Minggu, 12 Januari 2014

Guru Sebagai Pawang Kurikulum: Refleksi Hari PGRI

Waktu terasa begitu cepat, tak terasa 25 November telah hadir kembali. Saat itulah dimana seluruh guru di Indonesia  akan merayakan hari ulang tahun organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang lahir pada tahun 1945. Sebuah organisasi yang lahir sangat cepat, hanya selang tiga bulan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini menunjukan semangat kebangsaan dan cita-cita guru sejak dahulu untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. Meskipun kini umur PGRI telah mencapai 68 tahun, akan tetapi gelombang permasalahan yang dihadapi guru tak kunjung reda menjangkiti para guru, mulai dari masalah pergantian kurikulum, kesejahteraan guru, hingga masalah kenaikan pangkat, akan tetapi di tengah-tengah masalah yang tengah dihadapi, semua pihak tetap menuntut kedewasaan guru dalam mengemban tugas mulianya sebagai pendidik.
Salah satu permasalahan yang dihadapi guru saat ini, menurut Zulfkri Annas salah seorang dari Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas adalah masalah gonta-ganti kurikulum yang diklaim banyak memusingkan para guru, baik menyangkut aplikasi kurikulum hingga masalah administrasi yang harus mengikuti kebijakan baru kurikulum. Dampaknya cukup signifikan yaitu seolah kurikulum menjadi kambing hitam karena dianggap sebagai  biang masalah atau bahkan menjadi momok musuh bagi para guru kita. Padahal kalau kita menengok devinisi dan maksud dari kurikulum itu sendiri, sesungguhnya kurikulum adalah sahabat guru yang akan membantu dalam pelaksanaan pencerdasan. Todd (1965) dalam bukunya Curriculum Development and Instructional Planning Nederland, mendevinisikan kurikulum sebagai “pengalaman pendidikan (belajar) yang terencana atau yang direncanakan oleh sekolah (satuan pendidikan) yang dapat diselenggarakan kapanpun (any time) dan dimanapun (any where) serta dalam keberagaman konteks sekolah sebagai bagian dari masyarakat”. Jadi kurikulum seharusnya menjadi teman guru yang selalu setia menemani guru saat memberikan inspirasi terhadap anak didik.
 Kadang, banyak kalangan memaklumi sikap guru terhadap kurikulum, karena melihat latar belakang sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia yang mengalami berbagai perkembangan dan pergantian mulai dari kurikulum Tahun 1947 atau yang sering disebut Rentjana Pelajaran 1947, hingga terakhir adalah Kurikulum 2013, kurikulum selalu mengikuti perkembangan global bahkan kebutuhan pasar. Akan tetapi, apakah lantas guru seperti robot yang dengan mudahnya di kendalikan oleh kurikulum? Memang sebagain fungsi kurikulum adalah sebagai sebuah petunjuk pelaksanaan teknis dalam proses kegiatan pembelajaran, akan tetapi kemudian apakah kita sebagai guru menjadi terintimidasi dengan gelombang perubahan kurikulum yang akan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman? Sehingga melupakan sisi kewajiban kita untuk mencerdasakan anak, karena disibukan pada penyesuaian kurikulum. Tentu saja jawabannya tidak, karena sebagai guru kita harus mampu mengendalikan kurikulum itu sendiri, karena senyatanya kurikulum adalah sebuah pendekatan saja dalam proses memasukan ilmu dan penanaman karakter ke murid, dan gurulah yang mengetahui sesungguhnya apa yang terjadi dilapangan dan cara terbaik untuk anak didiknya. 
Guru adalah pawang kurikulum, demikian mungkin yang cocok untuk menggambarkan bagaimana seharusnya sikap guru terhadap kurikulum saat ini. Di balik hantaman permasalahan klasik guru dan perubahan kurikulum, guru harus menjadi sesosok pawang yang mampu mengendalikan kurikulum. Kurikulum terbaru 2013 misalnya, kurikulum ini adalah produk pemerintah pusat, akan tetapi seperti pernyataan Todd (1965) di atas tadi, kurikulum mempunyai sifat fleksibelitas dan kontekstual, artinya secara garis besar aturan dalam kegiatan belajar mengajar memang telah ditentukan, akan tetapi pusat telah memberikan butir-butir yang bisa di kembangkan dan disesuaiakan oleh daerah. Sesungguhnya contoh nyatanya telah diterapkan dalam kurikulum 2006 atau yang dikenal kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini adalah pengejawantahan semangat desantralisasi politik Indonesia, yang tadinya sangat sentral. Dalam kurikulum tersebut pada tingkat sekolah bisa mengembangkan silabus yang memiliki standar kopetensi siswa, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan masing-masing lingkungan sekolah, akan tetapi tetap mengacu sesuai yang digariskan oleh pusat.
Demikian halnya pada proses penerapan kurikulum 2013, sebagai guru kita tentu diwajibkan untuk bersikap positif terhadap hadirnya kurikulum baru. Selanjutnya, guru dituntut untuk memahami, dan kemudian baru mengendalikan penerapannya, sesuai dengan masing-masing kebutuhan dan kemampuan siswa didik. Ibarat seorang pawang harimau yang profesional dalam bisnis sirkus, seorang pawang harus menerima apa adanya harimau yang akan dicetak sebagai hewan sirkus, kemudian tentu saja yang paling terpenting adalah sang pawang memahami betul karakter harimau tersebut, karena setiap hariamau tentu mempunyai karakter berbeda, dan setelah proses tersebut dilalui semua, tentu saja sang pawang bisa mengarahkan hariamau sesuai dengan keinginan yang ia butuhkan untuk bisnis sirkusnya. Bayangkan saja jika sejak awal orang tersebut tidak memahami sifat harimau, tentu tidak akan bisa menjadi pawang harimau tersebut. Atau ia sudah mampu memahami sifat harimau, akan tetapi gagal pada pengendaliannya, tentu bukan di sebut sebagai pawang.
Dalam konteks Aceh, kurikulum 2013 adalah sebuah trobosan baru yang diterbitkan oleh pusat untuk menghadapi perkembangan dunia global sekarang. Sebagai guru di Aceh, tentunya harus bisa menjadi pawang yang mengenadalikan kurikulum. Jalan menjadi pawang tentu guru harus memahami terlebih dahulu, kemudian guru di tuntut kreatif untuk menyesuaikan dengan semangat kebudayaan, norma dan agama di Aceh, untuk selanjutnya ditransfer ke peserta didik. Tentu semua itu perlu kerja keras semua pihak pemangku kepentingan pendidikan untuk mendukung guru dan guru itu serdiri untuk memahami kurikulum dan hingga sampai mampu mengembangkannya. Sehingga refleksi untuk peringatan hari jadi PGRI ini adalah tidak selayaknya sebagai guru takut menghadapi sebuah perkembangan baru, akan tetapi guru harus mampu mengendalikan sesuatu baru, agar sesuai dengan norma lokal dan kemampuan siswa pada masing-masing sekolah untuk memahami pelajaran. Sehingga guru di Aceh akan di sebut sebagai pawang kurikulum, yang paham dan kreatif mengambangkan atau mengendalikan kurikulum sesuai dengan konteks ke-Aceh-an. Hal terpenting adalah guru Aceh akan tahan akan terpaan gelombang perubahan kurikulum kedepannya. Selamat Hari PGRI ke- 68.     

1 komentar:

  1. Tinjauan yang menarik, karena memang guru merupakan garda terdepan dalam implementasi kebijakan pendidikan di dalam kelas. Memahami guru pada dasarnya hal yang mendasar jarang untuk dikaji, karena sebagai garda atau dalam tulisan diatas disebut "pawang",maka pengkualitasan guru dalam hal ini LPTK (lembaga pendidik dan tenaga kependidikan) sebagai lembaga penghasil calon guru perlu disoroti. Mengapa? Dalam sebuah buku disebutkan bahwa pendidik hanya akan memberikan pada peserta didik, sesuai dengan apa yang ia miliki. Sehingga bagaimana mungkin mengharapkan lahirnya siswa yang berkepribadian matang, berbudaya, religi, cendekia jika calon guru tidak pernah dipersiapkan atau dibekali kemampuan itu semua.
    Sangat ironi memang, karena di beberapa negara posisi guru sangat terhormat, bahkan untuk menjadi guru melalui tahapan seleksi yang ketat. Namun, kondisi demikian kontradiktif dengan posisi guru di negara kita. Seolah semua diolah sekenannya. Sebagai contoh kecil, atas diterapkannya kurikulum 2013, sudah berapa banyak universitas pendidikan/ IKIP yang memasukan kurikulum 2013 sebagai materi perkuliahan, sehingga calon gurunya nantinya benar2 mampu berteman dengan kurikulum, mampu mengembangkan kurikulum dalam lingkup sekolahnya.

    BalasHapus