Pendahuluan
Sejarah islam dalam konteks masyarakat Indonesia memiliki cerita panjang dan
berliku-liku. Masyarakat islam dalam sejarah kurun waktu abad 18 sampai awal
abad 20, sering dikisahkan sebagai masyarakat yang menderita, terjajah dan
termarjinalkan, sampai pada munculnya sejarah para tokoh-tokoh islam yang
mencoba membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Restrukturasi
pemahaman Islam dalam konteks masyarakat Indonesia yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh islam, dalam cacatan sejarah sesungguhnya belum banyak diungkap
lebih dalam dasar pemikiranya. Padahal peran-peran yang dilakukan adalah sebuah
upaya membangun masyarakat yang bebas melalui pembudayaan nilai-nilai agama.
Salah satu tokoh lokal dalam narasi sejarah nusantara adalah Mangkunegoro I
sebagai tokoh yang sukses mengejawantahkan nilai-nilai Islam ke dalam sebuah
ideologi pembebasan, perjuangan, dan pendidikan dalam rangka menghancurkan
tirani Belanda dan Pemerintahan Mataram Islam yang telah berpihak pada
kolonialisme. Adapun sedikit kisah dan dasar pemikiran Mangkunegoro I, agar
kita lebih mengenal dan memahami konteks Sosial-Budaya masa dakwah beliau, yang
dikutip dari Babat Tutur via Zainudin yang ditulis oleh KGPAA Mangkoenegoro
abad 18 M adalah sebagai berikut:
Sebagaimana kita ketahui bahwa datangnya kolonial Belanda pada abad 17 masehi
memulai ekspansinya terhadap kerajaan Mataram Islam. Belanda sebenarnya
bukanlah sebuah entitas yang kuat, akan tetapi cerdas dalam memainkan setiap
perannya, dalam rangka menggerogoti kekuasaan Mataram Islam. Belanda memainkan
politiknya yang dikenal dengan devide et Impera, karena Belanda menyadari
kekuatan militernya tidak akan mampu menyaingi Mataram. Sehingga pada akhirnya,
tahun 1757 dan 1813 terjadi perjanjian Giyanti dan muncullah dua kekuasaan
dibawah naungan Gurbenur jenderal Belanda, yaitu Hamengkubuwono (Yogyakata) dan
Pakubuwono (Surakarta). Kedua kerajaan telah menjadi sempat menjadi
representasi penjajah Belanda, Belanda melalui Hatings telah mempengaruhi
(menggunakan penafsiran yang sempit terhadap takdir dalam islam) dan merusak
idealism kebebasan, dan akal sehat , dua keraton Islam ini. Hartings pernah
berkata berkata: Sampun Wonten manah kang sakserik, lawan sampun andarbeni manah, malang
sarambut gawene, mapan wus pasthinipun, wong kumpeni darmi amalih, atas
karsaning Alloh, dipun sami runtut, kumpeni darmi kewala, srinarendra legeg tan
angling, kewran ajrih pineksa (Hartings: 84:301 via Zainudin).
Artinya: janganlah Sultan dan Sunan merasa kecewa, lagipula jangan terlintas
pikiran yang jelek sedikitpun juga, sebab sudah menjadi kehendak Alloh, Kumpeni
hanya bertindak membagi saja, hendaknya selalu rukun, kumpeni hanya melakukan
apa yang telah digariskan Alloh, raja susunan tampak membisu seribu basa, tak
sepatahpun tak terucap, hatinya menemui kesulitan, merasa ketakutan karena
dipaksa keadaan.
Periode Mangkunegoro 1
Adalah Mangkunegoro I (MN I) yang tumbuh dalam kondisi zaman yang dikuasai oleh
penguasa yang tunduk dengan Kolonial, setiap kebijakan Kraton yang tidak sesuai
dengan kehendak Belanda dilarang sehingga muncul masyarakat yang tertindas.
Kekuatan agama telah tidak mampu menjadi kekuatan pembebasan, bahkan menjadi
kekuatan pelanggeng status quo para penguasa tirani ini . MN I sebagai keluarga
Kraton yang masih memiliki kekuasaan dan hati nurani, mencoba menafsirkan agama
dengan kacamata yang sangat berbeda dengan masyarakat saat itu, yang sedang
dipengaruhi oleh raja yang terbelenggu oleh kolonial. MN I berpandangan agama
adalah kekuatan pembebasan dari kekuatan selain Alloh, hal ini mampu membawa MN
I dalam kondisi berselisih dengan dua raja. MN I memimpin berbagai perlawanan
dan harus menghadapi tiga pemerintahan sekaligus yaitu Belanda, Yogyakarta, dan
Surakarta. Keberanian beliau sering dikisahkan sebagai perlawanan Pangeran Slambernyowo
yang heroik.
Sawab aku wes anekad tur aderah, batur kabeh suntari, yen tresna maringwang,
insun tedha mring Alloh, barengo mati lan mami, saure kukila, sedoyo kang
prajurit. (Babat Tutur,Durmo, 14: 257 via Zainudin)
Artinya: aku telah bertekad bulat, tidak ada pilihan lain mati atau mukti,
kalian prajuritku semua, jika kalian cinta padaku, marilah kita bersama
bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan, andaikata aku gugur di
medan laga, mari kita gugur bersama, gugur di kaharibaan Alloh, Segenap
prajurit menyatakan kesanggupan. (Babat Tutur,Durmo, 14: 257 via Zainudin,
2000)
Kemudian selain itu pandangan akan dunia keislaman, menurut pandangan MN I
adalah sebuah hal yang harus diinternalisasikan nilai-nilainya, agar masyarakat
memahami tentang keislaman. Hal ini ditampilkan dengan sikap kompromis beliau
dalam memadukan antara Budaya Jawa dengan Islam, dalam konteks membendung arus
pemahaman Islam, dalam pengaruh dua penguasa tirani dibawah Belanda.
Pepanganan bangun enjing, enjinge mariem monggang, para kaum donga kabeh,
sasampuniro kondangan, mandhapi ringgit tiyang, pandene wong nonton agung,
pangeran anerat kuran. (Babat Tutur, Asmaradana, 3 123/235 via Zainudin, 2000)
Artinya: pagi harinya panganan telah disediakan, disertai penghormatan meriam
dan gamelan monggang, para kaum semuanya memanjatkan doa, di pendopo digelar
wayang orang, banyak sekali yang menyasikan, pangeran dipati berkenan menulis
Quran. (Babat Tutur, Asmaradana, 3 123/235 via Zainudin,2000)
Dalam kontek kehidupan ekonomi dan social abad 18 adalah masa sulit, Belanda
menguasai pantai utara jawa, sedangkan dua keraton Mataram harus membayar pajak
tinggi kepada Belanda. Alhasil rakyat yang menanggung beban itu. Kehidupan
wanitapun tidak pada kondisi yang beruntung. Wanita diperlakukan sebagai barang
atau being-in-itself, bukan being-for-itself,(Zainudin: 2000) telah jamak pula,
wanita dikenal: Lwirning tan sarju ring jagat tri gatinya, tar hana mamener
luahnya kawruhi, ika stri wwad bahnawi tar reju wilud, lunika padha tan wenang
tutukna .(pada hakikatnya apa yang tidak pantas didunian ini ada tiga macam,
ulahnya yang tak pantas, yaitu perempuan, akar, sungai, jalanya berkelok tidak
pantas kita tiru dan berhati-hati jika bergaul dengan mereka.(serat Nitri cotro
via Zainudin, 2000)
Pandangan MN I terhadap ekonomi, social, dan kesataraan gender, ditaafsirkan
berbeda yaitu dapat kita ketahui sebagai berikut:
Sarengipun tunggil sasi warsa, bandaran pasar legi, bangun dinan-dinan, nora
pinupun beya,cina mupu den mantuni, kinarya dana, sidhekah saben legi. (Babat
Tutur, Durmo, 26: 35 via Zainudin, 2000).
Artinya: bulan syawal pembangunan tiap-tiap hari dilakukan di Bandaran pasar
legi, lagi pula tiap jatuh pasaran legi, segala jenis pajak ditiadakan,
Cina-cina pun tidak dipungut biaya, pembebasan itu sebagai bentuk sedekah.
(Babat Tutur, Durmo, 26: 35 via Zainudin, 2000)
Beras lan uyah miwah kang beras ketan, mring kang bala waradin, serta bangun
pasar, pasar pon ing ngajengan, kretek dipun dandani, kakalen pasar, dinudhukan
waradin. (Babat Tutur, Durma: 16, via Zainudin, 2000)
Artinya: beras, garam, dan beras ketan diberikan kepada semua wadyabala secara
merata, kemudian membangun pasar pon didepan kraton dan memperbaiki jembatan,
sanitasi di pasarpun dibangun. (Babat Tutur, Durma: 16, via Zainudin, 2000)
Ambal ping tiga prajurit estri, kang mulat andongong, dene pawestri kebat
tingkahe, rampek bareng trengginas tarampil, gawok kang ninggali, pan kalah
wong kakung. (Babat Tutur,Mijil,14, Via Zainudin, 2000)
Artinya: tiga kali pangeran dipati memerintahkan prajurit wanita, melepaskan
tembakan salvo, mereka tampak handal,rampak, serasi, cekatan, dan menguasai,
yang menonton kesemuanya heran biarpun prajurit lelaki kalah juga. (Babat
Tutur,Mijil,14, Via Zainudin, 2000)
Sadina pangran diptya, appearing dhuwit marang kang abdi, peparing beras panda
agung, sedaya pan warat, serta ingkang abdi sadaya winuruk, dongane wong sholat
(Babat Tutur: Pangkur, 28, Via Zainudin 2000)
Artinya: sehari penuh pangeran dipati memberi uang kepada abdi juga diberikanya
mereka beras, secara merata, semua para abdi diberi pengajaran doa-doa sholat.
(Babat Tutur: Pangkur, 28, Via Zainudin 2000)
Potret kehidupan MN I, sebagai wakil dari pembaharu abad ke 18, sebagai
representasi perlawanan budaya lokal terhadap kolonialisme dan pemahaman agama
yang mandek akibat campur tangan Belanda. Kekusaan Mataram yang telah tunduk
kepada kolonial, rupanya merubah sikap dan mental raja yang mudah didekte dan
mengorbankan kepentingan rakyat jelata. Bahkan keberadaan agama diarahkan
sebagai pelanggeng dan alat mempertahankan kondisi yang menindas rakyat ini.
Bagaimanapun kalau kita mencoba menafsirkan pandanan MN I untuk melakukan
penafsiran ulang terhadap agamanya dan diejawantahkan dalam kehidupan sosialnya
adalah wujud kesadaran beliau dalam melihat situasi zamanya. dan kemudian agama
mampu dipadukan sebagai solusi atas masalah-masalah zamanya. Internalisasi
nilai-nilai keislaman dalam budaya jawa menjadi point penting untuk menggugah
kesadaran masyarakat untuk memahami dan menyadari kondisi zamanya. Kekuasaanpun
menjadi sebuah hal yang harus diingkari jika kekuasaan telah tidak memihak
kepada rakyat. Dua abad kemudian K.H Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah sebagai
representasi dari pemahaman nilai-nilai Islam dalam konteks lokal pada abad 20,
mencoba kembali mestukturasi pemahaman islam masyarakat.
Periode Akhmad Dahlan
Background kelahiran Muhammadiyah sebagai respon terhadap masyarakat yang bodoh
dan miskin akibat penjajahan kolonial, K.H Ahmad Dahlan founding father
Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga sosial seperti Penolong Kesengsaraan
Oemum (PKO), dan untuk pendidikan Muhammadiyah mendirikan sarana-sarana
pendidikan seperti Sekolah Rakyat. Dakwah semacam ini sebagai upaya memahamkan
Islam dalam konteks masyarakat yang urban , sehingga perlunya melihat kebutuhan
masyarakat dengan mempertimbangkan peta sosiologis dan psikologisnya.
Keberhasilan Ahmad Dahlan membaca peta medan dakwah ini, menjadikan dakwah
Islam beliau sukses dan berjalan damai dan toleran. Hal-hal inilah yang
menjadikan Muhammadiyah mampu menerapkan dakwah Islam yang kultural dengan
masyarakat perkotaan yang secara sosio-kultur berpandangan lebih praktis,
plural, dan rasional . Sehingga penanaman Islam melalui lembaga-lembaga
pendidikannya mampu diterima dan menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kemudian apa yang telah dilakukan K.H Ahmad Dahlan adalah sebuah proses
restrukturasi pemahaman masyarakat islam terutama pada konteks itu adalah
masyarakat sekitar keraton. Di zamannya beliau mencoba mengembalikan
nilai-nilai islam yang telah hilang akibat penjajahanya yang lama telah
dilakukan oleh Belanda. Inferioritas nampaknya telah mendarah daging didalam
pemahaman masyarakat korban penjajahan. Nilai-nilai agama yang lama dipahami
teryata telah tumpul dan tidak sesuai dengan kondisi pemeluknya. Akan tetapi
setelah munculnya Ahmad Dahlan dengan pemahaman islam barunya, nilai-nilai
islam sebagai sebuah kekuatan mulai di munculkan kembali, sebagai solusi atas
permasalahn-permasalahan yang ada.
Pembahasan
Setelah saya ngalor-ngidul, menarasikan sebagaian kejadian dan
pemikiran-pemikiran penting dalam sejarah Indonesia, saya mencoba menggenahkan
maksud penulisan saya ini supaya sedikit lebih bermakna. Awal sekali saya
mencoba masuk pada pemikiran lokal yang merujuk pada pemikiran Mangkunegoro I
(8 april 1752 M) yang mencoba merestrukturasi pemahaman islam dengan memasukan
islam dalam konteks budaya lokal dan dimaknai sebagai sebuah kekuatan
pembebasan. Sebagai sebuah analisis, agar kelihatan lebih ilmiah saya mengutip
tulisan Nurcholis Madjid, kaitanya peran islam dalam menanggapi budaya adat,
sebagai berikut:
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara islam dan budaya lokal di
akui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul-Fiqh, bahwa adat itu
dihukumkan (al-‘adatu muhkamat) atau yang lebih lengkapnya adat adalah syari’at
yang dihukumkan (al-‘adatu syari’ah muhkamat), artinya adat dan kebiasaan suatu
masyarakat yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam islam.
Berkenaan dengan itu, perlu lagi ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang
dapat, atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan
prinsip islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah makna
kehadiran islam di suatu tempat atau negeri. Karena itu setiap masyarakat islam
mempunyai masa jahiliyahnya sendiri yang sebanding dengan apa yang ada pada
bangsa arap.( Nurcholis Madjid. 1982)
Demikian apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid terkait hubungan budaya
lokal dengan islam. Nampak jelas pada Babat Tutur bahwa Mangkunegoro I
mempunyai konsep dakwah islam yang melampui konteks social-kultur
masyarakatnya. MN I menggunakan pendekatan yang arif dan bijaksana, serta mampu
memadukan semua aspek kultur lokal dengan agama islam. konsep al-‘adatu
syari’ah muhkamat dapat di terapkan dalam kehidupan social kemasyarakatan,
sehingga agama mendapat regulasi dari adat yang ada, begitu juga sebaliknya
adat mendapat pengakuan dari Islam, sehingga keduanya saling menguatkan.
Bagaimanapun tirani pemerintah lokal dan Belanda adalah representasi kekuatan
yang hanya diarahkan pada kepentingan masing-masing pasar. Belanda
berkepentingan memperkuat ekonominya sebagai salah satu syarat hidup di
masyarakat Eropa(untuk mempersiapkan era masyarakat industri), dan harus
bersaing dengan Inggris, Italia, Parancis, dan lainya. Proses ini dipandang
sebagai keharusan untuk memperbanyak sumber-sumber alam yang dikuasai di Dunia
Timur. Sehingga akibat pemikiran bangsa Belanda yang praktis ini, menghalalkan
menindas bangsa lain, yang menghalangi kepentinganya. Begitu juga dengan
kekuatan Kraton yang tetap berambisi mempertahankan status quo-nya. Tirani
inilah yang menggugah MN I dengan segala kemampuan fikir lokalnya, untuk
memperluas tafsir agama menjadi ajaran pembebasan. Kemudian pembebasan
ditafsirkan lagi dalam sebuah kerangka fikir yang humanis dan lebih komplek,
sehingga pembebasan bukanlah melulu dalam hal fisik. Akan tetapi kekuatan spiritual,
ekonomi, skill, dan budaya, yang diwujudkan dalam bentuk pendidikan.
Kemudian saya membahas tentang Restrukturasi pemahaman Islam yang dilakukan
oleh K.H Ahmad Dahlan, di tengah-tengah zaman modern dan barat telah mapan
dengan julukan masyarakat industrinya, sehingga budaya pragmatism sudah masuk
didalamnya, hal ini ditunjukan dengan penguasaan kolonial didaerah jajahanya.
Selain itu penindasan dan penghilangan kemanusiaan dilancarkan demi memenuhi
kebutuhan industrinya.Apa yang telah dilakukan Ahmad Dahlan mencoba membangun
kembali fungsi agama sebagai sebuah ideologi pergerakan untuk mengarah ke
kehidupan yang lebih baik.
Tentu saja apa yang telah dilakukan baik Ahmad Dahlan atau Mangkunegoro I,
adalah kesadaran pribadi masing-masing untuk bergerak pada sebuah kesadaran
kolektif yang mencoba menstrukturkan kembali budaya islam sehingga mampu
menjadi sebuah entitas atas solusi problem umat. Lalu bagaimana dengan konteks
sekarang?
Kesimpulan
Restrukturasi pemahaman islam bagi masyarakat bangsa Indonesi adalah point
penting yang dilancarkan oleh kedua tokoh guna menanggapi kondisi zamanya yang
tidak mendukung dan cenderung pada menghilangkan kebebasan atau hak hidup
manusia. Point penting dalam proses ini adalah memahami kondisi social
masyarakat dan menempatkan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan sebagai
solusi atas permasalahan yang ada.
1. Nicholas Hartingh (1754), adalah seorang intelektual sekelas C. Snouck
Hourgronje yang ditugasi pemerintah Belanda untuk meneliti sosio-kultur
masyarakat Aceh. N.Hatingh juga menjabat sebagai Gurbenur direktur jawa pantai
utara-timur yang terkenal cerdas karena menguasasi bahasa dan budaya jawa dan
sebagai intelektual yang berhasil memecah kerajaan Mataram, menjadi kesultanan
Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.
2. Peristiwa rusaknya pemerintahan mataram juga digambarkan oleh pujangga kita
Ranggawasito (1802-1874), yang menyebutkan bahwa “ sekarang martabat negara,
tampak telah sunyi seyap, sebab rusak pelaksanaan peraturanya, karena tanpa
teladan, orang meninggalkan kesopanan, cendikiawan dan para ahli hanyut ikut
arus…..(dikutip dari Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat. Tiara wacana, 2006,
Yogyakarta.)
3. Belanda mengangakat pangeran Pakubuwono III, dengan gelar Kajeng susuhan
pakubuwono senopati ngaloga Abdurrahman sayidin panatagomo. Politik ini
dilancarkan guna melanggengkan kepentingan belanda atas Mataram.zainuddin
fananie.2000, Restrukturasasi Budaya Jawa : perspektif KGPAA Mangkunegoro I
Muhammadiyah University Press.
4. Mengingat Muhammadiyah sendiri didirikan di pusat kraton Yogyakarta
sekaligus pusat pemerintahan Belanda di Yogyakarta. sehingga paling tidak
masyarakat telah bersentuhan dengan budaya belanda yang lebih maju.selain itu
melihat kenyataan perkembangan Muhammadiyah yang lebih ke masyarakat perkotaan.
5. Dalam sejarah kita mengetahui bahwa muhammadiyah tumbuh dilingkungan keraton
yang feodalistik dan kuat akan Budaya jawanya. Akan tetapi sejak abad ke 19
belanda telah banyak membangun berbagai instrument guna menguatkan cengkraman
politiknya, dengan membangun berbagai lembaga pendidikan (dalam sejarah dikenal
politik balas budi). Secara sosiologis hal ini mempunyai dampak pada
masyarakat. Masyarakat secara tidak langsung telah bersinggungan dengan cirri
budaya modern atau Urban yang dikenalkan oleh pemerintah Belanda.
Daftar Pustaka:
Fananie M. Zainudin, 2000 Restrukturasasi Budaya Jawa : perspektif KGPAA
Mangkunegoro I.
Reorientasi Wawasan Keislaman. Yogyakarta: LPPI-UMY.
Madjid Nurcholis. 1982, Islam dan Budaya Lokal: masalah Akulturasi Timbal-Balik
dalam Islam Doktrin dan Peradaban. Paramadina, Jakarta.
Kuntowijoyo,2006. Fungsi Agama dalam Kehidupan Modern dalam Budaya dan
Masyarakat. Tiara wacana.Yogyakarta.