Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Januari 2014

Waktu terasa begitu cepat, tak terasa 25 November telah hadir kembali. Saat itulah dimana seluruh guru di Indonesia  akan merayakan hari ulang tahun organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang lahir pada tahun 1945. Sebuah organisasi yang lahir sangat cepat, hanya selang tiga bulan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini menunjukan semangat kebangsaan dan cita-cita guru sejak dahulu untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. Meskipun kini umur PGRI telah mencapai 68 tahun, akan tetapi gelombang permasalahan yang dihadapi guru tak kunjung reda menjangkiti para guru, mulai dari masalah pergantian kurikulum, kesejahteraan guru, hingga masalah kenaikan pangkat, akan tetapi di tengah-tengah masalah yang tengah dihadapi, semua pihak tetap menuntut kedewasaan guru dalam mengemban tugas mulianya sebagai pendidik.
Salah satu permasalahan yang dihadapi guru saat ini, menurut Zulfkri Annas salah seorang dari Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas adalah masalah gonta-ganti kurikulum yang diklaim banyak memusingkan para guru, baik menyangkut aplikasi kurikulum hingga masalah administrasi yang harus mengikuti kebijakan baru kurikulum. Dampaknya cukup signifikan yaitu seolah kurikulum menjadi kambing hitam karena dianggap sebagai  biang masalah atau bahkan menjadi momok musuh bagi para guru kita. Padahal kalau kita menengok devinisi dan maksud dari kurikulum itu sendiri, sesungguhnya kurikulum adalah sahabat guru yang akan membantu dalam pelaksanaan pencerdasan. Todd (1965) dalam bukunya Curriculum Development and Instructional Planning Nederland, mendevinisikan kurikulum sebagai “pengalaman pendidikan (belajar) yang terencana atau yang direncanakan oleh sekolah (satuan pendidikan) yang dapat diselenggarakan kapanpun (any time) dan dimanapun (any where) serta dalam keberagaman konteks sekolah sebagai bagian dari masyarakat”. Jadi kurikulum seharusnya menjadi teman guru yang selalu setia menemani guru saat memberikan inspirasi terhadap anak didik.
 Kadang, banyak kalangan memaklumi sikap guru terhadap kurikulum, karena melihat latar belakang sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia yang mengalami berbagai perkembangan dan pergantian mulai dari kurikulum Tahun 1947 atau yang sering disebut Rentjana Pelajaran 1947, hingga terakhir adalah Kurikulum 2013, kurikulum selalu mengikuti perkembangan global bahkan kebutuhan pasar. Akan tetapi, apakah lantas guru seperti robot yang dengan mudahnya di kendalikan oleh kurikulum? Memang sebagain fungsi kurikulum adalah sebagai sebuah petunjuk pelaksanaan teknis dalam proses kegiatan pembelajaran, akan tetapi kemudian apakah kita sebagai guru menjadi terintimidasi dengan gelombang perubahan kurikulum yang akan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman? Sehingga melupakan sisi kewajiban kita untuk mencerdasakan anak, karena disibukan pada penyesuaian kurikulum. Tentu saja jawabannya tidak, karena sebagai guru kita harus mampu mengendalikan kurikulum itu sendiri, karena senyatanya kurikulum adalah sebuah pendekatan saja dalam proses memasukan ilmu dan penanaman karakter ke murid, dan gurulah yang mengetahui sesungguhnya apa yang terjadi dilapangan dan cara terbaik untuk anak didiknya. 
Guru adalah pawang kurikulum, demikian mungkin yang cocok untuk menggambarkan bagaimana seharusnya sikap guru terhadap kurikulum saat ini. Di balik hantaman permasalahan klasik guru dan perubahan kurikulum, guru harus menjadi sesosok pawang yang mampu mengendalikan kurikulum. Kurikulum terbaru 2013 misalnya, kurikulum ini adalah produk pemerintah pusat, akan tetapi seperti pernyataan Todd (1965) di atas tadi, kurikulum mempunyai sifat fleksibelitas dan kontekstual, artinya secara garis besar aturan dalam kegiatan belajar mengajar memang telah ditentukan, akan tetapi pusat telah memberikan butir-butir yang bisa di kembangkan dan disesuaiakan oleh daerah. Sesungguhnya contoh nyatanya telah diterapkan dalam kurikulum 2006 atau yang dikenal kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini adalah pengejawantahan semangat desantralisasi politik Indonesia, yang tadinya sangat sentral. Dalam kurikulum tersebut pada tingkat sekolah bisa mengembangkan silabus yang memiliki standar kopetensi siswa, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan masing-masing lingkungan sekolah, akan tetapi tetap mengacu sesuai yang digariskan oleh pusat.
Demikian halnya pada proses penerapan kurikulum 2013, sebagai guru kita tentu diwajibkan untuk bersikap positif terhadap hadirnya kurikulum baru. Selanjutnya, guru dituntut untuk memahami, dan kemudian baru mengendalikan penerapannya, sesuai dengan masing-masing kebutuhan dan kemampuan siswa didik. Ibarat seorang pawang harimau yang profesional dalam bisnis sirkus, seorang pawang harus menerima apa adanya harimau yang akan dicetak sebagai hewan sirkus, kemudian tentu saja yang paling terpenting adalah sang pawang memahami betul karakter harimau tersebut, karena setiap hariamau tentu mempunyai karakter berbeda, dan setelah proses tersebut dilalui semua, tentu saja sang pawang bisa mengarahkan hariamau sesuai dengan keinginan yang ia butuhkan untuk bisnis sirkusnya. Bayangkan saja jika sejak awal orang tersebut tidak memahami sifat harimau, tentu tidak akan bisa menjadi pawang harimau tersebut. Atau ia sudah mampu memahami sifat harimau, akan tetapi gagal pada pengendaliannya, tentu bukan di sebut sebagai pawang.
Dalam konteks Aceh, kurikulum 2013 adalah sebuah trobosan baru yang diterbitkan oleh pusat untuk menghadapi perkembangan dunia global sekarang. Sebagai guru di Aceh, tentunya harus bisa menjadi pawang yang mengenadalikan kurikulum. Jalan menjadi pawang tentu guru harus memahami terlebih dahulu, kemudian guru di tuntut kreatif untuk menyesuaikan dengan semangat kebudayaan, norma dan agama di Aceh, untuk selanjutnya ditransfer ke peserta didik. Tentu semua itu perlu kerja keras semua pihak pemangku kepentingan pendidikan untuk mendukung guru dan guru itu serdiri untuk memahami kurikulum dan hingga sampai mampu mengembangkannya. Sehingga refleksi untuk peringatan hari jadi PGRI ini adalah tidak selayaknya sebagai guru takut menghadapi sebuah perkembangan baru, akan tetapi guru harus mampu mengendalikan sesuatu baru, agar sesuai dengan norma lokal dan kemampuan siswa pada masing-masing sekolah untuk memahami pelajaran. Sehingga guru di Aceh akan di sebut sebagai pawang kurikulum, yang paham dan kreatif mengambangkan atau mengendalikan kurikulum sesuai dengan konteks ke-Aceh-an. Hal terpenting adalah guru Aceh akan tahan akan terpaan gelombang perubahan kurikulum kedepannya. Selamat Hari PGRI ke- 68.     

Selasa, 01 Oktober 2013

HARI Pendidikan Daerah (Hardikda) ke 54 dimeriahkan oleh berbagai seremonial yang senyatanya bersifat insidental. Sesuai amanah yang disampaikan oleh Gubernur Zaini Abdullah, sesungguhnya masih ada pekerjaan rumah yang selalu mengikuti langkah kita. Langkah kita bersama membenahi mutu pendidikan Aceh.

Salah satunya adalah refleksi tentang kesenjangan peran pelaku pendidik formal dan non formal.  Segelintir masyarakat masih memandang bahwa pendidikan adalah peran dinas pendidikan, majelis pendidikan, UPTD, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru saja. Sehingga saat ada terjadi kegagalan mencapai target pada ujian nasional beberapa waktu lalu, sekelompok aktor formal pendidik ini yang disalahkan. Memang hal ini wajar karena mereka adalah perpanjangan tangan negara yang mempunyai kewajiban konstitusional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, senyatanya semua pihak mempunyai andil yang sama. Lebih adil kiranya jika “kue” peran pendidik ini kita rumuskan kembali.

Banyak teori yang menyebutkan bahwa lingkungan sangat berpengaruh dalam mencetak generasi muda. Pada bagian ini pendidik non formal patut mengisi perannya. Contoh yang umum tentang motivasi anak dalam belajar. Seorang anak tentu akan memiliki etos belajar yang bagus ketika lingkungan sekolah mendukung dan berbanding lurus dengan lingkungan keluarga yang juga mendukung. Keluarga yang kondusif, dengan orang tua yang selalu memperhatikan pola belajar anak dan memberikan stimulus-stimulus dalam bentuk perhatian dan kasih sayang. Keluarga menjadi katalisator kesuksesan anak.

Lingkungan pendidikan (baca : sekolah) tidak terlepas dari pengaruh  lingkungan sekitar. Sekolah tidak dapat diisolasi dari hiruk-pikuk masyarakatnya. Senyatanya sekolah adalah model sebuah masyarakat mini. Sekolah adalah tempat anak didik belajar tentang bagaimana hidup. Sekolah justru harus lebih “dikawinkan” lagi oleh lingkungan masyarakat, karena masyarakat juga merupakan alat pembelajaran yang hidup dan nyata bagi peserta didik.

Bagaimana momentum Hardikda kita arahkan untuk memperbaiki kondisi ini? Tentu dengan optimisme menata kembali keseimbangan peran masyarakat sebagai pendidik non formal dan lembaga pendidikan sebagai pendidik formal dalam kancah belajar mengajar. Bahasa populernya adalah menciptakan sebuah “ekosistem pendidikan”. Istilah ini diadopsi dari Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class (2002) yang dikutip Yudi Latif dalam tulisan perspektifnya “Memuliakan Talenta” (2013). Ekosistem pendidikan menciptakan sebuah lingkungan kondusif yang semaksimal mungkin mendukung dan mendorong peserta didik untuk tumbuh dan berkembang. Ekosistem pendidikan ini bagaikan lingkungan tempat ikan hidup, yang tidak hanya didukung oleh adanya asupan makanan yang mencukupi. Lebih dari itu, ikan membutuhkan tingkat keasaman air yang terkontrol, kuantitas predator dan penyakit yang relatif rendah, serta yang terpenting adalah adanya daya dukung komponen lingkungan seperti adanya tumbuhan dan komponen alam lainnya sebagai tempat berlindung yang nyaman bagi ikan.

Ekosistem pendidikan dapat tercipta ketika ada kesadaran tingkat tinggi dari pihak masyarakat untuk berperan aktif mengawal pelaksanaan pendidikan. Masyarakat ikut terlibat dalam menciptakan suasana kondusif dan teladan bagi generasi yang sedang dicetak. Bayangkan ketika semua pihak berperan dalam mensukseskan pendidikan. Semua berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan perannya masing-masing. Segelintir anggota masyarakat yang mempunyai hak dan otoritas dalam mengontrol lingkungan dalam skala lebih luas misalnya, menciptakan kebijakan yang mendukung terciptanya suasana kondusif untuk anak didik. Contoh lainnya mahasiswa yang beruntung karena dianggap lebih terdidik, ikut terlibat aktif membimbing adik-adiknya di lingkungan “gampongnya” masing-masing. Bisa juga para bapak atau ibu yang duduk di lingkungan legislatif, yudikatif, dan eksekutif ikut berperan aktif dalam dunia pendidikan, minimal memperhatikan anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya yang masih duduk di bangku sekolah. Tentu semua akan terlihat indah dan harmonis ketika semua sinergis.

Aceh dalam konteks lokalitas atau local wisdom telah mempunyai modal untuk menciptakan ekosistem pendidikan. Contoh riilnya adalah Aceh mempunyai perpustakaan gampong yang jika digelorakan kembali akan menjadi salah satu wahana dalam menciptakan atmosfer pendidikan yang lebih bergairah. Aceh juga mempunyai balai-balai, warkop atau cafe sebagai ruang diskusi yang representatif dan memungkinkan dukungan dunia pendidikan dari para pihak pendidik non formal. Belum lagi keberadaan dayah yang sejak dahulu ikut membentuk generasi muda Aceh. Di pelosok-pelosok gampong Aceh juga mempunyai jam belajar yang padat, terutama untuk mengkaji ilmu agama. Ini berpotensi baik sebagai proteksi terhadap pengaruh-pengaruh budaya global yang kurang sesuai dengan keluhuran budaya lokal. Masih banyak kearifan lokal Aceh lainnya yang berpotensi besar sebagai embrio untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih sinergis antara satu pihak dengan yang lainnya.

Kita harus mulai memiliki pandangan tentang prioritas untuk menciptakan ekosistem pendidikan bagi generasi Aceh yang lebih baik. Baik pihak yang secara langsung diamanahi oleh undang-undang atau para pendidik non formal yang mempunyai kewajiban moral atas ini. Seperti yang selalu dikatakan oleh pendiri Gerakan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan bahwa “mendidik bukan hanya tugas guru semata, tetapi mendidik adalah tugas bagi orang-orang terdidik”. *opini ini dipublikasikan oleh Atjeh post

Kamis, 22 Agustus 2013


Wanita Nias sedang berbondong pergi ke Gereja
Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997 dalam Baron&Byrne, 1979). Pengertian Gender dari kamus John Echol adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Pembahasan Gender menurut Mufidah secara normative pada:
1. Marginalisasi Perempuan
Anggapan bahwa perempuan dalam masyarakat konvensional kerap menjadi obyek penindasan dan terkalahkan dalam hal apapun termasuk peran dalam keluarga.
2. Penempatan perempuan pada subordinat
Anggapan wanita hanya sebagai pelengkap kehidupan kaum laki-laki dalam istilah jawa wanita sebagai konco wingking.
3. Stereotype Perempuan
Pelabelan atau sterootype perempuan dalam kontruksi sosial masyakat tertentu menjadi image wanita menjadi buruk. Dalam positivism yang diletakan oleh Hegel yang membuat stereotype aktif-pasiv, ia bersikukuh bahwa di dunia ini ada obyek aktif dan pasif, laki-laki adalah aktif sedangkan wanita adalah pasif.
4. Kekerasan(Violence)
Wanita dibagian wilayah dunia selalu dikaitkan dengan obyek kekerasan, karena secara kodrati adalah makhluk lemah yang harus dilindungi.
5. Beban Kerja yang tidak Proposional.
Anggapan wanita hanya sebagai pendamping dan pelengkap menjadikan wanita kerap dijadikan obyek eksploitasi, terutama didalam lapangan pekerjaan.
Pemahaman dan kontruksi pikiran yang menjadi dasar para kaum feminis kerap menuntut ulang dalam setiap metode penelitian sosial. Penelitian sosial harus mempertimbangkan peran wanita dan sadar akan pengaruh wanita, sehingga penelitian dinilai akan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga apa yang telah mempengaruhi para peneliti dari kalangan Arkeolog, Arkeologi harus mempertimbangkan peran kaum wanita masa lalu dalam dengan melihat kemungkinan-kemungkinan yang mucul dalam obyek kajiannya.
Penerapan dalam Ilmu Arkeologi.
Banyak penelitian dalam Arkeologi yang menggunakan pendekatan Gender, penelitian-penelitian ini kebanyakan berangkat dari asumsi marginalisasi peran wanita dalam kasus-kasus penafsiran obyek kajian arkeologi. Seperti yang dilakukan oleh Karlotte Brysting Damm ditulis dijurnal yang berjudul Time, Gender, and Produktion: A critical Evalution of Archaelogical Time Concepts, yang mencoba mempertanyakan kembali kefalidan penafsiran kaitannya konsep waktu dalam Arkeologi yang mencoba mengevaluasi pandangan atau konsep waktu yang dipahami oleh peneliti barat yang menurutnya kurang tepat saat digunakan dalam menafsirkan konstruksi kebudayaan masyarakat masa lampau. Damm membandingkan dengan konsep waktu menurut orang Papua yang memiliki perbedaan dengan konsep barat dan kemudian dikaitkan dengan produktivitas dan peran kaum wanita dalam membuat gerabah
dengan melihat akumulasi kereweng dalam sebuah situs. Selain itu dalam penelitian Irigaray, dan Cixous, 1985 yang memunculkan istilah Phallocentrism dalam setiap penafsiran yang meniadakan peran wanita dalam setiap sejarah peradaban, mencoba berangkat dari kritik penelitian yang telah lalu dan secara kualitatif kembali mengguakan pendekatan Gender, atau penelitian Mary Baker dalam jurnal Gender: Enabling Perspektive or Politically Correct Term? An Analysis of How Gender and Material Culture are Viemed by 1990s Academia, yang berpendapat bahwa harus ada sebuah pemikiran yang melawan dominasi akibat dikotomi dalam setiap penelitian arkeologi, dan masih banyak peneliti-peneliti yang lain yang mengguakan pendekatan ini, termasuk penelitian di Indonesia terutama akhir-akhir ini yang banyak mengungkap peran wanita masa klasik.
Berangkat dari kritik terhadap asumsi-asumsi terhadap kefalidan penelitian arkeolog,dan sampai pada proses penafsiran data yang sangat melihat atau mempertimbangkan peran wanita, seperti contohnya melihat kembali peran wanita dalam masyarakat prasejarah yang selalu diasumsikan sebagai pelaku food Gathering bukan hunter atau pemburu, sehingga anggapan ini menimbulkan kesan peran wanita yang tidak ada dalam konstruksi social, marginalisasi dan lain sebagainya, akan mempengaruhi pada sebuah kesimpulan akhir dalam penelitian.
Kritik Analisis Gender
Sebuah Kritik dari penerapan berbagai penelitian Gender didunia Arkeologi yang dilakukan Alison Wylie dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian arkeologi menggunakan pendekatan ini diawali oleh kritikan dan ketidak kepercayaan akan penafsiran yang dianggap menghilangkan peran-peran wanita. Bahkan menurutnya dalam stadium tertentu akhir-akhir ini penelitian berbasis Gender telah terintervensi oleh kepentingan politik yang cenderung pragmatis. Alasanya adalah seringkali penelitian ini tidak obyektif dan penuh kepentingan, selain itu apa yang disuarakan tidak atau sulit dalam pengaplikasianya di lapangan, melanggaran Norma-norma penelitian, dan selain itu dalam penerapanya sering kali melupakan konteks penelitian yang digeneralkan dalam sebuah teori yang mengikuti faham feminish . Kemudian dia mengutip pendapat yang ada dalam jurnal metodelogi dan teori arkeologi bahwa penelitian arkeologi dengan gender seringkali tidak sesuai dengan teori gender dalam disiplin ilmu gender. Selanjutnya dia mengusulkan bahwa Gender dapat berkontribusi dalam setiap penelitian Arkeologi dengan ketentuan: 1. kejujuran peneliti dalam menafsirkan penemuan Arkeology, 2. Penerapan teori gender harus sesuai dengan disiplin ilmu Gender atau Gender yang Normative (yaitu semata untuk mengungkap marjinalisasi peran wanita dalam obyek penelitian).3. Harus lebih melihat konteks.
Kesimpulan
Meskipun dalam perannya pendekat Gender dalam dunia Arkeologi menuai berbagai kritikan dan atau dukungan, penelitian Gender dalam arkeologi akan lebih obyektif jika tanpa adanya intervensi, dan tentu akan tetap bermanfaat untuk menyumbangkan data dalam disiplin ilmu arkeologi.
Daftar Pustaka:
Mufida, 2003: Paradigma Gender, Banyu Media Publishing. Jawa Timur
Mary Baker: Enabling Perspektive or Politically Correct Term? An Analysis of How Gender and Material Culture are Viemed by 1990s Academia. Jurnal Gender.
Karlotte Brysting Damm: Time, Gender, and Produktion: A critical Evalution of Archaelogical Time Concepts. Tanpa tahun.
Alison Wylie, 2007: Doing Archaelogy as s Feminist: Introduction. Jurnal arkeology Methode and Theory.

Jumat, 01 Oktober 2010

Abad pencerahan Eropa dimana semangat mempelajari dunia timur sedang mencapai puncak-puncaknya, knowlade is power begitu jargon ilmuwan orientalisme yang ingin menimba berbagai pengetahuan dari timur. Bersamaan dengan itupula ilmu filologi mulai dikembangkan menjadi salah satu alat terutama untuk mempelajari manusia melalui bahasa. Sebuah mitos yang telah bertahan berabad-abad yaitu bahasa ibrani adalah bahasa Tuhan yang agung dan sacral, mulai menemui ajalnya, dan berdampak pada goyahnya stabilitas dinastik yang berlindung dalam doktrin dan komunitas agama. sehingga dampaknya adalah sekulerisasi di barat.

Akar-akar Budaya: perspektif Benerdict Anderson

Benerdict Anderson telah membahas tentang lahir dan berkembangnya mitos Nasionalisme yang terjadi sekitar abad ke IIV-XX, dalam bukunya Imaged Community. Ada hal yang menarik yang dapat kita ambil yang masih relevan dengan tulisan pendek ini yaitu terkait dengan akar-akar budaya atau system budaya sebagai identitas dan alat komunalitas. Menurut Anderson sebelum nasionalisme lahir ada dua ranah yaitu Komunitas religius dan Ranah Dinastik. Dua ranah tersebut akan sedikit kita bahas yang berdasarkan pada tulisan Anderson.

Komunitas Religius

Sebelum dunia ini mengenal paham nasionalisme sebagai pengikat manusia yang didasarkan atas paham-paham akan kecintaan dan pengorbanan terhadap tanah air, atau yang sering disebut tanah kelahirann (tanah tumpah darah), manusia telah mengenal konsep religius sebagai pemersatu. Kita mengetahui Nabi Muhammad SAW, pada abad ke 7 masehi diutus untuk menyampaikan risalah wahyu kepada bangsa Arap, tipologi masyarakat Arap yang berbeda-beda suku teryata mampu disatukan dengan satu pemahaman tentang konsep iman. Bahkan setelah pemerintahan Abasyiah agama ini mampu memperluas daerah pembebasanya dari Maroko hingga Andalusia Spayol, dan berhasil menyatukan perbedaan manusia dengan konsep pemersatu yaitu atas iman atau ketauhidan.

Begitu juga dengan Hindu dan Budha di wilayah yang lebih timur seperti India, Cina, dan Asia Tenggara. Mereka dipersatukan atas nilai-nilai keagamaan mereka. kepercayaan ini telah mampu menerobos perbedaan etnis, suku, dan bahasa di seluruh persebaran agama ini. Begitu juga Konfunsianisme telah mempersatukan tanah tiongkok atas da

Belahan dunia lain juga menunjukan hal yang sama Romawi dengan Katoliknya, dan sebelum islam berkembang di Persia yang disatukan kepercayaan paganismenya, mampu menyatukan manusia dari masing-masing daerah yang telah menganut kepercayaan yang sama.

Ranah Dinastik

Pemersatu lainya adalah ranah dinastik, ranah dinastik adalah pemersatu manusia didasarkan atas Dinasti-dinasti yang menguasai. Raja-raja dalam suatu wilayah tertentu memiliki daerah kekuasaan sendiri dengan berbagai kekuasaan atas struktur lapisan masyarakat. System yang terbentuk mulai Raja hingga kawulo (hamba), menjadi sebuah penanda status sosial dan bertahan hingga berabad-abad. Tak jarang agama menjadi alasan dasar atas hukum berlakunya system ini, seperti system kekhalifahan yang yang berkembang menjadi system pewarisan tahta bukan lagi system musyawarah.

Begitu juga di belahan dunia lainya, di China Mulai dari Dinasty Han hingga Ching masing-masing dinasti mewariskan tahta kepada keturunanya. Mitos atas perwalian Tuhan kepada Raja yang berkuasa menjadi hal yang telah ditetapkan. Di jawa raja mataram menyandang gelar Khalifatulloh atau wakil Alloh untuk memerintah Negara, konsep ini sebenarnya bergeser dari paham konsep keKhalifahan pada masa empat sahabat. Di jawa konsep yang berkembang lebih pada semacam takdir yang telah ditetapkan oleh Alloh untuk manusia tertentu hingga seluruh keturunanya, sehingga harus diterima apa adanya dan tidak boleh diganggu gugat, sedangkan untuk mempertahankannya dengan menciptakan mitos-mitos tertentu.

Semua ini baik komunitas religius ataupun Ranah dinastik telah mampu menyatukan perbedaan manusia dalam satu misi dan tujuan tertentu, sehingga kekuatan pemersatu dari kedua ranah ini adalah nilai-nilai religius atau kesamaan atas dasar keimanan, sedangkan dalam ranah dinastik lebih pada loyalitas kepada penguasa atau raja yang didukung mitos-mitos. Semua akar-akar budaya tersebut disebut “dunia lama”.

Eropa dalam Selimut Agama

Agama Isa telah memasuki kerajan Romawi dan menjadi agama resmi negera tersebut, semua wajib untuk menjalankan perintah agama bagi seluruh rakyat yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan ini. Daerah jajahan baru harus mengikuti ketentuan ini, jika tidak mengikuti tentu saja pemusnahan masal (Genoksida) akan dilakukan. Singkatnya antara agama dan Negara saling berkerjasama dan menguatkan antara satu dengan lainya, agama harus dijaga oleh kekuatan Negara, begitu juga sebaliknya agama harus mempunyai doktrin untuk menguatkan legitimasi penguasanya. Hal-hal yang bersifat pembaharuan yang akan mengganggu stabilitas keduanya akan dihancurkan.

Pada tahun 1517, misalnya menjadi contoh kongkret mulainya pembangkangan atau pemberontakan atas status quo ini, ketika Marthin Luther menentang “Holy Trade” atau perdangan dan eksploitas wilayah jerman pramerdeka. Hingga kerajaan Roma mengeluarkan Curia pada tahun 1520 yaitu sebuah maklumat Exsurge Domine(Bangkitlah Tuhan), yang berisi teguran keras terhadap soudara Marthin Luther dari Ordo Sanct yang menghidupkan bid’ah yang terkutuk. Singkat ceritanya aksi tersebut dilanjutkan oleh Marthin Luther dengan menolak keras dan membakar Bulla atau hukum ketentuan dari Vatikan yang berisi ketentuan Jerman untuk mengikuti kultur Vatikan dan menerapkan bahasa Latin yang sacral. Kekacauan ini memuncak ketika Marthin berani menafsirkan Penjanjian Baru ke dalam bahasa jerman. Perlu diketahui bahwa pada masa kerajaan Roma bahasa Latin adalah bahasa suci dan wajib digunakan disetiap daerah kekuasaan. Akibatnya bahasa-bahasa daerah seperti jerman, italia, dan lainya direduksi sedemikian rupa.

Contoh diatas hanya segelintir pemberontakan yang ditempuh melalui deskontruksi kesakralan bahasa dan budaya katolik yang berada di daerah kekuasaan Roma. Hingga akhirnya pemberontakan meluas dan membagi kekuasaan Roma atas beberapa wilayah-wilayah kecil yang berdaulat dengan masing-masing bahasanya, hal ini menandakan mulai hancurnya ranah dinastik yang sebagai awal alat pemersatu manusia.

Filologi dan peran aktifnya dalam sekulerisasi

Yang menarik dari contoh peristiwa tersebut adalah usaha penerjemahan Injil Perjanjian Baru oleh Marthin Luther yang menggemparkan dan heroik itu. Hal ini menjadi awal pemberontakan atas kondisi agama yang menjadi sebuah ketentuan yang tidak bisa digugat dan memaksa umatnya untuk mengikutinya tanpa proses rasionalisasi sebelumnya. Injil yang tadinya menjadi sepenuhnya Hak gereja vatikan dalam menafsirkan, Marthin berusaha melampau hal tersebut. Hegemoni gereja inilah yang menurut Marthin sebagai akar kebohongan yang berujung pada ketidakadilan yang berdalih pada ketentuan injil. Untuk itu Injil perlu ditafsirkan ulang ke bahasa Jerman agar masyarakat mampu memahami hakikat makna Injil itu sendiri. Sehingga masyarakat Jerman akan lebih memahaminya. Pemikiran dan karya Marthin Luther ini mendapatkan respon kagum dari Nietzsche sebagai berikut:

Mahakarya prosa Jerman….adalah mahakarya seorang pengkhotbah Jerman yang agung…dibandingkan dengan karya Luther maka, karya lain hanyalah karya sastra, yaitu sesuatu yang belum tumbuh di jerman atau palah yang tidak tumbuh…

Keberanian Marthin inilah menjadi awal pengkajian filologi untuk diterapkan dalam teks-teks perjanjian baru yang kemudian dikembangkan oleh para peneliti lainya. Yang perlu saya tekankan disini adalah keberanian Marthin yang berdampak bagi ahli-ahli untuk berani mempertanyakan apakah bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sacral yang dianggap awal bahasa manusia yang diturunkan oleh Tuhan?, kemudian pantaskah manusia masih mengagungkan bahasa Ibrani sebagai satu-satunya bahasa yang lanyak dipakai baik dalam kenegaraan atau agama?.kemudian apakah Tuhan mengutuk manusia akibat perbuatan Bid’ah, yang melanggar ketentuan Vatikan?

Kajian para filolog telah panjang lebar dibahas dalam kajian Orientalisme oleh Edward W Said (1978) diantaranya yang dibahas adalah kajian seorang filolog dari Paris Ernest Renan (1848), yang telah banyak mengkaji perbandingan bahasa dari Dunia Timur dan Barat. Ketertarikan Renan pada bahasa-bahasa Semit, Ibrani dan Sangsekerta membawa Renan sebagai seorang pengkaji bahasa yang handal. Dalam berbagai pidatonya, terutama di Sorbone ia berceramah tentang pengabdian filologi kepada ilmu-ilmu sejarah. Ia mengungkapkan bahwa apa yang sebenarnya diajarkan filologi, seperti halnya agama, kepada kita mengenai asal-usul umat manusia, peradaban, dan bahasa.

Selain itu pandangan Renan terhadap ilmu filologi adalah sebagai satu-satunya cara yang memungkinkannya sebagai seorang pemuda untuk keluar dari agama dan pindah ke filologi. Selain itu ia mengungkapkan bahwa “hanya satu pekerjaan saja yang tampaknya berharga untuk mengisi kehidupan saya. dan pekerjaan ini adalah meneruskan riset kritisnya terhadap agama Kristen”(proyek Renan terhadap sejarah asal-usul agama dan bahasa). kemudian atas proyek renan dalam mempelajari asal-usul bahasa ini adalah berhasil menghasilkan tata bahasa perbandingan, reklasifikasi bahasa dalam rumpun-rumpun, dan penolakan gagasan bahwa bahasa berasal dari Tuhan.

Said mengatakan bahwa” tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa pencapaian-pencapaian ini dapat dikatakan merupakan konsekuensi langsung dari pandangan yang mengatakan bahwa bahasa seluruhnya adalah fenomena manusiawi. Ketika secara empiris ditemukan bahwa apa yang dinamakan bahasa-bahasa sacral (utamanya bahasa Ibrani) sama sekali bukanlah bahasa yang paling kuno dan bukan berasal dari Tuhan”. Kemudian Said menegaskan kembali bahwa apa yang dikatakan Foulcault sebagai penemuan bahasa suatu peristiwa sekuler yang menggantikan konsepsi agama tentang bagaimana Tuhan menganugerahi bahasa kepada manusia di Taman Eden(Said,1978:206)

Tentu saja apa yang dirumuskan Renan melalui hasil risetnya tersebut menggemparkan Eropa, bahkan sempat dilarang pembahasanya, terutama bagi yang masih memegang kuat akan tradisi-tradisi agama Katolik. Statement ini juga mendukung proses sekulerisasi agama yang sedang berkembang subur di Eropa pada masa itu. Kemudian hasil kajian Renan inipun kembali di lanjutkan oleh sejumlah peneliti diantaranya William Jones yang meneliti status orisinalitas bahasa(1785-1792), dan Franz Bopp dalam bukunya Vergleichende Grammatik (1832). Keduanya berasumsi bahwa dinasti keilahian bahasa benar-benar telah diruntuhkan dan direduksi menjadi sejenis gagasan yang dapat berubah-ubah. Untuk itu, jika umat Kristiani menyakini bahwa bahasa-bahasa di Dunia ini sebenarnya berasal dari bahasa Ibrani, maka perlu memiliki suatu konsepsi yang baru untuk bertahan hidup menghadapi bukti empiris yang mereduksi status keilahian bahasa dari kitab sucinya (Said, 1978:206). Pemahaman kaum sekuler inilah yang ikut menyumbang runtuhnya ranah dinastik dan komunitas keagamaan yang semakin ditinggalkan, dengan menggantikan sebuah “Dunia Baru” yaitu dunia ilmu pengetahuan dan rasionalitas.

Kesimpulan

Abad bangkitnya ilmu pengetahuan di Eropa mampu menghancurkan segi-segi keilahian dan dinastik hingga mencapai sebuah titik kehancuran, hingga muncul apa yang disebut abad sekulerisasi terhadap hal-hal yang berbau konservatif terutama di Barat. Ilmu filologi sebagai salah satu produk dari “Dunia Baru”, ikut berperan terhadap proses sekulerisasi tersebut hingga akhirnya menjauhkan manusia Eropa dari kehidupan Agama dan system Dinasti.

Daftar Pustaka

Anderson, Benerdict;2001: Komunitas-Komunitas Terbayang(Imagined Community): INSIST, Yogyakarta.

Said. W. Edward; 1978`: Orientalisme: Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Minggu, 22 Agustus 2010


Jamak para pelaku usaha telah memboking sejumlah televisi swasta untuk menayangkan iklan produknya jauh hari sebelum memasuki Ramadhan. Dalam iklan tersebut ditampilkan bagaimana dahaganya puasa yang harus dihilangkan dengan meminum sirup, kemudian iklan mengarahkan persepsi konsumen bahwa sirup mampu menyatukan perbedaan yang ada, dan bukan buka puasa itu sendiri, kemudian iklan obat, yang menjelaskan bahwa puasa itu mengakibatkan penyakit perut tertentu, sehingga harus minum obat setelah sahur dan sebagainya, jelas bahwa iklan ini hanya memberi arahan yang tidak benar dan menyebarkan ketakutan bahwa puasa itu penyebab sakit tertentu. Kemudian produk-produk yang sesungguhnya tidak kaitanya dengan Ramadhan, akan tetapi disetting sehingga seolah ada kaitanya dan harus dibeli konsumen saat Ramadhan, biasanya mereka mengatas namakan Ramadhan yang kemudian menawarkan dengan harga yang lebih murah, atau paket-paket tertentu. Dan masih banyak iklan yang hanya memanfaatkan momentum puasa sebagai pelaris produk mereka.
Melihat pola-pola diatas bisa ditafsirkan bahwasanya pertama, pemilik produk nampaknya tidak sabar untuk menjual produk mereka sehingga mengharuskan mereka berlomba-lomba untuk cepat-cepat menayangkan iklan produk mereka, bahkan jauh sebelum Ramadhan tiba. Kedua, kreasi-kreasi untuk menciptakan variasi produk untuk Ramadhan terus dilakukan oleh perusahaan, hal ini untuk memenuhi hasrat tinggi para konsumen saat Ramadhan. Sehingga disini kebutuhan “palsu” yang sebenarnya tidak harus dipenuhi oleh masyarakat, sebagai akibat dari sifat konsumtif, bertemu dengan egoisme perusahaan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di bulan penuh berkah ini. Ketiga, memunculkan pola konsumtif masyarakat yang jelas dilakukan oleh produsen selaku pemangku kepentingan pasar, yang sebenarnya ikut bertanggung jawab atas pola konsumtif masyarakat hingga mencapai tingkat yang cukup tinggi seperti saat ini.keempat, melalui konstruksi yang dibangun produsen, mampu menciptakan kelalaian konsumen akan prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa pembudayaan atas pola konsumtif yang dilatih oleh para pemangku kepentingan pasar ini mengakibatkan munculnya apa yang disebut dengan masyarakat konsumtivisme. Kata konsumtivisme adalah gabungan dari dua suku kata yaitu konsumtif dan isme. Konsumtif yang berarti adalah sifat menghabiskan atau memakai. Hal ini menjelaskan bahwa kecenderungan manusia adalah memakai atau menghabiskan. Seperti biasanya ketika manusia dalam setiap harinya harus memakai atau menghabiskan makanan sebagai sumber energi, atau ketika manusia dalam setiap detiknya harus memakai oksigen sebagai salah satu kebutuhan pokok tubuh manusia. Hal ini menjadi sebuah kodrat bahwa manusia adalah mahluk konsumtif. Akan tetapi berbeda jika kata konsumtif telah ditambah dengan isme yang berarti sudah memasuki wilayah yang lebih substansial yaitu menjadi sama dengan kata Nasionalisme, Patriotisme, dan Kapitalisme. Isme disini berarti mempunyai makna pandangan hidup, falsafah, atau ideologi, sehingga konsumtif adalah menjadi pandangan hidup, ideologi, gaya hidup atau falsafah hidup yang difokuskan pada nilai-nilai untuk menghabiskan, dan memakai sesuatu. Falsafah yang tertanam akan mempengaruhi setiap pola piker, perkataan, hingga perbuatan, yang awalnya, dikontruksikan oleh pemangku kepentingan pasar, sehingga apapun dalam setiap kegiatanya berujung pada satu tujuan yaitu menghabiskan atau memakai.
Bulan Ramadhan yang seharusnya sebagai refleksi umat atas ketidakmerataan tingkat ekonomi manusia, sehingga dalam puasa kita diuji untuk ikut merasakan dunia lain yang sedang merasakan kelaparan, berubah menjadi ajang untuk meningkatkan pola konsumtivisme masyarakat, karena konstruksi pemangku kepentingan pasar. Sehingga puasa sesungguhnya berfungsi untuk menahan nafsu menjadi ajang untuk meningkatkan nafsu untuk membelanjakan kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya pemborosan. Hal ini wajar ketika esensi puasa tidak menjadi sebuah dasar atas ritual ini, sehingga ritual puasa kering akan pemaknaan. Artinya pemahaman puasa hanya ikut merasakan lapar saja, akan tetapi tidak sampai pada sebuah pemaknaan bahwa, nafsu untuk membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang tidak diperlukan, harus ditahan pula, walaupun godaan akan nafsu itu terus menerus dilakukan. Sehingga seolah-olah pemahaman yang berkembang bagi orang yang berpuasa saat ini adalah hanya ikut merasakan rasa lapar dan dahaganya kaum fakir dan miskin, tetapi tidak sampai pada usaha untuk merasakan kaum fakir dan miskin yang juga tidak pernah bisa merasakan nikmatnya belanja barang mewah, membeli pakaian bagus atau merasakan minuman sirup yang manis dan berkelas.
Dengan demikian pantaslah jika Ramadhan tahun ini atau tahun-tahun yang akan datang menjadi sebuah bulan yang tidak hanya diharapkan karena keagunganya, akan tetapi diharapkan juga karena potensi konsumtif masyarakatnya oleh orang-orang tertentu selaku pemangku kepentingan pasar. Sehingga jika orang biasanya berkata Marhaban Ya Ramadhan, saya lebih suka dan saya anggap relevan jika berkata Marhaban Ya Konsumtivisme, bukan karena Ramadhanya, tapi karena dampak dari mekanisme kepentingan pasar.
      “Kalau petani memaksakan menjual sapi, agaknya akan kesulitan karena sapi impor mempunyai harga yang lebih rendah. Oleh karena ini ada baiknya petani memanfaatkan harga pasar daging.” Demikianlah usulan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta. Astungkoro, kamis (5/5) yang dimuat dalam sebuah media massa jum’at lalu(6/5). Usulan ini terkait dengan menyiasati anjloknya harga jual sapi yang terjadi akhir-akhir ini. Kalau kita mencermati apa yang diusulkan oleh Astungkoro, terlepas dari serius atau tidaknya usulan yang diberikan, dan juga terlepas dari pendapat personalkah atau mewakili institusi yang dikepalainya, kita akan melihat bahwa kondisi harga sapi sekarang telah membuat beberapa kalangan mulai bingung dan frustasi. Sampai-sampai solusi yang diberikan pemerintah untuk peternak adalah menjual dalam bentuk daging. Jika usulan ini kita banyangkan mekanisme pelaksanaanya berarti petani secara swadaya menyembelih sapi mereka, dan kemudian menjual daging ke konsumen secara langsung atau ke tengkulak, sehingga petrenak akan memperoleh harga daging, bukan harga sapi.
     Sekilas logis usulan yang diberikan, akan tetapi ada beberapa hal yang dilupakan yang membuat usulan tersebut susah dalam pelaksaan bagi sebagian besar peternak kecil. Pertama: kearifan lokal terutama masyarakat jawa, memelihara sapi bukanlah sebagai mata pecahariaan utama, dan bahkan sebagian besar masyarakat menilai bahwa, sapi masih sebagai hewan klangenan. Orientasi berternak masih sebagai saving dana untuk dimanfaatkan pada masa-masa paceklik, atau dijual saat membutuhkan dana untuk kebutuhan insidental, seperti untuk membanyar uang masuk sekolah anak, untuk hajatan besar, dan lain sebagainya. Dampaknya adalah masyarakat tidak rutin menjual ternak sapi, hanya saat-saat tertentu, itupun skala penjualanya kecil. Sehingga tidak mungkin peternak kecil melakukan proses penyembelihan hingga sampai mencari pembeli, secara teknis sulit dan biaya operasionalnya mahal. Kedua: tidak mudah mencari pangsa pasar untuk menjual daging, apalagi dilakukan secara mandiri oleh para peternak, kalaupun bisa larinya akan ke tengkulak yang membeli lebih murah, atau jika dijual ke tangan jagal, jagal akan lebih memilih untuk membeli sapi bukan daging, ketiga: pertenak kecil bukanlah pedagang yang tahu medan, dan memiliki jaringan luas, keempat: belum adanya jaminan keamanan, dan dukungan dari pemerintah bagi peternak untuk menjual hasil ternak dalam bentuk daging. Beberapa kendala diatas menjadi point yang harus dipertimbangkan secara logis bagi keterlaksananya usulan pemerintah tersebut. 
         Logika yang digunakan dalam membuat usulan ini, selain menghasilkan usulan yang sulit direalisasikan juga memberi sinyal kepada masyarakat seolah-olah pemerintah sekarang hanya sebatas berteori, dan tidak meberi solusi yang riil, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Seharusnya pemerintah mengamalkan jargon “seng usul mikol” supaya masyarakat dan pemerintah bergotong-royong bersama-sama menjalankan usulan ini, selain itu mekanisme pelaksanaanya juga jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, sekarang ini terkesan pemerintah tidak mampu memberikan solusi yang terbaik, atas kondisi yang terus menghimpit peternak kecil. Pemerintah kehilangan kemampuannya sebagai pelindung masyarakat kecil, karena terkesan apa yang diusulkan biarlah masyarakat yang menjalankan, atau sekarang ini pemerintah sedang kehilangan jarak dengan rakyatnya sehingga tidak mampu lagi mengakomodasi keluhan masyarakat yang berdampak pada kebijakan yang sulit direlisasikan untuk rakyatnya. Masalah murahnya harga sapi, yang diwacanakan sebagai dampak impor sapi dari Australia, sehingga secara langsung dampaknya mengenai sektor riil, dalam hal ini adalah pertenak sebagai pelakunya adalah masalah yang bukan sepele. Hal demikian wajar mengingat Yogyakarta menjadi salah satu Provinsi yang jumlah peternak sapi cukup banyak, terutama Kabupaten Gunung Kidul, selain itu masyarakat peternak kecil harus menanggung banyak kerugian karena ongkos pembelian bibit sapi dan pemeliharaan tidak sesuai dengan harga jual. Belum lagi jika dihubungkan dengan system gadhoh yang trend sejak puluhan tahun bagi kalangan peternak kecil, hal ini sangat memukul perekonomian mereka, terutama bagi yang memihara. 
      Seharusnya sudah saatnya masyarakat harus kritis menanggapi isu ini, apakah kemudian isu ini murni akibat dari kebijakan impor sapi dari Australia atau ada indikasi-indikasi permainan ditingkat para pemilik modal besar, yang mewacanakan seolah-olah murahnya sapi lokal akibat serbuan sapi impor? Ataukah kemudian ada keterlibatan pemerintah dalam hal ini? Memang perlu peneyelidikan lebih lanjut terkait hal ini. Terlepas dari wacana tersebut, disini peran pemerintah sangat dibutuhkan, dan seharusnya segera bertindak, mengingat kondisi masyarakat terutama peternak kecil yang tidak mampu lagi mengandalkan hasil penjualan sapi sebagai peyokong perekonomian mereka. Sudah saatnya pemerintah ada digarda paling depan, sebagai aktor utama untuk melindungi masyarakat. Langkah riil dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi hal yang ditunggu-tunggu sebagai solusi atas kondisi ini, bukan hanya sekedar usulan dan teori yang sulit diterima dan implementasinya nol. *Pernah dimuat di kolom opini Kedaulatan Rakyat