang. Sebuah tradisi masyarakat Aceh menjelang bulan suci ramadhan untuk mengkonsumsi daging sapi. Malam itu mungkin beribu-ribu sapi di Aceh ini disembelih untuk memenuhi kebutuhan daging. Tak hanya para orang tua yang sibuk, anak-anakkupun tak mau kalah.

Di malam meugang inipun aku memahami bahwa barang lusuh ajaib itu setidaknya menumbuhkan kepercayaan diri dan optimisme masyarakat bahwa selama ini masyarakat masih diperhatikan. Keberadaan listrik ini tentu akan menjadi sebuah harapan baru akan majunya kampung Araselo.


 
         
Kegiatan tadarus malam
Usailah Hari Meugang 1434 H kali ini yang diakhiri dengan gigitan terakhir untuk daging sapi yang dimasak rendang khas Aceh berkuah lemak. Sebuah tradisi yang tak akan lekang dalam ingatanku bagaimana menjalani hari-hari sambil mengamati hiruk-pikuk masyarakat mengisi cadangan lemak dan protein dalam tubuh, guna menghadapi puasa Ramadan esok harinya. Spontan acara makan daging harus dipercepat, karena adzan sholat Mahgrib untuk tanggal 9 Juli 2013, telah dikumandangkan oleh Teungku Imum Masjid. Suara lirih untuk merespon panggilan adzan yang aku lakukan kali ini berbeda rasanya. Berbeda karena waktu inilah peralihan menuju bulan suci dan berbeda karena saat itupula aku teringat masa seperti saat ini yang biasa bersama keluarga di rumah. Usai melantunkan bait demi bait panggilan adzan, aku bergegas membantu emakku yang memungut piring berlemak dan sejumlah gelas. Setelah usai aku mulai siapkan diri untuk menunaian panggilan Rob.


            Kini Ramadhan aku tekatkan untuk meningkatkan segala sesuatu yang terbaik seperti halnya Ramadhan sebelumnya, namun orientasinya berbeda, karena kali ini aku niatkan peningkatan terbaikku untuk anak-anakku dan masyarakatku di mana sekarang aku berpijak. Itu sedikit bocoran doa sehabis shalat sore itu. Malam pertama dan kedua aku merasakan Ramadan yang sungguh hikmat, berada dikampung pedalaman Aceh, dengan segala tradisi yang menyertainya. Saat siang semua masyarakat menjalankan kewajiban puasanya, saat menjelang puasa suasana semakin ramai, karena semua disibukkan dengan persiapan buka puasa, demikian dengan malam, semua bersujud dan bersimpuh di masjid untuk mengekspresikan kehidupan religiusnya. Semua berpadu dengan apik tanpa perbedaan mahzab atau teknis cara beribadah yang diributkan seperti di kota-kota.

Ramadan Produktif

            Sekilas, sehari dua hari nampak tak berbeda dengan kampung halamanku di Jawa. Namun tentu kemudian mulai terasa perbedaannya. Apa perbedaan yang aku rasakan? Masyarakat disini seperti membalik waktu, siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Mengapa demikian?  Jawabannya ada pada pola kegiatan masyarakat selama bulan suci yang berubah total. Pada waktu malam hari masyarakat menjalankan ibadah sholat teraweh yang umum di sini dilaksanakan sebanyak dua puluh tiga rakaat. Kemudian setelah itu ada yang berbeda, mereka tadarus sampai waktu sahur tiba. Inilah yang membuat beda dari daerah lain di Indonesia. Perbedaan semakin mencolok ketika rupanya tidak hanya tadarus, tetapi aktivitas siang dialihkan waktunya saat malam. Contohnya jam buka warung kopi yang keberadaan menjamur di Aceh dari kota sampai pelosok-pelosoknya. Aku tinggal di salah satu warung kopi, disitulah merasakan bagaimana meenunggu pelanggan sampai jam sahur, alias nonstop dari sore. Tidak hanya aktivitas ngopi aja ternyata, lebih dari itu aktivitas angkat kayu dari hutanpun dialihkan pada malam hari.

            Jelas dampaknya adalah waktu siang harinya. Ketika bakda subuh pertamaku di awal ramadahan, aku melihat pemandangan yang khas puasa di sini, yaitu pemadangan kampung mati. Nyaris dari subuh sampai menjelang siang tak ada hiruk-pikuk orang lewat terlebih orang bekerja. Orang keluar saat matahari persis di atas ubun-ubun, dengan wajah kantuk dan terlihat letih, itu pemandangan umum, terutama anak-anakku yang mengikuti pola kegiatan yang sama dengan orang dewasa. Awalnya aku berfikir ini hal yang wajar karena malamnya mereka beraktifitas hingga pagi hari, tetapi kemudian kalau dikaitkan dengan agenda di sekolah nantinya, pasti pola ini akan menghambat saat pelaksanaan pesantren Ramadhan nantinya. Dan terbukti, pesantren Ramadan di sekolahku dilaksanakan satu minggu setelah libur puasa. Alhasil hari pertama pelaksaan hanya ada lima anak murid yang berangkat bersama kepala sekolah dan satu guru. Dugaanku gak meleset ternyata, karena kondisi ini bertahan sampai hari ketiga, selanjutnya semua bubar, alias menghilang ditelan heningnya siang.
Ramadan produktif


            “Aku tak boleh lengah”, pikirku pagi pertama menghadapi kondisi ini. sengaja karena sebelumnya telah aku prediksi, pagi hari pukul delapan aku bergegas mandi dan merapikan seluruh atribut kebesaran saat mengajar. Aku pun bergegas berdiri si simpang tiga, depan rumahku dengan harapan anak-anak melihatku dan kemudian tertarik untuk ke sekolah. Sepuluh menit masih sepi, dua puluh menit kemudian berlalu, “benar-benar kampung mati” batinku. Tak seorangpun lewat. “Sabar saja, mungkin lima menit atau sepuluh menit lagi bakalan ada yang menyapa”. Gumamku sendiri di pertigaan itu. Benar saja jerih penantian itu membuahkan juga, terlihat dari jauh lorong empat, dua anak alit memakai seragam berjalan menuju pertigaan. Spontan energy semangatku kembali. “Assallamualaikum” sapaku, ‘Waalaikumussalam” “anak-anak ada puasa”? “ada pak” serempak mereka menjawab “alhamdulilah, “tunggu yang lain sebentar ya”. Lima menit berlalu, nampaknya Cuma Fauzan dan Maullidin yang bakal menjadi santriku di hari pertama ini. Tak mau kehilangan akal, aku ajak mereka memanggil anak-anak yang lain di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Alhasil ada tiga tambahan anak lagi yang mau bangun pagi itu dan mengikuti kegiatan disekolah pagi ini.

            Demikian juga dengan hari-hari selanjutnya, nampaknya santri setiaku hanya lima anak ini. itupun dihari kedua mereka protes karena enggan lagi kegiatan pesantren kilat dilakukan di sekolah. Maklum saja sekolah jauh dan harus naik turun bukit, ini membuat kami semua cepat lelah. Oke, keputusanku bulat mulai saat ini kegiatan pesantren kilat aku alihkan ke balai pengajian. Anak-anakku nampaknya senang sekali dengan keputusan ini. kegiatan di balai, ternyata tak mampu menarik kehadiran lebih banyak lagi, tetapi alhamdulilah setidaknya sekarang bertambah tiga orang lagi. Dan kegiatan ini tak bertahan sampai seminggu, seperti yang aku rencanakan sebelumnya, karena kemudian anak-anak tak nampak lagi. Muncul pertayaan dalam benakku, mengapa demikian? Apakah anak-anakku terlalu terbebani dengan materi yang telah aku susun selama pesantren kilat? “Ah, nampaknya bukan karena itu”. batinku terusik, karena aku merasa kegiatan yang aku sodorkan semua menyenangkan, tak ada mata pelajaran seperti biasa, semua kegiatan aku balut dengan permainan, lagu, dan kegiatan lomba yang menyenangkan.

