Kamis, 05 September 2013

Ramadhan di Araselo

         
Kegiatan tadarus malam
Usailah Hari Meugang 1434 H kali ini yang diakhiri dengan gigitan terakhir untuk daging sapi yang dimasak rendang khas Aceh berkuah lemak. Sebuah tradisi yang tak akan lekang dalam ingatanku bagaimana menjalani hari-hari sambil mengamati hiruk-pikuk masyarakat mengisi cadangan lemak dan protein dalam tubuh, guna menghadapi puasa Ramadan esok harinya. Spontan acara makan daging harus dipercepat, karena adzan sholat Mahgrib untuk tanggal 9 Juli 2013, telah dikumandangkan oleh Teungku Imum Masjid. Suara lirih untuk merespon panggilan adzan yang aku lakukan kali ini berbeda rasanya. Berbeda karena waktu inilah peralihan menuju bulan suci dan berbeda karena saat itupula aku teringat masa seperti saat ini yang biasa bersama keluarga di rumah. Usai melantunkan bait demi bait panggilan adzan, aku bergegas membantu emakku yang memungut piring berlemak dan sejumlah gelas. Setelah usai aku mulai siapkan diri untuk menunaian panggilan Rob.


            Kini Ramadhan aku tekatkan untuk meningkatkan segala sesuatu yang terbaik seperti halnya Ramadhan sebelumnya, namun orientasinya berbeda, karena kali ini aku niatkan peningkatan terbaikku untuk anak-anakku dan masyarakatku di mana sekarang aku berpijak. Itu sedikit bocoran doa sehabis shalat sore itu. Malam pertama dan kedua aku merasakan Ramadan yang sungguh hikmat, berada dikampung pedalaman Aceh, dengan segala tradisi yang menyertainya. Saat siang semua masyarakat menjalankan kewajiban puasanya, saat menjelang puasa suasana semakin ramai, karena semua disibukkan dengan persiapan buka puasa, demikian dengan malam, semua bersujud dan bersimpuh di masjid untuk mengekspresikan kehidupan religiusnya. Semua berpadu dengan apik tanpa perbedaan mahzab atau teknis cara beribadah yang diributkan seperti di kota-kota.

Ramadan Produktif

            Sekilas, sehari dua hari nampak tak berbeda dengan kampung halamanku di Jawa. Namun tentu kemudian mulai terasa perbedaannya. Apa perbedaan yang aku rasakan? Masyarakat disini seperti membalik waktu, siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Mengapa demikian?  Jawabannya ada pada pola kegiatan masyarakat selama bulan suci yang berubah total. Pada waktu malam hari masyarakat menjalankan ibadah sholat teraweh yang umum di sini dilaksanakan sebanyak dua puluh tiga rakaat. Kemudian setelah itu ada yang berbeda, mereka tadarus sampai waktu sahur tiba. Inilah yang membuat beda dari daerah lain di Indonesia. Perbedaan semakin mencolok ketika rupanya tidak hanya tadarus, tetapi aktivitas siang dialihkan waktunya saat malam. Contohnya jam buka warung kopi yang keberadaan menjamur di Aceh dari kota sampai pelosok-pelosoknya. Aku tinggal di salah satu warung kopi, disitulah merasakan bagaimana meenunggu pelanggan sampai jam sahur, alias nonstop dari sore. Tidak hanya aktivitas ngopi aja ternyata, lebih dari itu aktivitas angkat kayu dari hutanpun dialihkan pada malam hari.

