Polonia
3 November 2012, udara segar menyambut kedatangan kami, dan nampak di aspal
bandara bekas kubangan air tanda Kota Medan baru saja mendapatkan berkah hujan.
Suasana pagi yang masih sepi membuat udara kota masih segar dan belum
terkontaminasi asap kendaraan. Setelah beres mengambil carier dan ransel,
kami-pun bergegas menuju terminal bandara. Kebetulan disalah satu kios di
bandara rumah makan padang sudah membukakan pintunya lebar-lebar, pertanda siap
melayani pengunjung. Mungkin saat itulah pikiran kita sama yaitu, ingin segera
mengisi perut yang memang sejak pukul 01.00 WIB dini hari perut belum optimal
terisi.
Makanan
padang adalah makanan universal bagi kami. Artinya makanan padang menjadi
pilihan utama, saat kita buta arah ketika memilih makanan. Kerap saat kita
lapar dikota orang, kita tidak usah berfikir panjang soal kecocokan rasa atau
kehalalan makanan, ya tentu saja karena masakan padang secara rasa dan
kehalalan insyaAlloh terjamin.Tentu ini berlaku bagi kami yang awam masalah
kuliner. Dugaan kami tidak terlampau jauh, dan memang masakan Padang hampir
sama rasanya dimana-mana, yang membedakan hanyalah soal harga yang sesuai dengan
konteks daerahnya.
Jam
menunjukan pukul 08.30 waktu Medan. Kami-pun ber-tujuh (ditambah satu orang
dari team operasional) seusai menyantap makanan, seperti halnya kawan-kawan PM
lain yang sudah mulai memamerkan foto-foto mereka yang terpampang di facebook atau Twiter. kami-pun
tak mau kalah untuk segera mencari space yang strategis untuk sekedar berfoto
dan memamerannya ke hadapan publik pengguna media sosial. Supaya publik
memahami arti foto kita, kita-pun mengambil latar bandara polonia, sehingga setidaknya
foto kami banyak bercerita tentang posisi kami.
Setelah
narsis di depan kamera, kami kembali didepan rumah makan. Seperti halnya
kebanyakan kota-kota di Indonesia, kami-pun masih menyaksikan pemandangan yang
cukup membuat kami miris. Tepat disamping kami, anak-anak yang kira-kira masih
sekolah dasar harus bekerja menyemir sepatu dan sambil menikmati rokok.
Pemandangan ini membuat kami berfikir bahwa, pada kondisi tertentu anak-anak
Indonesia harus berjuang untuk hidup dan mengorbankan hak-hak mereka yaitu
menikmati pendidikan dan kasih sayang. Tak lama kemudian, sekitar pukul 09.00,
dua orang Medan membawa dua mobil menyapa kami. Kami-pun kemudian paham bahwa, team akomodasi sudah
mempersiapkan segalanya, termasuk akomodasi kami menuju ke Aceh Utara. Kami-pun
segera menuju mobil, meninggalkan pemandangan yang cukup umum tadi.
Kota
Medan menjadi awal perjalanan kami di Pulau Sumatra ini. Pulau yang kaya, dan
mempunyai sejarah panjang mulai dari masa klasik kerajaan Sriwijaya dan
Samudera Pasai, tempat Ibukota Indonesia saat darurat, dan menjadi tempat
lahirnya beberapa tokoh-tokoh nasional seperti Tan Malaka dan tokoh ulama
kharismatik masa Orde Baru yaitu HAMKA. bagi kami Sumatera adalah pulau
istimewa. Terlebih kami akan menuju ke Bumi Serambi Mekah, tempat yang masyhur
dengan berbagai lika-liku sejarahnya yang panjang, dan tempat yang bagi Bangsa
Indonesia adalah tempat istimewa.
Saat
perjalanan itulah, masing-masing pikiran kami melayang. Saya sendiri memikirkan
dan menerka-nerka tentang kondisi masyarakat disana. Sesaat pikiran melayang ke
hal lain, tentang kapasitas diri, mampukah merubah entitas perilaku
ditengah-tengah kondisi masyarakat yang bisa saja diluar ekspektasi dan
seterusnya pikiranku
melayang. Sekarang merambah ke
kondisi masyarakat di penempatan yang katanya pelosok itu. Cukup capek
terus-menerus saya membanyangkan soal Aceh. Pikiran-pikiran yang kadang tak
terkendalikan sempat membuat saya tak sempat istirahat selama perjalanan.
Masjid Tua di Sumatera Utara |
Deretan Tulisan Asmaul Husna di Aceh Timur |
Dua
jam kemudian tibalah kami disebuah kota yang cukup rame, yaitu kota
Lhouksuemawe. Masjid Islamic Center yang megah menyambut kami dijantung kota
itu. Kota kedua terbesar di Provinsi Aceh ini adalah tempatnya pabrik pupuk
terbesar di Asia tenggara Iskandar Muda yang dahulu sering muncul didalam
pelajaran sekolah dasar. Terlihat disempanjang jalan adalah warung kopi, Aceh
adalah surganya warung kopi atau cafe. Sebelum cafe-cafe ala kota menjamur,
Aceh telah mengenal warung kopi, tempat berkumpul dan nongkrong bagi semua
kalangan dan umur. Kami-pun tak mau melewatkan kesempatan ini, setelah menaruh
barang-barang diwisma, sebuah warung kopi yang isunya elite di Lhouksuemawe kami
jajal. Dhapu kana kupi, yang kurang lebih artinya “ada kopi di dapur” adalah nama cafe ini.
Cafe ini terletak dipinggir jalan utama dan tepat di depan Islamic Center.
Cafe ini dilengkapi beberapa LCD
dan proyektor tempat masyarakat menonton pertandingan
sepak bola. Dan terlihat didinding terpampang foto-foto yang saya tidak tau
siapa itu dan lambang Gerakan Pemuda Pancasila juga dilukiskan ditembok itu.
Suasana Cafe di Lhokseumawe |
Cerita
hari pertama di Aceh ini diakhiri di cafe ini. Dan akhirnya memutuskan bahwa
cafe ini menjadi markas sementara
kami saat berkumpul di
Lhouksuemawe.
0 komentar:
Posting Komentar