Jamak
para pelaku usaha telah memboking sejumlah televisi swasta untuk menayangkan
iklan produknya jauh hari sebelum memasuki Ramadhan. Dalam iklan tersebut
ditampilkan bagaimana dahaganya puasa yang harus dihilangkan dengan meminum
sirup, kemudian iklan mengarahkan persepsi konsumen bahwa sirup mampu
menyatukan perbedaan yang ada, dan bukan buka puasa itu sendiri, kemudian iklan
obat, yang menjelaskan bahwa puasa itu mengakibatkan penyakit perut tertentu,
sehingga harus minum obat setelah sahur dan sebagainya, jelas bahwa iklan ini
hanya memberi arahan yang tidak benar dan menyebarkan ketakutan bahwa puasa itu
penyebab sakit tertentu. Kemudian produk-produk yang sesungguhnya tidak
kaitanya dengan Ramadhan, akan tetapi disetting sehingga seolah ada kaitanya
dan harus dibeli konsumen saat Ramadhan, biasanya mereka mengatas namakan
Ramadhan yang kemudian menawarkan dengan harga yang lebih murah, atau
paket-paket tertentu. Dan masih banyak iklan yang hanya memanfaatkan momentum
puasa sebagai pelaris produk mereka.
Melihat
pola-pola diatas bisa ditafsirkan bahwasanya pertama, pemilik produk
nampaknya tidak sabar untuk menjual produk mereka sehingga mengharuskan mereka
berlomba-lomba untuk cepat-cepat menayangkan iklan produk mereka, bahkan jauh
sebelum Ramadhan tiba. Kedua, kreasi-kreasi untuk menciptakan variasi
produk untuk Ramadhan terus dilakukan oleh perusahaan, hal ini untuk memenuhi
hasrat tinggi para konsumen saat Ramadhan. Sehingga disini kebutuhan “palsu”
yang sebenarnya tidak harus dipenuhi oleh masyarakat, sebagai akibat dari sifat
konsumtif, bertemu dengan egoisme perusahaan untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya di bulan penuh berkah ini. Ketiga, memunculkan pola
konsumtif masyarakat yang jelas dilakukan oleh produsen selaku pemangku
kepentingan pasar, yang sebenarnya ikut bertanggung jawab atas pola konsumtif
masyarakat hingga mencapai tingkat yang cukup tinggi seperti saat ini.keempat,
melalui konstruksi yang dibangun produsen, mampu menciptakan kelalaian
konsumen akan prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Seperti
yang telah disebutkan diatas, bahwa pembudayaan atas pola konsumtif yang
dilatih oleh para pemangku kepentingan pasar ini mengakibatkan munculnya apa
yang disebut dengan masyarakat konsumtivisme. Kata konsumtivisme adalah
gabungan dari dua suku kata yaitu konsumtif dan isme. Konsumtif yang berarti
adalah sifat menghabiskan atau memakai. Hal ini menjelaskan bahwa kecenderungan
manusia adalah memakai atau menghabiskan. Seperti biasanya ketika manusia dalam
setiap harinya harus memakai atau menghabiskan makanan sebagai sumber energi,
atau ketika manusia dalam setiap detiknya harus memakai oksigen sebagai salah
satu kebutuhan pokok tubuh manusia. Hal ini menjadi sebuah kodrat bahwa manusia
adalah mahluk konsumtif. Akan tetapi berbeda jika kata konsumtif telah ditambah
dengan isme yang berarti sudah memasuki wilayah yang lebih substansial yaitu
menjadi sama dengan kata Nasionalisme, Patriotisme, dan Kapitalisme. Isme disini
berarti mempunyai makna pandangan hidup, falsafah, atau ideologi, sehingga
konsumtif adalah menjadi pandangan hidup, ideologi, gaya hidup atau falsafah
hidup yang difokuskan pada nilai-nilai untuk menghabiskan, dan memakai sesuatu.
Falsafah yang tertanam akan mempengaruhi setiap pola piker, perkataan, hingga
perbuatan, yang awalnya, dikontruksikan oleh pemangku kepentingan pasar,
sehingga apapun dalam setiap kegiatanya berujung pada satu tujuan yaitu
menghabiskan atau memakai.
Bulan
Ramadhan yang seharusnya sebagai refleksi umat atas ketidakmerataan tingkat
ekonomi manusia, sehingga dalam puasa kita diuji untuk ikut merasakan dunia
lain yang sedang merasakan kelaparan, berubah menjadi ajang untuk meningkatkan
pola konsumtivisme masyarakat, karena konstruksi pemangku kepentingan pasar.
Sehingga puasa sesungguhnya berfungsi untuk menahan nafsu menjadi ajang untuk
meningkatkan nafsu untuk membelanjakan kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya
pemborosan. Hal ini wajar ketika esensi puasa tidak menjadi sebuah dasar atas
ritual ini, sehingga ritual puasa kering akan pemaknaan. Artinya pemahaman
puasa hanya ikut merasakan lapar saja, akan tetapi tidak sampai pada sebuah
pemaknaan bahwa, nafsu untuk membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan
yang tidak diperlukan, harus ditahan pula, walaupun godaan akan nafsu itu terus
menerus dilakukan. Sehingga seolah-olah pemahaman yang berkembang bagi orang
yang berpuasa saat ini adalah hanya ikut merasakan rasa lapar dan dahaganya
kaum fakir dan miskin, tetapi tidak sampai pada usaha untuk merasakan kaum
fakir dan miskin yang juga tidak pernah bisa merasakan nikmatnya belanja barang
mewah, membeli pakaian bagus atau merasakan minuman sirup yang manis dan
berkelas.
Dengan
demikian pantaslah jika Ramadhan tahun ini atau tahun-tahun yang akan datang
menjadi sebuah bulan yang tidak hanya diharapkan karena keagunganya, akan
tetapi diharapkan juga karena potensi konsumtif masyarakatnya oleh orang-orang
tertentu selaku pemangku kepentingan pasar. Sehingga jika orang biasanya berkata
Marhaban Ya Ramadhan, saya lebih suka dan saya anggap relevan jika berkata
Marhaban Ya Konsumtivisme, bukan karena Ramadhanya, tapi karena dampak dari
mekanisme kepentingan pasar.
0 komentar:
Posting Komentar