            Jelas dampaknya adalah waktu siang harinya. Ketika bakda subuh pertamaku di awal ramadahan, aku melihat pemandangan yang khas puasa di sini, yaitu pemadangan kampung mati. Nyaris dari subuh sampai menjelang siang tak ada hiruk-pikuk orang lewat terlebih orang bekerja. Orang keluar saat matahari persis di atas ubun-ubun, dengan wajah kantuk dan terlihat letih, itu pemandangan umum, terutama anak-anakku yang mengikuti pola kegiatan yang sama dengan orang dewasa. Awalnya aku berfikir ini hal yang wajar karena malamnya mereka beraktifitas hingga pagi hari, tetapi kemudian kalau dikaitkan dengan agenda di sekolah nantinya, pasti pola ini akan menghambat saat pelaksanaan pesantren Ramadhan nantinya. Dan terbukti, pesantren Ramadan di sekolahku dilaksanakan satu minggu setelah libur puasa. Alhasil hari pertama pelaksaan hanya ada lima anak murid yang berangkat bersama kepala sekolah dan satu guru. Dugaanku gak meleset ternyata, karena kondisi ini bertahan sampai hari ketiga, selanjutnya semua bubar, alias menghilang ditelan heningnya siang.
Ramadan produktif


            “Aku tak boleh lengah”, pikirku pagi pertama menghadapi kondisi ini. sengaja karena sebelumnya telah aku prediksi, pagi hari pukul delapan aku bergegas mandi dan merapikan seluruh atribut kebesaran saat mengajar. Aku pun bergegas berdiri si simpang tiga, depan rumahku dengan harapan anak-anak melihatku dan kemudian tertarik untuk ke sekolah. Sepuluh menit masih sepi, dua puluh menit kemudian berlalu, “benar-benar kampung mati” batinku. Tak seorangpun lewat. “Sabar saja, mungkin lima menit atau sepuluh menit lagi bakalan ada yang menyapa”. Gumamku sendiri di pertigaan itu. Benar saja jerih penantian itu membuahkan juga, terlihat dari jauh lorong empat, dua anak alit memakai seragam berjalan menuju pertigaan. Spontan energy semangatku kembali. “Assallamualaikum” sapaku, ‘Waalaikumussalam” “anak-anak ada puasa”? “ada pak” serempak mereka menjawab “alhamdulilah, “tunggu yang lain sebentar ya”. Lima menit berlalu, nampaknya Cuma Fauzan dan Maullidin yang bakal menjadi santriku di hari pertama ini. Tak mau kehilangan akal, aku ajak mereka memanggil anak-anak yang lain di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Alhasil ada tiga tambahan anak lagi yang mau bangun pagi itu dan mengikuti kegiatan disekolah pagi ini.

            Demikian juga dengan hari-hari selanjutnya, nampaknya santri setiaku hanya lima anak ini. itupun dihari kedua mereka protes karena enggan lagi kegiatan pesantren kilat dilakukan di sekolah. Maklum saja sekolah jauh dan harus naik turun bukit, ini membuat kami semua cepat lelah. Oke, keputusanku bulat mulai saat ini kegiatan pesantren kilat aku alihkan ke balai pengajian. Anak-anakku nampaknya senang sekali dengan keputusan ini. kegiatan di balai, ternyata tak mampu menarik kehadiran lebih banyak lagi, tetapi alhamdulilah setidaknya sekarang bertambah tiga orang lagi. Dan kegiatan ini tak bertahan sampai seminggu, seperti yang aku rencanakan sebelumnya, karena kemudian anak-anak tak nampak lagi. Muncul pertayaan dalam benakku, mengapa demikian? Apakah anak-anakku terlalu terbebani dengan materi yang telah aku susun selama pesantren kilat? “Ah, nampaknya bukan karena itu”. batinku terusik, karena aku merasa kegiatan yang aku sodorkan semua menyenangkan, tak ada mata pelajaran seperti biasa, semua kegiatan aku balut dengan permainan, lagu, dan kegiatan lomba yang menyenangkan.

            Kegiatan bersama anakku diluar kegiatan pesantren ramadhan aku desain ulang dengan menyesuaikan kondisi yang ada. Nampak anak-anak tak sepenuhnya menghilang dari hadapanku. Karena sehabis sholat dzuhur mereka mulai berdatangan menghampiri rumahku. Saat itulah aku buka lebar-lebar pintu rumah. “ini kesempatan bagus” harapanku, setidaknya seharian mereka tak hanya membalas rasa kantuknya di dalam rumah mereka. Ini waktunya mereka produktif di hari puasa. Siang itu satu episode film kartun tentang nabi aku putar. Alhasil mereka ketagihan dan selalu minta episode yang lain. Tak mau kalah dengan anak-anak, aku siasati dengan peraturan. “kalau mau nonton lagi ada syaratnya”, pintaku. “apa pak syaratnya?” “ sebentar lagi aka ada lomba membuat karangan di majalah Bobo, siapa yang mau ikut?” tanpa ekpresi dan tak ada yang angkat jari satupun. “kalau nanti kalian berhasil mengarang dan menulis, bapak akan kasih film lagi”,tiba-tiba serentak mereka angkat tangan, nah, ternyata berhasil juga. Hari-hari selanjutnyapun sesuai kontrak, mereka mau mengarang untuk persiapan lomba dan tanpa disadari puasa mereka produktif.   

            Puasa hari keempat, aku ikuti saja ritme denyut kegiatan masyarakat dikampungku. Hal yang berat bagiku adalah teraweh dua puluh tiga rakaat, dengan tempo yang cukup cepat. Bagiku ini hal yang baru, meskipun sebelumnya di tempat asalku mahzab ini umum dipraktikan. Selama ini aku melaksanakan teraweh mengikuti sebelas rokaat, dengan tempo yang sedang. Di sini aku mengikuti pola masyarakat, meskipun ini berlawanan dengan fiqihku yang masih kukuh dua belas rakaat. Tentu keputusan ini aku lakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama aku hanya menjaga stabilitas kampungku. Yang perlu digarisbawahi bahwa permasalahan fiqih menjadi sesuatu hal yang sensitif di Aceh. Masyarakat di sini meskipun melaksanakan tradisi keIslaman secara turun menurun, mereka tetap mengamini bahwa mereka adalah Ahlul Sunnah Wal Jamaah, artinya adalah pengikut sunnah Nabi, alias merujuk perilaku nabi setiap dalam ritual yang mereka kerjakan. Diluar kominitas atau pola ritual yang mereka kerjakan, akan di sebut sebagai kaum Muhammadiyah. Ini sebuah kenyataan umum, bahwa bagi pelaksana teraweh sebanyak dua belas rakaat adalah bukan Ahlul Sunnah tapi mereka adalah Muhammadiyah. Bukan tanpa konsekuensi bagi orang yang menyandang gelar ini, secara sosial penyandannya akan pelik.

            Hari keempat ramadahan disini aku melihat sebuah kenyataan yang kadang membuat gregetan dan sedikit maklum. Biasa melihat dikampung asalku, masjid akan sepi dari jamaah sholat teraweh ketika sudah mendekati waktu lebaran, atau minimalnya separoh bulan Ramadan. Di sini aku melihat hal yang membuat aku tercengang.  Baru hari keempat jamaah sholat teraweh tak lebih dari delapan orang untuk kaum adam. Selebihnya mereka terlihat di pusat peradaban yang baru bagi mereka yaitu warung kopi. Entah apa yang ada di dalam benak pikiran masyarakatku disini. Tentu ini menjadi alasan keduaku mengapa aku harus selalu terlibat dalam kegiatan teraweh, selain karena ingin menadapat ridha Illahi, yaitu jelas sebagai orang baru disini aku hanya ingin memberi contoh dengan tindakannku. Aku ajak anak-anakku untuk mengikuti teraweh, meskipun tak selesai. Istiqomah dan jangan absen sekalipun kecuali jika sakit.       

            Memang kemudian anak-anakpun mengikuti orang-orang dewasa yang sebagaian besar kehidupan malam ramadhannya hanya nongkrong di warung kopi. Tapi, tak apalah aku hanya berkewajiban memberi mereka semacam contoh tentang bagaimana harus berkomitmen dengan agama itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar