Dua hari pertama di Kota Lhokseumawe menjadi hari-hari yang panjang dan penting. Menurut informasi dari para PM sebelumnya yang lebih dahulu bertugas disini, mereka telah membangun jaringan dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak baik swasta ataupun pemerintah untuk mendukung suksesnya program-program mereka. Dalam dua hari inilah kita ingin menyambung kembali ikatan kerjasama yang dulu sempat terbangun, tentu dengan tujuan positif yaitu untuk bersama-sama mengajak bergotong-royong bergerak untuk pendidikan.
Aceh Utara adalah kota istimewa karena di sinilah banyak pemuda mempunyai semangat untuk bergerak dan memilih terlibat dalam menyelesaikan permasalahan dunia pendidikan. Kenyataan ini jauh dari pandangan awal saya. Dahulu saya berfikiran bahwa Aceh utara dan Lhokseumawe hanyalah daerah yang berkembang karena adanya sejumlah industri raksasa transnasional maupun lokal sebut saja Exxon mobile, PT ARUN, dan Pupuk Iskandar Muda. Selain itu, kota ini sempat “mati” karena menjadi Daerah Operasional Militer atau DOM. Seperti halnya dikisahankan oleh orang-orang di luar sana tentang kondisi Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe yang masih banyak konflik, akan tetapi kini pandangan saya mulai berubah setelah melihat sendiri Aceh adalah tempatnya para pemuda yang mempunyai gairah untuk berbuat banyak.
Pernyataan saya ini tidak berlebihan, karena terbukti saya menyaksikan banyak hal yang telah diperbuat oleh sejumlah remaja ini. Mereka adalah pemuda-pemuda yang mengisi kekosongan yang tengah dihadapi saat ini, karena minimnya turun tangan. Mereka diantaranya adalah Aceh Menyala, Tanda Seru, Gerakan Pengajar Perubahan, Sekolah Demokrasi, Akademi berbagi Lhokseumawe dan Atjeh Analysis Club. Semua memang bergerak dalam koridor masing-masing, akan tetapi menuju satu impian yaitu mendambakan Aceh yang maju melalui pendidikan dan peningkatan SDM.
Beberapa perhimpunan anak-anak muda ini dapat menjadi cerminan atas nilai gotong royong. Sedikit mengisahkan mereka, yang pertama adalah Aceh Menyala. Gerakan yang dahulu diinisiasi oleh para PM angkatan dua. Awalnya mereka adalah anak-anak Aceh Utara dari beberapa universitas di Lhokseumawe. Karena dorongan dan difasilitasi para PM, mereka bisa berkumpul dan membentuk sebuah perkumpulan yang kemudian disebut-sebut sebagai gerakan literasi Indonesia Mengajar. Tentang bagaimana proses perkumpulan mereka, saya menyakini bahwa ada sebuah kesamaan frequensi diantara mereka. Tentu ini berbicara masalah kesamaan semangat dan kesepemahaman, sehingga mempermudah proses awal hingga akhirnya terbentuk sebuah ikatan. Aceh Menyala ini istimewa, karena perkumpulan ini sempat pingsan pasca ditinggal oleh PM, karena kondisi keamanan saat itu yang memaksa para PM pindah lokasi. Akan tetapi karena semangat para personelnya, mereka kemudian mampu sadar dari kepingsanan dan sempat berusaha merangkak untuk maju. Kini Aceh Menyala kembali ternyalakan dan sedikit-demi sedikit menuju mulai mengembangkan program-program mereka.
Cerita selanjutnya adalah tentang Komunitas Tanda Seru. Komunitas ini seperti lembaga training lainnya. Komunitas ini profit oriented, mereka banyak mentraining sejumlah kariawan, guru, pelajar dan lainnnya. Perbedaan dengan komunitas lainnya adalah mereka mempunyai sayap gerakan yang mereka beri nama Geraka Pengajar Perubahan atau GPP. Mereka ini dipelopori oleh beberapa orang pemuda yang peduli terhadap kualitas pendidikan di Aceh Utara. GPP cukup agresif, mereka pergi ke tempat-tempat terpencil untuk mencari guru yang berprestasi dan mempublikasikannya untuk tujuan positif, selain itu mereka konsen pada masalah peningkatan SDM guru yang bermutu melalui training.
Sambung ke Sekolah Demokrasi, dibawah lembaga Sepakat yang merekrut sejumlah pemuda Aceh untuk berfikir tentang masalah-masalah sosial dan politik. Sekolah ini merupakan bantuan dari salah satu lembaga di Belanda pasca konflik dan bencana, kemudian jadilah sekolah demokrasi. Kerja mereka awalnya adalah semacam peningkatan kesadaran dan kemampuan analitis peserta training, dengan pendekatan diskusi, belajar, dan menulis. Kebanyakan peserta training selama setahun itu adalah dari para penggiat organisasi kemahasiswaan dan umum seperti HMI, LDK, partai politik, NGO dan lain sebagainya yang ada di sekitar Lhokseumawe.
Akademi Berbagi Lhokseumawe atau Akber. Sebuah perkumpulan tempat berbagi. Akber menjadi semacam ruang dua pihak antara pembagi dan para penerima. Para pembagi dengan suka rela mengutarakan idea atau keahliannya dalam berbagai bidang untuk ditularkan. Sedangkan pihak penerima, mereka haus akan pengetahuan dan sukarela untuk mau mendengarkan orang lain berbicara. Dari sinilah muncul saling menghargai untuk mendengar dan didengar antara kedua belah pihak. Sebuah komitmen yang dipegang bersama adalah menjauhkan dari pembahasan yang berbau politik. Dari sinilah akber menjadi ruang bebas kepentingan dan tak mengenal sekat golongan. Ruang Akber juga menyatukan semua pihak untuk mempunyai satu semangat saling berbagi dan menghargai.
Terakhir adalah Atjeh Analysis Club, yaitu sebuah kumpulan yang mendiskusikan berbagai permasalahan mulai dari politik, media, ekonomi dan lain-lainnya yang hangat diperbincangkan. Kumpulan ini menghadirkan para analysis dan ahli untuk membedah sebuah topic dan kemudian didiskusikan.
Semua kumpulan yang saya temui di Lhokseumawe dan Aceh Utara ini, saya sebut mereka sebagai “Para Pengisi Kekosongan”. Dari kumpulan-kumpulan inilah suatu saat nanti akan lahir para generasi Aceh yang lebih baik. Para pengisi kekosongan inilah harapannya menjadi benteng pertahanan bagi kemajuan peradaban bumi Nanggroe pasca dilanda konflik dan bencana. Amin..
Aceh Utara adalah kota istimewa karena di sinilah banyak pemuda mempunyai semangat untuk bergerak dan memilih terlibat dalam menyelesaikan permasalahan dunia pendidikan. Kenyataan ini jauh dari pandangan awal saya. Dahulu saya berfikiran bahwa Aceh utara dan Lhokseumawe hanyalah daerah yang berkembang karena adanya sejumlah industri raksasa transnasional maupun lokal sebut saja Exxon mobile, PT ARUN, dan Pupuk Iskandar Muda. Selain itu, kota ini sempat “mati” karena menjadi Daerah Operasional Militer atau DOM. Seperti halnya dikisahankan oleh orang-orang di luar sana tentang kondisi Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe yang masih banyak konflik, akan tetapi kini pandangan saya mulai berubah setelah melihat sendiri Aceh adalah tempatnya para pemuda yang mempunyai gairah untuk berbuat banyak.
Pernyataan saya ini tidak berlebihan, karena terbukti saya menyaksikan banyak hal yang telah diperbuat oleh sejumlah remaja ini. Mereka adalah pemuda-pemuda yang mengisi kekosongan yang tengah dihadapi saat ini, karena minimnya turun tangan. Mereka diantaranya adalah Aceh Menyala, Tanda Seru, Gerakan Pengajar Perubahan, Sekolah Demokrasi, Akademi berbagi Lhokseumawe dan Atjeh Analysis Club. Semua memang bergerak dalam koridor masing-masing, akan tetapi menuju satu impian yaitu mendambakan Aceh yang maju melalui pendidikan dan peningkatan SDM.
Beberapa perhimpunan anak-anak muda ini dapat menjadi cerminan atas nilai gotong royong. Sedikit mengisahkan mereka, yang pertama adalah Aceh Menyala. Gerakan yang dahulu diinisiasi oleh para PM angkatan dua. Awalnya mereka adalah anak-anak Aceh Utara dari beberapa universitas di Lhokseumawe. Karena dorongan dan difasilitasi para PM, mereka bisa berkumpul dan membentuk sebuah perkumpulan yang kemudian disebut-sebut sebagai gerakan literasi Indonesia Mengajar. Tentang bagaimana proses perkumpulan mereka, saya menyakini bahwa ada sebuah kesamaan frequensi diantara mereka. Tentu ini berbicara masalah kesamaan semangat dan kesepemahaman, sehingga mempermudah proses awal hingga akhirnya terbentuk sebuah ikatan. Aceh Menyala ini istimewa, karena perkumpulan ini sempat pingsan pasca ditinggal oleh PM, karena kondisi keamanan saat itu yang memaksa para PM pindah lokasi. Akan tetapi karena semangat para personelnya, mereka kemudian mampu sadar dari kepingsanan dan sempat berusaha merangkak untuk maju. Kini Aceh Menyala kembali ternyalakan dan sedikit-demi sedikit menuju mulai mengembangkan program-program mereka.
Cerita selanjutnya adalah tentang Komunitas Tanda Seru. Komunitas ini seperti lembaga training lainnya. Komunitas ini profit oriented, mereka banyak mentraining sejumlah kariawan, guru, pelajar dan lainnnya. Perbedaan dengan komunitas lainnya adalah mereka mempunyai sayap gerakan yang mereka beri nama Geraka Pengajar Perubahan atau GPP. Mereka ini dipelopori oleh beberapa orang pemuda yang peduli terhadap kualitas pendidikan di Aceh Utara. GPP cukup agresif, mereka pergi ke tempat-tempat terpencil untuk mencari guru yang berprestasi dan mempublikasikannya untuk tujuan positif, selain itu mereka konsen pada masalah peningkatan SDM guru yang bermutu melalui training.
Sambung ke Sekolah Demokrasi, dibawah lembaga Sepakat yang merekrut sejumlah pemuda Aceh untuk berfikir tentang masalah-masalah sosial dan politik. Sekolah ini merupakan bantuan dari salah satu lembaga di Belanda pasca konflik dan bencana, kemudian jadilah sekolah demokrasi. Kerja mereka awalnya adalah semacam peningkatan kesadaran dan kemampuan analitis peserta training, dengan pendekatan diskusi, belajar, dan menulis. Kebanyakan peserta training selama setahun itu adalah dari para penggiat organisasi kemahasiswaan dan umum seperti HMI, LDK, partai politik, NGO dan lain sebagainya yang ada di sekitar Lhokseumawe.
Akademi Berbagi Lhokseumawe atau Akber. Sebuah perkumpulan tempat berbagi. Akber menjadi semacam ruang dua pihak antara pembagi dan para penerima. Para pembagi dengan suka rela mengutarakan idea atau keahliannya dalam berbagai bidang untuk ditularkan. Sedangkan pihak penerima, mereka haus akan pengetahuan dan sukarela untuk mau mendengarkan orang lain berbicara. Dari sinilah muncul saling menghargai untuk mendengar dan didengar antara kedua belah pihak. Sebuah komitmen yang dipegang bersama adalah menjauhkan dari pembahasan yang berbau politik. Dari sinilah akber menjadi ruang bebas kepentingan dan tak mengenal sekat golongan. Ruang Akber juga menyatukan semua pihak untuk mempunyai satu semangat saling berbagi dan menghargai.
Terakhir adalah Atjeh Analysis Club, yaitu sebuah kumpulan yang mendiskusikan berbagai permasalahan mulai dari politik, media, ekonomi dan lain-lainnya yang hangat diperbincangkan. Kumpulan ini menghadirkan para analysis dan ahli untuk membedah sebuah topic dan kemudian didiskusikan.
Semua kumpulan yang saya temui di Lhokseumawe dan Aceh Utara ini, saya sebut mereka sebagai “Para Pengisi Kekosongan”. Dari kumpulan-kumpulan inilah suatu saat nanti akan lahir para generasi Aceh yang lebih baik. Para pengisi kekosongan inilah harapannya menjadi benteng pertahanan bagi kemajuan peradaban bumi Nanggroe pasca dilanda konflik dan bencana. Amin..