            Kegiatan bersama anakku diluar kegiatan pesantren ramadhan aku desain ulang dengan menyesuaikan kondisi yang ada. Nampak anak-anak tak sepenuhnya menghilang dari hadapanku. Karena sehabis sholat dzuhur mereka mulai berdatangan menghampiri rumahku. Saat itulah aku buka lebar-lebar pintu rumah. “ini kesempatan bagus” harapanku, setidaknya seharian mereka tak hanya membalas rasa kantuknya di dalam rumah mereka. Ini waktunya mereka produktif di hari puasa. Siang itu satu episode film kartun tentang nabi aku putar. Alhasil mereka ketagihan dan selalu minta episode yang lain. Tak mau kalah dengan anak-anak, aku siasati dengan peraturan. “kalau mau nonton lagi ada syaratnya”, pintaku. “apa pak syaratnya?” “ sebentar lagi aka ada lomba membuat karangan di majalah Bobo, siapa yang mau ikut?” tanpa ekpresi dan tak ada yang angkat jari satupun. “kalau nanti kalian berhasil mengarang dan menulis, bapak akan kasih film lagi”,tiba-tiba serentak mereka angkat tangan, nah, ternyata berhasil juga. Hari-hari selanjutnyapun sesuai kontrak, mereka mau mengarang untuk persiapan lomba dan tanpa disadari puasa mereka produktif.   

            Puasa hari keempat, aku ikuti saja ritme denyut kegiatan masyarakat dikampungku. Hal yang berat bagiku adalah teraweh dua puluh tiga rakaat, dengan tempo yang cukup cepat. Bagiku ini hal yang baru, meskipun sebelumnya di tempat asalku mahzab ini umum dipraktikan. Selama ini aku melaksanakan teraweh mengikuti sebelas rokaat, dengan tempo yang sedang. Di sini aku mengikuti pola masyarakat, meskipun ini berlawanan dengan fiqihku yang masih kukuh dua belas rakaat. Tentu keputusan ini aku lakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama aku hanya menjaga stabilitas kampungku. Yang perlu digarisbawahi bahwa permasalahan fiqih menjadi sesuatu hal yang sensitif di Aceh. Masyarakat di sini meskipun melaksanakan tradisi keIslaman secara turun menurun, mereka tetap mengamini bahwa mereka adalah Ahlul Sunnah Wal Jamaah, artinya adalah pengikut sunnah Nabi, alias merujuk perilaku nabi setiap dalam ritual yang mereka kerjakan. Diluar kominitas atau pola ritual yang mereka kerjakan, akan di sebut sebagai kaum Muhammadiyah. Ini sebuah kenyataan umum, bahwa bagi pelaksana teraweh sebanyak dua belas rakaat adalah bukan Ahlul Sunnah tapi mereka adalah Muhammadiyah. Bukan tanpa konsekuensi bagi orang yang menyandang gelar ini, secara sosial penyandannya akan pelik.

            Hari keempat ramadahan disini aku melihat sebuah kenyataan yang kadang membuat gregetan dan sedikit maklum. Biasa melihat dikampung asalku, masjid akan sepi dari jamaah sholat teraweh ketika sudah mendekati waktu lebaran, atau minimalnya separoh bulan Ramadan. Di sini aku melihat hal yang membuat aku tercengang.  Baru hari keempat jamaah sholat teraweh tak lebih dari delapan orang untuk kaum adam. Selebihnya mereka terlihat di pusat peradaban yang baru bagi mereka yaitu warung kopi. Entah apa yang ada di dalam benak pikiran masyarakatku disini. Tentu ini menjadi alasan keduaku mengapa aku harus selalu terlibat dalam kegiatan teraweh, selain karena ingin menadapat ridha Illahi, yaitu jelas sebagai orang baru disini aku hanya ingin memberi contoh dengan tindakannku. Aku ajak anak-anakku untuk mengikuti teraweh, meskipun tak selesai. Istiqomah dan jangan absen sekalipun kecuali jika sakit.       

            Memang kemudian anak-anakpun mengikuti orang-orang dewasa yang sebagaian besar kehidupan malam ramadhannya hanya nongkrong di warung kopi. Tapi, tak apalah aku hanya berkewajiban memberi mereka semacam contoh tentang bagaimana harus berkomitmen dengan agama itu.
    Sekali lagi, gerakan ini semacam pemantik bagi semua kalangan untuk lebih serius memperhatikan soal pendidikan di Aceh. Ini bukan sebuah program kerja selama Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar berada di Aceh saja, melainkan ini adalah sebuah gerakan kesadaran bersama untuk menebar kepeduliaan dan optimisme bagi semua pihak terhadap kondisi pendidikan. Aceh mungkin tak separah Papua atau daerah pelosok lain yang benar-benar kekurangan buku, karena akses mereka yang relative lebih sulit. Tetapi kemudian mengapa perlu adanya gerakan ini di Aceh? jawabannya adalah Aceh tak hanya butuh buku, tetapi Aceh butuh kepedulian.


                Hampir dua tahun sudah sejak Pengajar Muda angkatan pertama ditugaskan ke Aceh lalu menggagas gerakan ini yang kemudian gerakan ini sempat pasang surut dan mengalami mati suri. Terlebih sejak Pengajar Muda angkatan pertama mendadak meninggalkan Aceh karena alasan keamanan. Untung kemudian ada Penyala Aceh sebagai gerakan literasi Indonesia Mengajar yang memang harus berusaha keras untuk menghidup-hidupi gerakan ini, tapi kemudian karena tak ada kepastian akhirnya sejenak dihentikan. Pengajar Muda angkatan kedua datang, Alhamdulilah pelan-pelan dan dengan gotong royong gerakan ini kembali di gelorakan.


              Ini lebih karena Penyala Aceh sebagai salah satu lokomotif gerakan mempunyai keinginan kuat dan semangat menjalankan gerakan ini. “One Man One Book for Aceh” kembali ramai dan banyak menadapatkan dukungan dari personal-personal yang ada di luar dan dalam Aceh. Dukungan ini tentu dalam berbentuk kiriman buku dan surat untuk anak-anak Aceh. Bahkan, kemudian dukungan juga datang dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri. Mereka banyak mengirim post card dan pesan optimis untuk anak-anak Aceh. Mungkin kiriman ini bagi kebanyakan orang terlihat sederhana dan kecil-kecilan, tapi bagi anak-anak Sekolah Dasar, mendapatkan kiriman post card dari Eropa dengan coretan kalimat penyemangat di dalamnya menjadi sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan  sebelumnya. Tentu ini kemudian tak sederhana bagi anak-anak.

Salah satu sekolah sasaran one man

             Kini semua pihak mudah berkontribusi untuk pendidikan di Aceh. Cukup dengan mengirimkan buku atau pesan positif ke PO BOX 1144 Lhokseumawe, buku-buku mereka yang berasal di Luar Aceh atau di luar negeri sekalipun dapat sampai ke tangan anak-anak di pelosok Aceh Utara. Sampai saat ini Aceh Penyala dan Pengajar Muda telah menyaluran ke beberapa sekolah yang dianggap masih sedikit memiliki fasilitas buku bacaan untuk mendukung kegiatan belajar peserta didik.  Kami juga bersyukur karena selama kegiatan didukung oleh Perpustakaan Daerah Aceh Utara yang mau membantu untuk berperan yaitu meminjamkan buku mereka untuk program Perpustakaan Keliling.

Iklan lucu buatan papi piyoh


            Tentu semua pencapaian gerakan sederhana ini merupakan hasil gotong royong semua pihak. Kedepannya memang harapannya akan lebih banyak pihak yang campur tangan dan lebih peduli lagi dengan kondisi pendidikan di Aceh. Suatu saat nanti pasti Pengajar Muda akan meninggalkan Aceh, akan tetapi “ One Man One Book for Aceh” tak boleh berhenti seiring dengan selesainya masa penugasan Pengajar Muda. Gerakan ini harapannya terus menjadi pemantik kepedulian atau lebih tepatnya menarik orang untuk lebih memperhatikan soal pendidikan terutama di bumi Nanggroe ini.

Senin, 02 September 2013

Bergaya di Islamic Center Lhokseumawe
Lhokseumawe Minggu 4 November 2012, pukul 07.00 adalah hari pertama  kami berenam menginjakkan kaki di Bumi Nanggroe. Agenda pagi itu adalah mencari sarapan di tempat yang nyaman buat ngobrol, sembari membahas agenda hari esok. Saat beranjak dari wisma tempat kami transit sebelum tinggal di desa masing-masing, terlihat beberapa RBT atau ojek motor telah menyambut. Kami-pun lebih memilih berjalanan kaki untuk sekedar melemaskan kaki sehabis perjalanan jauh dari Medan kemaren. Tak lama berjalan, deretan warung kopi telah menyambut kedatangan kami, tanpa berfikir panjang kami pilih satu yang strategis dan memesan hidangan yang ada, tanpa kecuali kopi khas Aceh yang terkenal yaitu Ulle kareng.


            Rapat hari pertama-pun kami lakukan. Agenda rapat pagi itu akan membahas berbagai hal termasuk jadwal sillaturohmmi dengan beberapa organisasi yang dahulu pernah dijalin oleh Pengajar Muda sebelumnya dan membahas persiapan agenda hari senin kedepan, yaitu serah terima ke Dinas Pendidikan Aceh Utara. Di tengah-tengah kegiatan rapat, terlihat satu persatu orang mulai memadati ruangan warung kopi. Pemandangan ini kelak akan menjadi sesuatu hal yang wajar, karena minum kopi dan warung kopi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Aceh. Ngopi adalah semacam adiktif bagi orang Aceh dan tidak sebatas itu, warung kopi adalah pusatnya informasi karena dari situlah kemudian soal politik hingga permasalahan keluarga diperbincangkan. Sehingga tak heran jika warung ini mulai dipadati masyarakat.

            Saat itu pula kemudian hadir sekelompok orang laki-laki yang kemudian mengambil posisi duduk yang tak jauh dari meja kami. Terlihat orang-orang ini menenteng kamera SLR dan juga tas carier. Entah apa yang dibahas orang-orang ini, akan tetapi terlihat sesekali mereka menjajal kameranya untuk memotret beberapa sudut jalan dan bangunan yang terlihat dari warung kopi. Dan sesekali pula mereka melihat kegiatan kami. Kami yang kebetulan waktu itu masih cupu karena kemana-mana masih menggunakan rompi Pengajar Muda dan juga mengenakan ransel, nampaknnya berhasil membuat mereka penasaran untuk bertanya. Hingga akhirnya mereka-pun menyapa dan berkenalan dengan kami. Cukup panjang dan tak biasa orang-orang ini bertanya hingga kemudian kami sadar bahwa sekumpulan orang ini adalah wartawan dari beberapa media massa lokal yang meramaikan Aceh.

 Sesungguhnya kami sendiri masih sangat hati-hati berbicara dengan orang lain di Aceh, terlebih dengan orang-orang pers. Maklumlah karena kami masih terlampau baru dan belum mengenal medan hidup di Aceh. Selain itu kami sedikit memahami bahwa, kondisi masyarakat Aceh masih cenderung klise, terlebih dengan pendatang baru. Seperti dugaan saya sebelumnnya karena wartawan, mereka-pun akhirnya mewancarai kami cukup mendalam, termasuk soal tujuan dan misi kami di Aceh. Terlihat serius lontaran pertayaan yang diajukan, kamipun menjawab normatif dan tentunya berhati-hati menanggapi setiap pertanyaan-pertayaan yang dilontarkan, terlebih ketika salah seorang wartawan bertanya soal misi terselubung program ini. Wow, “misi terselubung” Kami-pun agak kaget mendengar lontaran pertanyaan ini dan tentu masih dengan jurus yang sama kami berusaha menjawabnya. Di balik seluruh jawaban yang kami sampaikan, selalu kami tegaskan bahwa tidak ada misi terselubung, semua adalah murni untuk dunia pendidikan. Entah puas atau tidak mereka hanya selalu mengangguk-anggukan kepala. Kemudian laiknya pencari berita, mereka juga luput memotret kami.

Cerita soal para pencari berita, tak berhenti hanya saat kami di warung kopi saja, masih dihari yang sama, kami juga bertemu wartawan media online waktu kami iseng melihat-lihat kantor dinas pendidikan Provinsi Aceh Utara. Seorang pemuda yang mengaku sebagai pemburu berita lantas seperti biasa beberapa pertanyaan soal tujuan, kegiatan, dan pandangan kami terhadap Aceh pun Ia ajukan. Kami masih seperti biasa, hati-hati menjawab serbuan pertanyaan yang Ia berikan. Tak lama kemudian salah seorang dari kami, juga ditelpon oleh salah satu wartawan di Banda Aceh. Lagi-lagi mereka masih bertanya soal hal yang sama yaitu, terkait misi kami di Aceh. Dan akhirnya sampai sore hari, tanpa disadari sekitar lima media massa baik itu cetak ataupun online telah mencatat kehadiran kami di Aceh Utara.

Setiap kata dalam berita memang akan menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi. Untaian kata dalam kalimat juga membantu kita untuk memahami sesuatu hal yang dirasakan oleh orang lain. Begitu juga dengan tinta-tinta yang akan terpapar di media massa. Lema-lema ini akan menggambarkan apa yang terjadi dan akan membentuk persepsi orang yang membacannya tentu sesuai dengan pemahaman si pembaca. Akan tetapi, perlu selalu diingat bahwa kata-kata tidak utuh menggambar sebuah kondisi, atau bahkan bisa saja apa yang digambarkan parsial atau tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya, sehingga dampaknya akan menimbulkan penafsiran yang jauh berbeda dengan realitas yang ada. Bisa saja penafsiran yang terbentuk adalah positif atau justru negatif. Prinsip-prinsip inilah yang kami pegang, sehingga kami selalu memiliki formula tersendiri yaitu berhati-hati dalam memilih kata untuk berbicara dan selalu melontarkan kata-kata positif.

Senin 5 November 2012, memasuki hari ketiga kami di Aceh, setidaknya saat di kecamatan saya melihat tiga media massa cetak yang memuat kami. Sebelumnnya juga media online telah mengabarkan keberadaan kami. Justru saya mengetahui adanya berita tentang hadirnya Pengajar Muda saat tengah minum di warung kopi. Terlebih saat saya berkenalan dengan alumni Sekolah Demokrasi yang sedang duduk di warung kopi, ekspresi pertama yang ia lontarkan adalah perkataan “Abang yang dimuat di koran ini ya?”. Sambil menunjukan selembar kertas, bergambar enam orang berlatar Masjid Agung Lhokseumawe. “Wuih! Sudah jadi seleb ni”, batinku. Tak berhenti disini sehari setelahnya, Pak Fajri salah seorang kawan guru di SD tempat saya mengajar juga menunjukan beberapa helai kertas koran yang telah dipotong, ternyata kertas ini adalah berita Pengajar Muda. Kemudian setelah saya minta potongan-potongan kertas itu, Ia pun menolak dengan alasan untuk kenang-kenangan.   

Dari sekian media massa, setidaknnya terdapat tiga media massa cetak yang mememuat informasi yang tidak sesuai alias keliru. Salah satu media memberitakan dengan judul besar “Enam Pengajar Perempuan Siap Mengajar di Pelosok”, media cetak yang satunya memberitakan “Enam Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar akan mengajar 1,4 bulan”, dan media yang lain juga memberitakan hal yang tidak sesuai dengan keterangan yang kami berikan. Mulai dari judul yang telah salah terlebih dahulu, hingga konten isi beritanya yang juga tidak sesuai. Seperti dugaan awal kami bahwa, media kadang tidak sengaja akan memberitakan hal yang tidak sesuai dengan kondisi nyata, dan dampaknya bisa positif atau justru negatif, seperti halnya apa yang telah terpampang di media-media lokal Aceh, banyak poin-poin yang tidak sesuai, sehingga akan banyak informasi yang terpotong atau setengah-setengah. Sehingga hasilnya adalah antara kenyataan dengan hasil penangkapan si pembaca tidak sesuai. Saya-pun hanya berharap semoga dengan adanya berita-berita ini akan banyak orang yang berfikir positif dengan kehadiran para Pengajar Muda di Aceh Utara untuk kedua kalinya. Dan untuk media massa semoga kedepannya banyak membantu kami menyebarkan kabar-kabar positif dari pelosok untuk masyarakat Aceh, demi terwujudnya pendidikan yang diidamkan bersama.