Wanita Nias sedang berbondong pergi ke Gereja |
Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis
kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya
yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu
(Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada
norma tradisional dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya diharapkan
oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant,
asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan
ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk
mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak
sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997
dalam Baron&Byrne, 1979). Pengertian Gender dari kamus John Echol adalah
perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai
dan tingkah laku. Pembahasan Gender menurut Mufidah secara normative pada:
1. Marginalisasi Perempuan
Anggapan bahwa perempuan dalam masyarakat konvensional kerap
menjadi obyek penindasan dan terkalahkan dalam hal apapun termasuk peran dalam
keluarga.
2. Penempatan perempuan pada subordinat
Anggapan wanita hanya sebagai pelengkap kehidupan kaum
laki-laki dalam istilah jawa wanita sebagai konco wingking.
3. Stereotype Perempuan
Pelabelan atau sterootype perempuan dalam kontruksi sosial
masyakat tertentu menjadi image wanita menjadi buruk. Dalam positivism
yang diletakan oleh Hegel yang membuat stereotype aktif-pasiv, ia bersikukuh
bahwa di dunia ini ada obyek aktif dan pasif, laki-laki adalah aktif sedangkan
wanita adalah pasif.
4. Kekerasan(Violence)
Wanita dibagian wilayah dunia selalu dikaitkan dengan obyek
kekerasan, karena secara kodrati adalah makhluk lemah yang harus dilindungi.
5. Beban Kerja yang tidak Proposional.
Anggapan wanita hanya sebagai pendamping dan pelengkap
menjadikan wanita kerap dijadikan obyek eksploitasi, terutama didalam lapangan
pekerjaan.
Pemahaman dan kontruksi pikiran yang menjadi dasar para kaum
feminis kerap menuntut ulang dalam setiap metode penelitian sosial. Penelitian
sosial harus mempertimbangkan peran wanita dan sadar akan pengaruh wanita,
sehingga penelitian dinilai akan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Begitu juga apa yang telah mempengaruhi para peneliti dari kalangan Arkeolog,
Arkeologi harus mempertimbangkan peran kaum wanita masa lalu dalam dengan
melihat kemungkinan-kemungkinan yang mucul dalam obyek kajiannya.
Penerapan dalam Ilmu Arkeologi.
Banyak penelitian dalam Arkeologi yang menggunakan
pendekatan Gender, penelitian-penelitian ini kebanyakan berangkat dari asumsi
marginalisasi peran wanita dalam kasus-kasus penafsiran obyek kajian arkeologi.
Seperti yang dilakukan oleh Karlotte Brysting Damm ditulis dijurnal yang
berjudul Time, Gender, and Produktion: A critical Evalution of Archaelogical
Time Concepts, yang mencoba mempertanyakan kembali kefalidan penafsiran
kaitannya konsep waktu dalam Arkeologi yang mencoba mengevaluasi pandangan atau
konsep waktu yang dipahami oleh peneliti barat yang menurutnya kurang tepat
saat digunakan dalam menafsirkan konstruksi kebudayaan masyarakat masa lampau.
Damm membandingkan dengan konsep waktu menurut orang Papua yang memiliki
perbedaan dengan konsep barat dan kemudian dikaitkan dengan produktivitas dan
peran kaum wanita dalam membuat gerabah
dengan melihat akumulasi kereweng dalam sebuah situs. Selain
itu dalam penelitian Irigaray, dan Cixous, 1985 yang memunculkan istilah Phallocentrism
dalam setiap penafsiran yang meniadakan peran wanita dalam setiap sejarah
peradaban, mencoba berangkat dari kritik penelitian yang telah lalu dan secara
kualitatif kembali mengguakan pendekatan Gender, atau penelitian Mary Baker
dalam jurnal Gender: Enabling Perspektive or Politically Correct Term? An
Analysis of How Gender and Material Culture are Viemed by 1990s Academia,
yang berpendapat bahwa harus ada sebuah pemikiran yang melawan dominasi akibat
dikotomi dalam setiap penelitian arkeologi, dan masih banyak peneliti-peneliti
yang lain yang mengguakan pendekatan ini, termasuk penelitian di Indonesia
terutama akhir-akhir ini yang banyak mengungkap peran wanita masa klasik.
Berangkat dari kritik terhadap asumsi-asumsi terhadap
kefalidan penelitian arkeolog,dan sampai pada proses penafsiran data yang
sangat melihat atau mempertimbangkan peran wanita, seperti contohnya melihat
kembali peran wanita dalam masyarakat prasejarah yang selalu diasumsikan
sebagai pelaku food Gathering bukan hunter atau pemburu, sehingga anggapan ini
menimbulkan kesan peran wanita yang tidak ada dalam konstruksi social,
marginalisasi dan lain sebagainya, akan mempengaruhi pada sebuah kesimpulan
akhir dalam penelitian.
Kritik Analisis Gender
Sebuah Kritik dari penerapan berbagai penelitian Gender
didunia Arkeologi yang dilakukan Alison Wylie dapat diambil kesimpulan bahwa
penelitian arkeologi menggunakan pendekatan ini diawali oleh kritikan dan
ketidak kepercayaan akan penafsiran yang dianggap menghilangkan peran-peran
wanita. Bahkan menurutnya dalam stadium tertentu akhir-akhir ini penelitian
berbasis Gender telah terintervensi oleh kepentingan politik yang cenderung
pragmatis. Alasanya adalah seringkali penelitian ini tidak obyektif dan penuh
kepentingan, selain itu apa yang disuarakan tidak atau sulit dalam
pengaplikasianya di lapangan, melanggaran Norma-norma penelitian, dan selain
itu dalam penerapanya sering kali melupakan konteks penelitian yang
digeneralkan dalam sebuah teori yang mengikuti faham feminish . Kemudian dia
mengutip pendapat yang ada dalam jurnal metodelogi dan teori arkeologi bahwa
penelitian arkeologi dengan gender seringkali tidak sesuai dengan teori gender
dalam disiplin ilmu gender. Selanjutnya dia mengusulkan bahwa Gender dapat
berkontribusi dalam setiap penelitian Arkeologi dengan ketentuan: 1. kejujuran
peneliti dalam menafsirkan penemuan Arkeology, 2. Penerapan teori gender harus
sesuai dengan disiplin ilmu Gender atau Gender yang Normative (yaitu semata
untuk mengungkap marjinalisasi peran wanita dalam obyek penelitian).3. Harus
lebih melihat konteks.
Kesimpulan
Meskipun dalam perannya pendekat Gender dalam dunia
Arkeologi menuai berbagai kritikan dan atau dukungan, penelitian Gender dalam arkeologi
akan lebih obyektif jika tanpa adanya intervensi, dan tentu akan tetap
bermanfaat untuk menyumbangkan data dalam disiplin ilmu arkeologi.
Daftar
Pustaka:
Mufida,
2003: Paradigma Gender, Banyu Media Publishing. Jawa Timur
Mary
Baker: Enabling Perspektive or Politically Correct Term? An Analysis of How
Gender and Material Culture are Viemed by 1990s Academia. Jurnal Gender.
Karlotte
Brysting Damm: Time, Gender, and Produktion: A critical Evalution of
Archaelogical Time Concepts. Tanpa tahun.
Alison
Wylie, 2007: Doing Archaelogy as s Feminist: Introduction. Jurnal arkeology
Methode and Theory.
0 komentar:
Posting Komentar