Senin, 02 September 2013

Menjadi Seleb

Bergaya di Islamic Center Lhokseumawe
Lhokseumawe Minggu 4 November 2012, pukul 07.00 adalah hari pertama  kami berenam menginjakkan kaki di Bumi Nanggroe. Agenda pagi itu adalah mencari sarapan di tempat yang nyaman buat ngobrol, sembari membahas agenda hari esok. Saat beranjak dari wisma tempat kami transit sebelum tinggal di desa masing-masing, terlihat beberapa RBT atau ojek motor telah menyambut. Kami-pun lebih memilih berjalanan kaki untuk sekedar melemaskan kaki sehabis perjalanan jauh dari Medan kemaren. Tak lama berjalan, deretan warung kopi telah menyambut kedatangan kami, tanpa berfikir panjang kami pilih satu yang strategis dan memesan hidangan yang ada, tanpa kecuali kopi khas Aceh yang terkenal yaitu Ulle kareng.


            Rapat hari pertama-pun kami lakukan. Agenda rapat pagi itu akan membahas berbagai hal termasuk jadwal sillaturohmmi dengan beberapa organisasi yang dahulu pernah dijalin oleh Pengajar Muda sebelumnya dan membahas persiapan agenda hari senin kedepan, yaitu serah terima ke Dinas Pendidikan Aceh Utara. Di tengah-tengah kegiatan rapat, terlihat satu persatu orang mulai memadati ruangan warung kopi. Pemandangan ini kelak akan menjadi sesuatu hal yang wajar, karena minum kopi dan warung kopi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Aceh. Ngopi adalah semacam adiktif bagi orang Aceh dan tidak sebatas itu, warung kopi adalah pusatnya informasi karena dari situlah kemudian soal politik hingga permasalahan keluarga diperbincangkan. Sehingga tak heran jika warung ini mulai dipadati masyarakat.

            Saat itu pula kemudian hadir sekelompok orang laki-laki yang kemudian mengambil posisi duduk yang tak jauh dari meja kami. Terlihat orang-orang ini menenteng kamera SLR dan juga tas carier. Entah apa yang dibahas orang-orang ini, akan tetapi terlihat sesekali mereka menjajal kameranya untuk memotret beberapa sudut jalan dan bangunan yang terlihat dari warung kopi. Dan sesekali pula mereka melihat kegiatan kami. Kami yang kebetulan waktu itu masih cupu karena kemana-mana masih menggunakan rompi Pengajar Muda dan juga mengenakan ransel, nampaknnya berhasil membuat mereka penasaran untuk bertanya. Hingga akhirnya mereka-pun menyapa dan berkenalan dengan kami. Cukup panjang dan tak biasa orang-orang ini bertanya hingga kemudian kami sadar bahwa sekumpulan orang ini adalah wartawan dari beberapa media massa lokal yang meramaikan Aceh.

 Sesungguhnya kami sendiri masih sangat hati-hati berbicara dengan orang lain di Aceh, terlebih dengan orang-orang pers. Maklumlah karena kami masih terlampau baru dan belum mengenal medan hidup di Aceh. Selain itu kami sedikit memahami bahwa, kondisi masyarakat Aceh masih cenderung klise, terlebih dengan pendatang baru. Seperti dugaan saya sebelumnnya karena wartawan, mereka-pun akhirnya mewancarai kami cukup mendalam, termasuk soal tujuan dan misi kami di Aceh. Terlihat serius lontaran pertayaan yang diajukan, kamipun menjawab normatif dan tentunya berhati-hati menanggapi setiap pertanyaan-pertayaan yang dilontarkan, terlebih ketika salah seorang wartawan bertanya soal misi terselubung program ini. Wow, “misi terselubung” Kami-pun agak kaget mendengar lontaran pertanyaan ini dan tentu masih dengan jurus yang sama kami berusaha menjawabnya. Di balik seluruh jawaban yang kami sampaikan, selalu kami tegaskan bahwa tidak ada misi terselubung, semua adalah murni untuk dunia pendidikan. Entah puas atau tidak mereka hanya selalu mengangguk-anggukan kepala. Kemudian laiknya pencari berita, mereka juga luput memotret kami.

Cerita soal para pencari berita, tak berhenti hanya saat kami di warung kopi saja, masih dihari yang sama, kami juga bertemu wartawan media online waktu kami iseng melihat-lihat kantor dinas pendidikan Provinsi Aceh Utara. Seorang pemuda yang mengaku sebagai pemburu berita lantas seperti biasa beberapa pertanyaan soal tujuan, kegiatan, dan pandangan kami terhadap Aceh pun Ia ajukan. Kami masih seperti biasa, hati-hati menjawab serbuan pertanyaan yang Ia berikan. Tak lama kemudian salah seorang dari kami, juga ditelpon oleh salah satu wartawan di Banda Aceh. Lagi-lagi mereka masih bertanya soal hal yang sama yaitu, terkait misi kami di Aceh. Dan akhirnya sampai sore hari, tanpa disadari sekitar lima media massa baik itu cetak ataupun online telah mencatat kehadiran kami di Aceh Utara.

Setiap kata dalam berita memang akan menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi. Untaian kata dalam kalimat juga membantu kita untuk memahami sesuatu hal yang dirasakan oleh orang lain. Begitu juga dengan tinta-tinta yang akan terpapar di media massa. Lema-lema ini akan menggambarkan apa yang terjadi dan akan membentuk persepsi orang yang membacannya tentu sesuai dengan pemahaman si pembaca. Akan tetapi, perlu selalu diingat bahwa kata-kata tidak utuh menggambar sebuah kondisi, atau bahkan bisa saja apa yang digambarkan parsial atau tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya, sehingga dampaknya akan menimbulkan penafsiran yang jauh berbeda dengan realitas yang ada. Bisa saja penafsiran yang terbentuk adalah positif atau justru negatif. Prinsip-prinsip inilah yang kami pegang, sehingga kami selalu memiliki formula tersendiri yaitu berhati-hati dalam memilih kata untuk berbicara dan selalu melontarkan kata-kata positif.

Senin 5 November 2012, memasuki hari ketiga kami di Aceh, setidaknya saat di kecamatan saya melihat tiga media massa cetak yang memuat kami. Sebelumnnya juga media online telah mengabarkan keberadaan kami. Justru saya mengetahui adanya berita tentang hadirnya Pengajar Muda saat tengah minum di warung kopi. Terlebih saat saya berkenalan dengan alumni Sekolah Demokrasi yang sedang duduk di warung kopi, ekspresi pertama yang ia lontarkan adalah perkataan “Abang yang dimuat di koran ini ya?”. Sambil menunjukan selembar kertas, bergambar enam orang berlatar Masjid Agung Lhokseumawe. “Wuih! Sudah jadi seleb ni”, batinku. Tak berhenti disini sehari setelahnya, Pak Fajri salah seorang kawan guru di SD tempat saya mengajar juga menunjukan beberapa helai kertas koran yang telah dipotong, ternyata kertas ini adalah berita Pengajar Muda. Kemudian setelah saya minta potongan-potongan kertas itu, Ia pun menolak dengan alasan untuk kenang-kenangan.   

Dari sekian media massa, setidaknnya terdapat tiga media massa cetak yang mememuat informasi yang tidak sesuai alias keliru. Salah satu media memberitakan dengan judul besar “Enam Pengajar Perempuan Siap Mengajar di Pelosok”, media cetak yang satunya memberitakan “Enam Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar akan mengajar 1,4 bulan”, dan media yang lain juga memberitakan hal yang tidak sesuai dengan keterangan yang kami berikan. Mulai dari judul yang telah salah terlebih dahulu, hingga konten isi beritanya yang juga tidak sesuai. Seperti dugaan awal kami bahwa, media kadang tidak sengaja akan memberitakan hal yang tidak sesuai dengan kondisi nyata, dan dampaknya bisa positif atau justru negatif, seperti halnya apa yang telah terpampang di media-media lokal Aceh, banyak poin-poin yang tidak sesuai, sehingga akan banyak informasi yang terpotong atau setengah-setengah. Sehingga hasilnya adalah antara kenyataan dengan hasil penangkapan si pembaca tidak sesuai. Saya-pun hanya berharap semoga dengan adanya berita-berita ini akan banyak orang yang berfikir positif dengan kehadiran para Pengajar Muda di Aceh Utara untuk kedua kalinya. Dan untuk media massa semoga kedepannya banyak membantu kami menyebarkan kabar-kabar positif dari pelosok untuk masyarakat Aceh, demi terwujudnya pendidikan yang diidamkan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar