Jumat, 18 Oktober 2013

Insomnia

Pun, aku menikmati kebiasaan masyarakat di sini, saat malam hari atau di luar waktu itu, ketika ada kesempatan aku meluangkan atau karena memang kewajibanku sebagai anak yang tak rela hati meninggalkan emak sendirian di tengah-tengah ramainya malam versi kampungku. Emak selalu menunggu, di tengah-tengah pekatnya asap rokok yang sering membuat nafas ini sesak, atau di tengah-tengah obrolan kopi yang membicarakan tentang banyak hal, mulai dari soal politik hangat Qanun Bendera, aliran sesat, hingga isu regional kampung yang biasa sekali soal gosip tetangga. Minimal peranku di kedai adalah sedikit meringankan beban bagi tubuh emakku yang sudah mulai melemah karena dimakan usia.
Ya, itulah kehidupan malamku. Kehidupan malamku sangat bewarna , setidaknya dimulai dari senja saat kumandang adzan magrib diperdengarkan melalui corong-corng masjid, aku beranjak dari rumah tinggalku. Nampaknya karena rutinitas, aku mulai tak menghiraukan lagi pemandangan indah senja seperti biasa, langit merah di balik masjid kayu yang dihiasi deretan pegunungan, dan di sudut lain lautan Selat Malaka terlihat tipis seperti kabut. Tak lupa teriakan anak-anak dari balai menjadi tambahan indahnya suasana setiap sore.
Saat bintang sudah berani menampakkan eksistensinya, aku manfaatkan waktuku untuk sekedar meramaikan balai pengajian. Aku ikuti alur pengajaran yang telah dikurikulumkan oleh tengku masjid. Memang sedikit aku memodifikasikan kebiasaan di sini dengan sedikit pengetahuannku tentang soal baca Al-Quran dan iqro’, tapi tentu itu sangat minim, dan lebih aku ikuti cara orang di sini mengajarkan untuk anak-anakknya. Sesekali juga aku dipercaya untuk menjadi imam di masjid, menggantikan tengku, saat tengku harus masuk hutan, mencari rizki dari mahalnya buah jerna, atau saat tengku berdiri di deretan paling belakang sof sholat anak agam (cowok), untuk mengawasi, siapa-siapa yang bergurau atau salah saat mempraktikan gerakan sholat. Itulah kegiatan sebagian di waktu malamku.
Suara Adzan Isyak sekitar pukul 21.00 WIB, menandakan anak-anak boleh menyelesaikan ngajinya dan bersiap menjalankan sembahyang. Setelah sholat, mereka kembali melanjutkan aktivitas di kedai atau belajar bersama di rumah nenek Ponah. Bagiku aktivitas kini berlanjut untuk mengajari matematika atau menulis untuk anak-anak yang masih mau belajar. Di ruang tamu rumah, aku sediakan rak kecil untuk majalah anak dan buku yang aku beli. Harapannya buku-buku ini mau dibaca. Pukul 22.00 WIB, biasa anak-anakku ini harus sampai berkali-kali diingatkan untuk segera pulang lekas tidur. Tapi bagi anak-anakku, jam segitu belumlah waktunya tidur, karena justru waktu itu layar televisi sedang menjual acara-acara andalannya untuk menarik para pemirsa. Tentu saja anak-anakku tambah tidak mau beranjak dari kedai.
Pukul 22.00 WIB, kehidupan malamku belum berakhir, atau justru ini baru dimulai. Tapi dengan cara yang berbeda, bagiamana aku harus menyelami dan menjalaninya. Aceh bagiku menawarkan sesuatu hal baru, terutama kehidupan malamnya. Aku merasakan waktu malam di sini lebih panjang dan penuh dengan komunalitas yang kadang menghibur, memberikanku sebuah makna dan pelajaran, tapi tak jarang juga membuatku terlena dengan kenyamanannya. Aceh selalu menyuguhkan pelajaran baru disetiap malamnya, mempertemukanku dengan orang-orang baru yang membuatku lebih banyak mengenal banyak hal. Inilah kehidupanku yang lain, baru dimulai pukul 22.00 WIB.
Berawal dari sebuah adaptasi untuk mengkondisikan diri hidup disebuah rumah berkedai yang tentunya tidak semudah yang diperkirakan. Seminggu hidup di sini aku harus bertahan, mungkin mirip anak Salmon, yang harus memulai hidup di air laut Samudera Atlantik, saat ia beranjak dewasa setelah sebelumnya menikmati tawarnya air sungai. Sungguh berat, tapi harus dipaksakan. Malam itu pukul 00.00 WIB, tubuhku menjadi berat dan hampir tak sanggup untuk hanya sekedar duduk. Kelopak mata sudah tak sanggup dibuka, maklum pagi hari aku sudah bangun dan harus bersiap-siap menyapa anak-anak. Tak jarang malam itu aku harus berkali-kali mengusap air ke wajah, berharap menghanyutkan rasa kantuk dari wajah. Emak masih terlihat sibuk melayani orang yang duduk, sambil sekali-kali menggulung daun lontar tipisnya yang telah terisi tembakau untuk kemudian dihisab. Itulah senjata mujarab emak, selain kopi hitam untuk mengusir kantuknya setiap malam.
Tiga bulan di sini, aku seperti berada di planet lain karena tak memahami apa yang dibicarakan orang-orang di sekelilingku. Orang-orang di sini tak banyak memulai pembicaraan denganku, mereka biasa buka mulut saat aku bertanya terlebih dahulu. Sehingga wajar saja kalau kemudian aku diam, tak satupun orang berbicara denganku. Malam semakin larut, aku lihat jam ditanganku yang telah menunjukkan pukul 01.00 WIB, tetapi beberapa orang di kedai masih asyik menyimak televisi yang suaranya harus beradu dengan raungan keras genset di belakang rumah. Emakku orang yang telaten, ketika hanya satu orang yang tersisa di kedai, emakku tetap saja masih menunggu sampai orang itu pulang. Baru kemudian Araselo gelap gulita, karena kedai emakku menjadi penerangan terakhir di kampungku.
Delapan Bulan berlalu, aku masih bertahan di sini, di kedai emak yang selama ini menjadi tumpuan harapan satu-satunya emak untuk mencari rejeki. Selama itu aku juga lambat laun berubah, sekarang tubuhku telah berevolusi terhadap dunia malam Aceh, sehingga bisa bertahan seperti orang-orang di sini. Malam itu tak ada suara genset lagi, karena listrik telah mengalir melalui tali-tali hitam yang berkilo-kilo meter panjangnya terpanggul oleh tiang-tiang kokoh di sepanjang jalan. Kulkas, televisi berinci besar, sound system, dan lampu terang telah tersedia di kedai emakku. Kini orang semakin nyaman dan betah duduk di sini. Demikian denganku, aku lebih bisa menikmati TV di sini, dari pada sebelummnya saat masih di rumah, karena banyak komentator handal di sini. Kini aku tidak lagi seperti alien yang tak memahami bahasa planet lainnya, tapi kini aku bisa merespon pernyataan ataupun perkataan orang lain. Sesekali aku nikmati kopi hitam seperti yang lain, sehingga aku lebih tahan dan tak pernah mengantuk lagi. Bahkan kini tak bisa memejamkan mata ketika aku berusaha tidur di awal waktu. Kini aku telah berevolusi menjadi manusia insomnia.
Rupanya tidak hanya aku sendiri yang berevolusi, orang di sekelilingku juga demikian. Orang kini tak harus menunggu aku bertanya, karena sekarang bersahut-sahutan. Orang sekarang terbiasa melihat orang membuka laptop di kedai, dan kini orang duduk di kedai juga sesekali membuat alat pembelajaran untuk besok aku pakai untuk mengajar. Pernah suatu ketika orang di kedai bertanya-tanya ketika aku membawa kertas lipat, dan beberapa steak es krim. Malam itu aku harus menyiapkan kupu-kupu mainan dari steak es dan kertas untuk besok dipamerkan saat pelajaran SBK. Rencana malam itu aku akan membuat beberapa kupu sendirian sambil menunggu kedai bersama emak. Rupanya malam itu aku tak jadi membuat sendiri, karena kemudian bapak-bapak ikut membantuku membuat kupu-kupu palsu itu. Bahkan hasil buatan mereka lebih bagus, dari pada hasil karyaku, padahal awalnya mereka hanya meniru saja. beberapa kali, orang-orang di kedai juga membantu menggunting kertas karton untuk alat peraga keesokan harinya. jadi kerjaanku semakin ringan sekarang kalau aku kerja di kedai.
Saat itulah aku berfikir bahwa, bukan aku saja yang berubah karena kehidupan malam di sini, tapi kemudian warga Araselo juga berubah dan menyesuaikan diri dengan tingkahku. Mungkin perubahan itu tidak seberapa, akan tetapi minimal semua saling mewarnai.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar