Minggu, 19 Januari 2014

School Of Empathy Part 2

Susah menggambarkan diskusi panjang lebar kami dengan Pak Is. Tapi ada sesuatu yang bisa kami rasakan bahwa, ada sebuah perjalanan spiritual yang mendalam. Mungkin tak banyak orang belajar enterpreneurship yang seperti ini. Pembelajaran kami diawali sebuah dialog yang justru menurut kami apa yang disampaikan oleh beliau lebih tepat pada jatung permasalahan. Bukan sekedar paparan ilmu yang tak tepat guna, alih-alih pencerahan, justru hanya sia-sia. Ini adalah salah satu yang diterapkan beliau dalam social-enterpreneur, bahwa dalam praktiknya tentu dilandasai dengan asas permasalahan yang muncul di lingkungan masyarakat kemudian di tangkap dengan hati dan dilogikakan agar menjadi sebuah solusi atas permasalahan.
Pak Is memberikan wejangan

Selama berdialog dengan Pak Is, jika disistematiskan ada sebuah fase spiritual yang beliau tularkan kepada kami:
Pertama adalah fase brainstorming, soal permasalah bisnis yang ada, ini lebih pada mengarahkan kembali, kompas-kompas pemahaman yang telah salah pada kami bertiga.
 Selama itu ada fundamental yang ditananamkan oleh beliau dalam memperdalam ilmu ini. Beliau dalam menjawab sebuah permasalahan kami, pasti akan dimulai dengan hal yang sangat mendasar. Contoh sebuah hal dasar mengapa kita harus ber-social enterpreneur? Beliau selalu menekankan bahwa berangkat dari sebuah permasalahan yang ada di masyarakat. Ada sebuah alasan besar yaitu kealphaan sebuah keadilan dalam aspek bisnis, sehingga melahirkan berbagai bencana kemanusiaan. Orientasi penumpukan kekayaan (profit accumulation) telah melahirkan watak bisnis yang menghilangkan sisi kemanusiaan akibatnya bisnis kehilangan ruh spiritualnya. social-enterpreneur yang mempunyai sifat share, benefit for others dan empowerment menjadi system untuk mengisi kekosongan kemanusiaan dalam berbisnis yang konvensional.
ppt

Fase kedua adalah lebih fokus pada philosophy social-enterpreneur itu sendiri. kami sebut ini sebuah penanaman “aqidah” atau konsep kepercayaan sebagai penompang sebuah tindakan.
contoh fase ini adalah pada sebuah pertanyaan soal weltanschauung-nya social-enterpreneur. Jawaban yang menarik yang disampaikan oleh beliau. Bahwa social enterpreneur itu awal dibangun bukan atas logika yang bertumpu pada akal. Akal justru hanya sebagai stimulus yang digunakan sebagai tahapan selanjutnya untuk merumuskan solusi. Sehingga posisi utama atau pijakan sebuah social enterpreneurship dimulai dari empathy. Empathy ini menurut sepenangkapan kami dari hasil yang telah disampaikan beliau bahwa; sensitibilitas sebuah entitas seseorang dalam menangkap sebuah gejolak yang ada di lingkungan sekitar. Masyarakat mempunyai banyak problem yang menjangkitinya, sehingga empathy seseorang di situ bermain, rasa belas kasihan sehingga melahirkan keinginan kuat dari hati seseorang (risk taker) untuk menyelesaikan permasalahan. Hingga akhirnya menggunakan logikanya, tersebut untuk turun tangan mencari solusi atas permasalahan yang ada. Sehingga melahirkan social-enterpreuner. Berbeda halnya dengan bisnis konvensional yang berdasarkan otak, karena hanya berfikir bagaimana menghasilkan keuntungan dari sebuah resources. Ini menarik, sehingga kami menyebutnya selama kami belajar dengan beliau sebagai perjalanan spiritual. Atau lebih tepatnya mengenal bagaimana menjalani sebuah spiritual yang menjadi ruh sebuah bisnis.
ppt

Ketiga adalah “fiqih” Social-Enterpreneur.
Sebagai konseptor Pak Is juga menapaki jalan sebagai pelaku bisnis sosial. Lebih dari itu beliau banyak berkaca dari para pelaku bisnis sosial dan mengamati polanya. Pengetahuan inilah yang akan memperkaya untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan kami yang mendekati soal teknis bisnis-sosial. Contohnya dalam managemen risiko bisnis sosial. Tentu semua bisnis mempunyai risiko, yang menyangkut untung dan rugi. Beliau selalu menerangkan bahwa soal pengelolaan sosial bisnis tetap mengacu pada bisnis modern, apalagi jika menyangkut produksi suatu barang tapi bedanya dalam bisnis ini, impact untuk masyarakat lebih besar, sehingga tidak ada cerita penumpukan kekayaan pada satu orang. Hal yang menarik yang beliau terangkan soal bisnis sosial adalah dalam konsep sosial bisnis, pelaku membangun social-resource sehingga semakin lama sebuah bisnis akan kuat karena semakin kuat jejaring social-resourcenya. Beda dengan bisnis convensional yang selalu mengandalkan capital-resource saja, yang semua hanya di nilai dari sebuah materi.
Dalam ilmu Tasawuf social-enterpreneur adalah sebuah jalan menuju Tuhan bagaikan pendekatan seorang sufi untuk mencapai hakikat…
Bersambung..

Jumat, 17 Januari 2014

School of Empathy Part 1

Hujan deras menggunyur Jakarta sore itu, beberapa ruas jalan nampak dipenuhi oleh air yang menghambat laju kendaraan. Kami bertiga; aku, Dika, Didin bertolak ke kantor  IBEKA (Istitut Bisnis dan  Ekonomi Kerakyatan, Link baca sini Sob: http://ibeka.netsains.net/) dari wisma BNI, rencana kami akan bertemu punggowo IBEKA,  Ibu Tri Mumpuni (baca Sob; http://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Mumpuni). Sesuai dengan kesepakatan sore kemarennya, kami bertiga akan merepotkan beliau, karena kami akan mengikuti beliau ke salah satu ujung kabupaten Subang. Kami beruntung karena diberi kesempatan langka untuk mengunjungi Bapak Iskandar Budisaroso yang tidak lain adalah Founder IBEKA dan suami Ibu Tri sendiri.
Ini dia Ibu Tri Mumpuni
Syahdan, awal pertemuan kami dengan Ibu Tri berawal dari Vira (Baca Sob: https://indonesiamengajar.org/pengajar-muda/elvira-rosanty/), waktu itu kami sedang hangat-hangatnya menjadi veteran Pengajar Muda. Maklum saja baru seminggu pulang dari penempatan. Kebetulan rekan kami ini, punya kawan waktu kuliah di UTM (University Technology of Malaysia), beliau adalah Astri (baca link: https://indonesiamengajar.org/pengajar-muda/nurrachma-saraswati/) , yang tak lain putri Ibu Tri dan Pak Iskandar. Singkat cerita dari Astri inilah kemudian kami bertemu dengan orang hebat seperti Ibu Tri dan Pak Is.

Kami bersama Ibu Tri berangkat ba’da Mahrib, ternyata hujan tak kunjung reda juga, justru semakin deras. Jalan-jalan semakin tenggelam sore itu. Tapi perjalanan kami tambah seru karena Ibu Tri, yang duduk di sebelah pak supir, selalu menghiasi dengan celoteh lucu yang berbobot, karena kami bisa banyak mengambil ilmu dari lelucon beliau. Beliau sekilas memang orang yang tegas dan tanpa tedeng aling-aling, jika mengomentari atau mengkritik sesuatu. Istilahnya ceplas-ceplos tapi bukan ngawur. Ceplas-ceplos beliau memakai dasar ilmu dan cara berfikir yang logis. Tentu saja dengan dibumbui penyedap yaitu selera humor beliau yang tinggi sehingga bikin kami tertawa selama menuju Subang. 
Tak terasa sekitar tiga jam, pukul 22.00 WIB kami sampai di sebuah rumah di Desa Cicadas, Kecamatan Sigalaherang, Kabupaten Subang. Kondisi malam hari dan hujan, sehingga kami tak terlalu menghiraukan lingkungan sekitar rumah. Kami di sambut ramah oleh bapak Iskandar, yang nampaknya sengaja menantikan hadirnya istri tercintanya sampai larut malam. Selanjutnya, kami semua makan malam sambil ngobrol banyak hal. Sesuatu hal yang paling mengesankan dari interaksi keluarga yang baru aku kenal ini adalah panggilan sayang untuk suami. Wow, jaman sekarang cukup langka aku mendengar panggilan itu dari seorang istri untuk suami. Interaksi mesra yang mereka tunjukan sungguh menginspirasi kami, sehingga bagaimana kedepannya harus bersikap kepada istri. Hal lain yang banyak kami belajar dari keluarga ini adalah, dari meja makan kecil, mereka mendikusikan soal kepentingan rakyat marginal di dunia yang besar ini. Mungkin Ibu dan Bapak ini sering memunculkan gagasan besar untuk rakyat, berawal dari meja makan kecil ini. Dahsyat!  

Pagi Pertama

Pagi 13-1-2014 ternyata gerimis masih membasahi tanah Subang, aku beranjak ke luar rumah  yang exsotis ini untuk melihat penampakan rumah dari luar. Ternyata benar dugaanku, penampakan alam selaras dengan rumah. Halaman rumah yang dirimbuni pepohonan yang berlantaikan permadani hijau rerumputan. Beranjak ke sebelah timur rumah yang tak kalah menarik, jauh di balik sawah berundak, terdapat bukit yang tak terlalu tinggi menghiasi hamparan padi yang belum lama di tanam petani. Gemercik air terjun mini menghiasi sebelah barat rumah, dengan jalan yang menanjak menuju semacam villa untuk para tamu.
Rumah Ibu Tri nampak sebelah barat

Gerimis belum saja turun, aku urung untuk mengeksplorasi lebih jauh sisi utara rumah, aku lebih memilih melihat tempat penangkaran kupu-kupu di sebelah barat rumah,  beberapa kupu-kupu terbang di bawah jaring-jaring yang menutupi rerimbunan pohon dan bunga di taman kupu-kupu ini. aku akhirnya tertarik untuk memasuki bengkel pembiakan kupu-kupu, sekaligus bengkel pengawetan kupu-kupu untuk bahan kerajinan.
 Sekitar pukul 07.30 WIB kami siap-siap untuk sarapan pagi. Nasi beserta lauk dan sayur rupanya sudah tersaji di meja. Tanpa bosa-basi kami santap. Awalnya kami mengira Bapak dan Ibu belum makan, karena tanda-tandanya nasi belum jua teraduk oleh centong, ternyata setelah kami konfirmasi beliau berdua, rupanya sedang puasa sunnah senin-kamis. Kan, kami dapat pelajaran lagi, kalau mau jadi orang hebat, sering-seringlah puasa. Istilah Pak Iskandar  tirakatan. Oke, kami akhirnya bertiga menikmati sajian nikmat pagi itu. selesai makan kamipun bertiga menghampiri Pak Is yang sedang dengerin lagu tahun 80-an, yang kami gak tau judulnya.

School Of Empathy

Istilah ini  diambil dari Bapak Iskandar. Inilah kira-kira untuk menggambar kegiatan kami selama tiga hari di Serdang. Selama itu kami mengalami proses berfikir untuk mencapai pencerahan. Selama itu pula empati kami diasah, mata kami dibuka untuk melihat realita kehidupan. Selama itu kami harus menentukan arah kami kedepannya, dan akhirnya kami masing-masing yakin untuk memilih garis kehidupan kami, yang memang harus kami buktikan dengan tindakan selanjutnya.
 
Wejangan dalam school of Empathy bersama Pak Is

Diawali dengan sebuah pertanyaan, proses itu berlangsung. Kami awalnya bertanya tentang sosial bisnis, sesuai dengan apa yang digeluti oleh beliau. Diskusi kami berlangsung, jawaban-jawaban beliau atas pertanyaan, mengantarkan kami pada fase-fase yang unik. Hingga akhirnya selama itu kami tak hanya mengalami proses dialetika atau pemasukan sebuah pemahaman yang di bawakan melalui logika-logika pembenaran, tapi kami mengalami semacam perjalanan spiritual..
Bersambung…

Minggu, 12 Januari 2014

Guru Sebagai Pawang Kurikulum: Refleksi Hari PGRI

Waktu terasa begitu cepat, tak terasa 25 November telah hadir kembali. Saat itulah dimana seluruh guru di Indonesia  akan merayakan hari ulang tahun organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang lahir pada tahun 1945. Sebuah organisasi yang lahir sangat cepat, hanya selang tiga bulan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini menunjukan semangat kebangsaan dan cita-cita guru sejak dahulu untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. Meskipun kini umur PGRI telah mencapai 68 tahun, akan tetapi gelombang permasalahan yang dihadapi guru tak kunjung reda menjangkiti para guru, mulai dari masalah pergantian kurikulum, kesejahteraan guru, hingga masalah kenaikan pangkat, akan tetapi di tengah-tengah masalah yang tengah dihadapi, semua pihak tetap menuntut kedewasaan guru dalam mengemban tugas mulianya sebagai pendidik.
Salah satu permasalahan yang dihadapi guru saat ini, menurut Zulfkri Annas salah seorang dari Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas adalah masalah gonta-ganti kurikulum yang diklaim banyak memusingkan para guru, baik menyangkut aplikasi kurikulum hingga masalah administrasi yang harus mengikuti kebijakan baru kurikulum. Dampaknya cukup signifikan yaitu seolah kurikulum menjadi kambing hitam karena dianggap sebagai  biang masalah atau bahkan menjadi momok musuh bagi para guru kita. Padahal kalau kita menengok devinisi dan maksud dari kurikulum itu sendiri, sesungguhnya kurikulum adalah sahabat guru yang akan membantu dalam pelaksanaan pencerdasan. Todd (1965) dalam bukunya Curriculum Development and Instructional Planning Nederland, mendevinisikan kurikulum sebagai “pengalaman pendidikan (belajar) yang terencana atau yang direncanakan oleh sekolah (satuan pendidikan) yang dapat diselenggarakan kapanpun (any time) dan dimanapun (any where) serta dalam keberagaman konteks sekolah sebagai bagian dari masyarakat”. Jadi kurikulum seharusnya menjadi teman guru yang selalu setia menemani guru saat memberikan inspirasi terhadap anak didik.
 Kadang, banyak kalangan memaklumi sikap guru terhadap kurikulum, karena melihat latar belakang sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia yang mengalami berbagai perkembangan dan pergantian mulai dari kurikulum Tahun 1947 atau yang sering disebut Rentjana Pelajaran 1947, hingga terakhir adalah Kurikulum 2013, kurikulum selalu mengikuti perkembangan global bahkan kebutuhan pasar. Akan tetapi, apakah lantas guru seperti robot yang dengan mudahnya di kendalikan oleh kurikulum? Memang sebagain fungsi kurikulum adalah sebagai sebuah petunjuk pelaksanaan teknis dalam proses kegiatan pembelajaran, akan tetapi kemudian apakah kita sebagai guru menjadi terintimidasi dengan gelombang perubahan kurikulum yang akan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman? Sehingga melupakan sisi kewajiban kita untuk mencerdasakan anak, karena disibukan pada penyesuaian kurikulum. Tentu saja jawabannya tidak, karena sebagai guru kita harus mampu mengendalikan kurikulum itu sendiri, karena senyatanya kurikulum adalah sebuah pendekatan saja dalam proses memasukan ilmu dan penanaman karakter ke murid, dan gurulah yang mengetahui sesungguhnya apa yang terjadi dilapangan dan cara terbaik untuk anak didiknya. 
Guru adalah pawang kurikulum, demikian mungkin yang cocok untuk menggambarkan bagaimana seharusnya sikap guru terhadap kurikulum saat ini. Di balik hantaman permasalahan klasik guru dan perubahan kurikulum, guru harus menjadi sesosok pawang yang mampu mengendalikan kurikulum. Kurikulum terbaru 2013 misalnya, kurikulum ini adalah produk pemerintah pusat, akan tetapi seperti pernyataan Todd (1965) di atas tadi, kurikulum mempunyai sifat fleksibelitas dan kontekstual, artinya secara garis besar aturan dalam kegiatan belajar mengajar memang telah ditentukan, akan tetapi pusat telah memberikan butir-butir yang bisa di kembangkan dan disesuaiakan oleh daerah. Sesungguhnya contoh nyatanya telah diterapkan dalam kurikulum 2006 atau yang dikenal kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini adalah pengejawantahan semangat desantralisasi politik Indonesia, yang tadinya sangat sentral. Dalam kurikulum tersebut pada tingkat sekolah bisa mengembangkan silabus yang memiliki standar kopetensi siswa, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan masing-masing lingkungan sekolah, akan tetapi tetap mengacu sesuai yang digariskan oleh pusat.
Demikian halnya pada proses penerapan kurikulum 2013, sebagai guru kita tentu diwajibkan untuk bersikap positif terhadap hadirnya kurikulum baru. Selanjutnya, guru dituntut untuk memahami, dan kemudian baru mengendalikan penerapannya, sesuai dengan masing-masing kebutuhan dan kemampuan siswa didik. Ibarat seorang pawang harimau yang profesional dalam bisnis sirkus, seorang pawang harus menerima apa adanya harimau yang akan dicetak sebagai hewan sirkus, kemudian tentu saja yang paling terpenting adalah sang pawang memahami betul karakter harimau tersebut, karena setiap hariamau tentu mempunyai karakter berbeda, dan setelah proses tersebut dilalui semua, tentu saja sang pawang bisa mengarahkan hariamau sesuai dengan keinginan yang ia butuhkan untuk bisnis sirkusnya. Bayangkan saja jika sejak awal orang tersebut tidak memahami sifat harimau, tentu tidak akan bisa menjadi pawang harimau tersebut. Atau ia sudah mampu memahami sifat harimau, akan tetapi gagal pada pengendaliannya, tentu bukan di sebut sebagai pawang.
Dalam konteks Aceh, kurikulum 2013 adalah sebuah trobosan baru yang diterbitkan oleh pusat untuk menghadapi perkembangan dunia global sekarang. Sebagai guru di Aceh, tentunya harus bisa menjadi pawang yang mengenadalikan kurikulum. Jalan menjadi pawang tentu guru harus memahami terlebih dahulu, kemudian guru di tuntut kreatif untuk menyesuaikan dengan semangat kebudayaan, norma dan agama di Aceh, untuk selanjutnya ditransfer ke peserta didik. Tentu semua itu perlu kerja keras semua pihak pemangku kepentingan pendidikan untuk mendukung guru dan guru itu serdiri untuk memahami kurikulum dan hingga sampai mampu mengembangkannya. Sehingga refleksi untuk peringatan hari jadi PGRI ini adalah tidak selayaknya sebagai guru takut menghadapi sebuah perkembangan baru, akan tetapi guru harus mampu mengendalikan sesuatu baru, agar sesuai dengan norma lokal dan kemampuan siswa pada masing-masing sekolah untuk memahami pelajaran. Sehingga guru di Aceh akan di sebut sebagai pawang kurikulum, yang paham dan kreatif mengambangkan atau mengendalikan kurikulum sesuai dengan konteks ke-Aceh-an. Hal terpenting adalah guru Aceh akan tahan akan terpaan gelombang perubahan kurikulum kedepannya. Selamat Hari PGRI ke- 68.