Tampilkan postingan dengan label Cerita Pengajar Muda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Pengajar Muda. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Oktober 2013

Jayus

Jayus

Jayus

Jayus

Jayus

Jayus

Jayus dkk

Jayus dkk
Jayus (3/4 Tahun) sebuah nama sebenarnya. namanya bukan terinspirasi dari sebuah tokoh yang muncul di media massa beberapa waktu lalu karena ulahnya memakan uang rakyat lewat jalan korupsi. Gayus Tambunan tenar belakangan sesudah artis cilik Araselo ini lahir. Bukan juga nama Jayus terinspirasi dari seorang yang bernama Jayus yang tenar karena tragedi Talangsari tahun 1989, biar tau tragedinya cek link ini.
Karena di Araselo listrik aja baru masuk tiga bulan yang lalu, pasti soal tragedi ini pasti ortu Jayus gak ngerti.
Atau jangan-jangan terinspirasi dari bahasa slang yang populer tahun 90-an, cek biar tau cek, silahkan  
setelah di konfirmasi ayah dan ibunya juga bukan dari kata itu. lalu apa, ibunya menjelaskan dengan penuh makna akan cinta..wuih, jadi alkisah nama ayah Jayus adalah Jamil dan Ibu bernama Yusmiyah. Nah, biar cinta pasangan ini abadi maka diambillah kata depan Ayah "Ja" dan kata depan nama ibu "Yus" jadi rumusnya begini: (Jamil-Mil)+(Yusmiyah-miyah)= Jasus, plok..plok...wuih cerdas ya ayah ibu Jayuz..hehe
Jayus terlahir istimewa seperti kawan-kawan lainnya, kenapa? ceritanya begini: pertama wajahnya photogenic banget, liat aja hasil jepretan saya saat mendokumentasikan wajah-wajah lucu anak Taman kanak-kanak, atau saat kawan-kawan dari Banda Aceh datang, Jayus langsung jadi obyek jepretan kamera. wah, calon model ni Jayus.
Kedua, Jayus ini anak cerdar, banyangkan saja anak ini punya aja alasan untuk tidak masuk kelas. memang Jayus selalu berangkat sekolah tapi habis itu gak mau masuk, kalau ditanya ada aja jawabannya mulai dari Ibu guru gak masuk, padahal jelas-jelas ada guru, pernah juga alasan gak bawa buku, padahal TK kan gak perlu bawa buku, atau adalagi, alasannya gak bawa nasi. ampyunn..cerdaskan alasannya..
Jayus juga udah pandai berbahasa Indonesia, meskipun masih TK dia selalu berceloteh pake bahasa Indonesia. "minta uang mak" atau "belajar pak".
Jayus selalu minta uang untuk jajan. anak ini tidak tak henti-hentinya selalu minta uang, maklum aja gaulnya di kedai, jadi kalau duduk sama Jayus pasti terdengar suara "nebi peng mak" atau "Yah, nebi peng" (emak beri uang). sampai-sampai ibunya pusing.
Jayus anak yang gak pernah takut, dia tergolong bandel dan tahan banting. seringkali tiba-tiba mukul teman yang lebih besar tanpa alasan. tapi lucu, karena habis mukul langsung ngekek sendiri. kalau berantem, gak tanggung-tanggung sama anak yang lebih besar dan jarang nangis.
pokoknya Jayus ini banyak tingkahnya, aku selalu kesepian kalau Jayus ini gak keliahatan. untung saja rumahnya tepat di depan rumah tempat aku tinggal, hanya terpisah jalan kampung. jadi anak ini selalu ada.
sering anak ini jadi pengawalku. saat anak lain pulang atau aku baru sampai rumah dari sekolah Jayus pasti udah mengekor dibelakangku, ikut masuk kamar, ikut di dapur, hingga nunggu di depan kamar mandi saat aku di dalam. hahah...lucu diikutin terus...
wah, bakalan kangen ni kalau besok pulang ninggalin Jayus...hiks

Jumat, 18 Oktober 2013

Pun, aku menikmati kebiasaan masyarakat di sini, saat malam hari atau di luar waktu itu, ketika ada kesempatan aku meluangkan atau karena memang kewajibanku sebagai anak yang tak rela hati meninggalkan emak sendirian di tengah-tengah ramainya malam versi kampungku. Emak selalu menunggu, di tengah-tengah pekatnya asap rokok yang sering membuat nafas ini sesak, atau di tengah-tengah obrolan kopi yang membicarakan tentang banyak hal, mulai dari soal politik hangat Qanun Bendera, aliran sesat, hingga isu regional kampung yang biasa sekali soal gosip tetangga. Minimal peranku di kedai adalah sedikit meringankan beban bagi tubuh emakku yang sudah mulai melemah karena dimakan usia.
Ya, itulah kehidupan malamku. Kehidupan malamku sangat bewarna , setidaknya dimulai dari senja saat kumandang adzan magrib diperdengarkan melalui corong-corng masjid, aku beranjak dari rumah tinggalku. Nampaknya karena rutinitas, aku mulai tak menghiraukan lagi pemandangan indah senja seperti biasa, langit merah di balik masjid kayu yang dihiasi deretan pegunungan, dan di sudut lain lautan Selat Malaka terlihat tipis seperti kabut. Tak lupa teriakan anak-anak dari balai menjadi tambahan indahnya suasana setiap sore.
Saat bintang sudah berani menampakkan eksistensinya, aku manfaatkan waktuku untuk sekedar meramaikan balai pengajian. Aku ikuti alur pengajaran yang telah dikurikulumkan oleh tengku masjid. Memang sedikit aku memodifikasikan kebiasaan di sini dengan sedikit pengetahuannku tentang soal baca Al-Quran dan iqro’, tapi tentu itu sangat minim, dan lebih aku ikuti cara orang di sini mengajarkan untuk anak-anakknya. Sesekali juga aku dipercaya untuk menjadi imam di masjid, menggantikan tengku, saat tengku harus masuk hutan, mencari rizki dari mahalnya buah jerna, atau saat tengku berdiri di deretan paling belakang sof sholat anak agam (cowok), untuk mengawasi, siapa-siapa yang bergurau atau salah saat mempraktikan gerakan sholat. Itulah kegiatan sebagian di waktu malamku.
Suara Adzan Isyak sekitar pukul 21.00 WIB, menandakan anak-anak boleh menyelesaikan ngajinya dan bersiap menjalankan sembahyang. Setelah sholat, mereka kembali melanjutkan aktivitas di kedai atau belajar bersama di rumah nenek Ponah. Bagiku aktivitas kini berlanjut untuk mengajari matematika atau menulis untuk anak-anak yang masih mau belajar. Di ruang tamu rumah, aku sediakan rak kecil untuk majalah anak dan buku yang aku beli. Harapannya buku-buku ini mau dibaca. Pukul 22.00 WIB, biasa anak-anakku ini harus sampai berkali-kali diingatkan untuk segera pulang lekas tidur. Tapi bagi anak-anakku, jam segitu belumlah waktunya tidur, karena justru waktu itu layar televisi sedang menjual acara-acara andalannya untuk menarik para pemirsa. Tentu saja anak-anakku tambah tidak mau beranjak dari kedai.
Pukul 22.00 WIB, kehidupan malamku belum berakhir, atau justru ini baru dimulai. Tapi dengan cara yang berbeda, bagiamana aku harus menyelami dan menjalaninya. Aceh bagiku menawarkan sesuatu hal baru, terutama kehidupan malamnya. Aku merasakan waktu malam di sini lebih panjang dan penuh dengan komunalitas yang kadang menghibur, memberikanku sebuah makna dan pelajaran, tapi tak jarang juga membuatku terlena dengan kenyamanannya. Aceh selalu menyuguhkan pelajaran baru disetiap malamnya, mempertemukanku dengan orang-orang baru yang membuatku lebih banyak mengenal banyak hal. Inilah kehidupanku yang lain, baru dimulai pukul 22.00 WIB.
Berawal dari sebuah adaptasi untuk mengkondisikan diri hidup disebuah rumah berkedai yang tentunya tidak semudah yang diperkirakan. Seminggu hidup di sini aku harus bertahan, mungkin mirip anak Salmon, yang harus memulai hidup di air laut Samudera Atlantik, saat ia beranjak dewasa setelah sebelumnya menikmati tawarnya air sungai. Sungguh berat, tapi harus dipaksakan. Malam itu pukul 00.00 WIB, tubuhku menjadi berat dan hampir tak sanggup untuk hanya sekedar duduk. Kelopak mata sudah tak sanggup dibuka, maklum pagi hari aku sudah bangun dan harus bersiap-siap menyapa anak-anak. Tak jarang malam itu aku harus berkali-kali mengusap air ke wajah, berharap menghanyutkan rasa kantuk dari wajah. Emak masih terlihat sibuk melayani orang yang duduk, sambil sekali-kali menggulung daun lontar tipisnya yang telah terisi tembakau untuk kemudian dihisab. Itulah senjata mujarab emak, selain kopi hitam untuk mengusir kantuknya setiap malam.
Tiga bulan di sini, aku seperti berada di planet lain karena tak memahami apa yang dibicarakan orang-orang di sekelilingku. Orang-orang di sini tak banyak memulai pembicaraan denganku, mereka biasa buka mulut saat aku bertanya terlebih dahulu. Sehingga wajar saja kalau kemudian aku diam, tak satupun orang berbicara denganku. Malam semakin larut, aku lihat jam ditanganku yang telah menunjukkan pukul 01.00 WIB, tetapi beberapa orang di kedai masih asyik menyimak televisi yang suaranya harus beradu dengan raungan keras genset di belakang rumah. Emakku orang yang telaten, ketika hanya satu orang yang tersisa di kedai, emakku tetap saja masih menunggu sampai orang itu pulang. Baru kemudian Araselo gelap gulita, karena kedai emakku menjadi penerangan terakhir di kampungku.
Delapan Bulan berlalu, aku masih bertahan di sini, di kedai emak yang selama ini menjadi tumpuan harapan satu-satunya emak untuk mencari rejeki. Selama itu aku juga lambat laun berubah, sekarang tubuhku telah berevolusi terhadap dunia malam Aceh, sehingga bisa bertahan seperti orang-orang di sini. Malam itu tak ada suara genset lagi, karena listrik telah mengalir melalui tali-tali hitam yang berkilo-kilo meter panjangnya terpanggul oleh tiang-tiang kokoh di sepanjang jalan. Kulkas, televisi berinci besar, sound system, dan lampu terang telah tersedia di kedai emakku. Kini orang semakin nyaman dan betah duduk di sini. Demikian denganku, aku lebih bisa menikmati TV di sini, dari pada sebelummnya saat masih di rumah, karena banyak komentator handal di sini. Kini aku tidak lagi seperti alien yang tak memahami bahasa planet lainnya, tapi kini aku bisa merespon pernyataan ataupun perkataan orang lain. Sesekali aku nikmati kopi hitam seperti yang lain, sehingga aku lebih tahan dan tak pernah mengantuk lagi. Bahkan kini tak bisa memejamkan mata ketika aku berusaha tidur di awal waktu. Kini aku telah berevolusi menjadi manusia insomnia.
Rupanya tidak hanya aku sendiri yang berevolusi, orang di sekelilingku juga demikian. Orang kini tak harus menunggu aku bertanya, karena sekarang bersahut-sahutan. Orang sekarang terbiasa melihat orang membuka laptop di kedai, dan kini orang duduk di kedai juga sesekali membuat alat pembelajaran untuk besok aku pakai untuk mengajar. Pernah suatu ketika orang di kedai bertanya-tanya ketika aku membawa kertas lipat, dan beberapa steak es krim. Malam itu aku harus menyiapkan kupu-kupu mainan dari steak es dan kertas untuk besok dipamerkan saat pelajaran SBK. Rencana malam itu aku akan membuat beberapa kupu sendirian sambil menunggu kedai bersama emak. Rupanya malam itu aku tak jadi membuat sendiri, karena kemudian bapak-bapak ikut membantuku membuat kupu-kupu palsu itu. Bahkan hasil buatan mereka lebih bagus, dari pada hasil karyaku, padahal awalnya mereka hanya meniru saja. beberapa kali, orang-orang di kedai juga membantu menggunting kertas karton untuk alat peraga keesokan harinya. jadi kerjaanku semakin ringan sekarang kalau aku kerja di kedai.
Saat itulah aku berfikir bahwa, bukan aku saja yang berubah karena kehidupan malam di sini, tapi kemudian warga Araselo juga berubah dan menyesuaikan diri dengan tingkahku. Mungkin perubahan itu tidak seberapa, akan tetapi minimal semua saling mewarnai.

   

Inilah Jayuz, ia baru berumur 6 tahun. ia asyik bermain sepak bola mini buatanku. kecil-kecil ia telah tau Evan Dimas salah satu pemain U-19 yang sering ia dengar saat nonton bareng di kedai kopi. ya, di sini bola tak mengenal usia, sejak heboh teamnas U-19 orang-orang kampungku suka sekali mengikuti jalannya pertandingan. apalagi ada dua pemain Aceh. orang-orang kampung selalu heboh kalau pemain Aceh kesayangan mereka menggiring bola. "ka u hai, awak Beuren, awak Beuren" (lihat hai orang Beuren).
Ini hikmah masuknya listrik selama tiga bulan ini. masyarakat di sini, ikut merasakan menjadi "manusia Indonesia", yang mana ikut merasakan senang, laiknya manusia Indonesia lainnya saat menyaksikan team kesayangannya menang. setidaknya tiga bulan yang lalu kami tak tau apa-apa. tapi saat listrik masuk, masyarakat di sini benar-benar merasakan menjadi bagian dari Indonesia. soal korupsi, soal MK, soal ini itu, yang menjadi masalah bangsa, kini menjadi bagian yang dibahas dan difikirkan oleh masyarakat di Araselo.

Selasa, 08 Oktober 2013

    Magrib 5 Oktober 2013, hujan masih membasahi tanah Sawang yang subur. Lantunan adzan terdengar indah, seolah tak mau kalah dengan desiran suara hujan sore itu. Aku bersama Nizam anak muridku, masih setia menunggu kawan-kawan Super Leaders (SL) yang sore itu untuk pertama kali akan menginjakkan kakinya di bumi Sawang, yang sebelumnya mereka hanya dengar saja. Seusai sholat magrib, kami kembali menanti kehadiran mereka yang konon ceritanya, butuh waktu dua hari satu malam untuk menuju ke tempat ini, sungguh kramat Sawang ini, bahkan butuh waktu lama untuk menjangkaunya. Alkisah perjalanan anak-anak SL tidak direstui oleh penjaga gunung seulawah agam, yang sempat mereka lalui saat perjalanan, alhasil si penjaga iseng mencopot ban mobil Avanza bernomor 753 LE yang mereka tumpangi, untung saja ulah usil itu tak membahayakan anak-anak SL, meskipun menghambat perjalanan mereka. Tapi jerih payah perjuangan mereka terbanyar sudah, karena sore ini akhirnya mereka sampai juga di kecamatan Sawang.
makan malam sama emak

     Aku lihat dari luar, nampak wajah-wajah berseri-seri di dalam mobil, menandakan mereka masih antusias untuk melanjutkan perjalanan. Entah apa kesan pertama mereka melihat daerah kecamatan Sawang yang jalannya bagus, dengan keramaian pusat kecamatan yang bergairah. Kesimpulanku yang ada dalam benak mereka waktu itu, kurang lebih begini “kok, bisa ya PM disini, kan ini jalannya udah bagus, bahkan rame”. Oke tunggu dulu, itu kesimpulan awal, hehe. Benar saja sopir avanza kemudian dengan penuh semangat menanyakan “mana Ari kampung kamu?” “aha, ini pertanyaan yang aku nantikan” batinku. “oke siap ya, sebentar lagi kita akan menempuh perjalanan yang sebenarnya, ya kira-kira 17 Km naik lagi ”, sahutku. Terlihat pasrah si sopir avanza, tapi apa boleh buat, inilah perjalanan sesungguhnya baru dimulai. Langsung saja kami teruskan perjalanan suci itu, dan sekarang tugasku adalah memandu mereka hingga selamat sampai tujuan, dengan kendaraan kebesaranku, yaitu Honda Prima buatan tahun 89 yang selalu setia menemaniku.
    Tak lama, sorotan lampu kendaraan kami selalu menerangi rumput tinggi yang menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Mungkin anak-anak SL kemudian melihatku sebagai aksi kocak penunggang motor yang memaksakan motor tuanya menaiki bukit licin nan terjal. Apalagi melihat aksiku mengusir ular di jalan, gak paham lagi, apa yang ada dalam pikiran mereka. Ah, gak papa, anggap aja perjalanan kali ini hiburan untuk anak-anak SL. Tapi aku cukup puas karena kemudian bisa menjawab sedikit unek-unek dalam benak para calon pemimpin Aceh masa depan ini, “mengapa PM ditempatkan disini?” ya biar mereka simpulkan sendiri. Tapi yang jelas anak SL bisa melihat sendiri bagaimana sepinya tanda-tanda modernitas di kampungku, salah satunya karena akses jalan yang kurang bagus. Biarlah mereka melihat sendiri kondisi ini. Sekitar 45 menit kemudian, secercah lampu putih dari salah satu teras rumah penduduk Araselo, sedikit memberi sinyal kehidupan, pertanda kami telah memasuki kampung. Selamat datang di tanah Araselo dengan segala keunikan dan permasalahannya.
Menuju sekolah
Bersiap-siap

         Pukul 21.00 WIB, kami tiba di kedai emak Ponah, simpang empat, lorong empat, Araselo. Inilah tempat yang selama hampir sebelas bulan ini aku berteduh dan pijakan awal untuk bergaul dengan masyarakat di sini. Tak lama Emak menyambut mereka dengan senyum lebar dan keramahannya, persis waktu pertama kalinya aku sampai di rumah ini. sambil keluar dari mobil,nampaknya mereka tak sabar mengomentari perjalanan malam ini dan aku sudah siap menjadi wadah untuk mencurahkan cerita mereka. Mereka berenam terlihat sangat mudah berinteraksi dengan warga disini, apalagi dengan anak-anak di sini yang antusias ingin melihat dan berkenalan dengan para tamu agung yang hadir malam itu. Tak lama kemudian, emak menghadirkan kopi dan hidangan hasil masakan kemaren sore. Mungkin mereka sudah mafhum kenapa masakan kemaren sore, hehe. Sesi selanjutnya, dilanjutkan dengan berbagai obrolan untuk membahas berbagai masalah di kampung, maklumlah mereka kan para calon pemimpin, jadi serius kalau bahas soal beginian, tapi kadang dicampur dengan bullyan cerdas sesama antar  SL, yah begitulah anak-anak SL, tapi seru.
Papi beraksi
   Minggu 6 Oktober 2013, sebuah kelas yang diklaim sebagai “Kelas Kreatif” akhirnya jadi juga diselanggarakan di SDN 25 Sawang, Aceh Utara. Dilihat dari namanya tentu ini bukan kelas biasa, yang murid selalu mendengar ceramah monoton dari gurunya, atau siswa harus membaca dari halaman 10 hingga 20 dalam waktu satu jam pelajaran, tentu tidak seperti demikian, ini adalah kelas yang pokoknya kreatif. Kelas ini diinisiasi dan dimotori oleh orang-orang kreatif yang tergabung dalam SL. Kebetulan yang datang ada Bang Hijrah, Fatthun, Nadya, dan ditambah teman mereka, ada Tomi, Bang Ari, dan Eja. SL ini bermuatan anak-anak muda hebat yang selama ini mewarnai Banda Aceh. Tak perlu diragukan lagi, peran mereka dalam bidang banyak hal, mulai dari entrepreunership hingga masalah pendidikan di Aceh, peran mereka dapat dilacak jejaknya. Senang sekali tentunya kesempatan emas ini di peroleh oleh anak Araselo yang memang butuh lebih banyak sentuhan seperti ini. 
    Minggu pagi, anak-anakku tak terbiasa dengan kondisi ini, biasa minggu waktu bermain atau membantu peutah pinang, sekarang ganti suasana, yaitu harus berangkat sekolah seperti hari-hari masuk biasa, bedanya ada wajah ganteng dan cantik dari kota nan jauh di sana yang sering disebut Kutaraja, datang mewarnai cerita minggu ini. tampak dalam raut wajah anak-anakku, semangat dan antusias. Berlari-lari, kejar-kejaran, dan bergurau menjadi pemandangan saat menuju sekolah. Sampai di bukit kecil, tempat sekolah kami dibangun, semua anakku sangat fokus mendengarkan Bang Hijrah dan kawan-kawan menerangkan cara membuat piyoh toys dari kertas kokoru. Awalnya cukup terkondisikan, semua anak-anak terlihat serius mendengarkan. Tak lama kemudian saat praktik pembuatan, suara-suara meminta kertas, lem, gunting datang dari berbagai arah, seperti saat para anggota DPR menghujani interupsi untuk ketua. Tambah mulai nampak kualahan anak-anak SL melayani anak-anakku. Semua dikerahkan untuk membantu, tapi tetap aja kualahan, ya begitulah jadi guru sehari bagi anak-anakku memang harus extra tenaga dan butuh banyak stok kesabaran, hehe. Dari sini minimal anak-anak SL dapat merasakan energy semangat dari anak-anakku yang ingin maju. Seperti yel yel mereka saat menyambut teman-teman SL ini, begini yelnya: “selamat datang abang, selamat datang kakak, selamat datang kami ucapkan 2X. inilah kami yang ingin maju bersama-sama, sambutlah kami yang ingin pintar bersama-sama. SDN 25 Sawang, pintar dan hebat. 
beradu action
Jayus, siapa yang gak kangen?
      Cepat rasanya kelas kreatif ini berlalu, tak terasa sudah lebih dua jam kami semua keasyikan membuat karya. Jepretan kamera tak henti-hentinya menyambut gaya anak-anakku yang memegang hasil karya mereka. Begitu juga dengan para abang dan kakak yang pandai bergaya di depan kamera, seolah tak mau kalah beradu dengan anak-anakku. Kini anak-anakku tampak puas karena hampir semua bisa membuat hasil karyanya. Kini mereka menjadi anak kreatif. Anak-anakku terlihat terkesima dan begitu terkesan bertemu orang-orang hebat ini. aku yakin, dalam benak anak-anakku akan tertanam kesan positif karena telah melihat orang aceh sendiri yang mengajari dan peduli terhadap mereka. Setidaknya memberikan gambaran mereka, tentang sisi lain kehidupan orang Aceh, yang hidup dibelahan bumi Aceh lainnya. Begitu juga dengan anak-anak SL, akan ada sesuatu referensi lain, tentang kehidupan orang Aceh di sisi tanah Aceh lainnya. Akhir dari pertemuan singkat tapi kaya makna ini disudahi dengan perjalanan pulang bersama menuju ke rumah masing-masing. Tentu anak-anakku selalu akan menantikan kehadiran kembali orang-orang hebat ini. Semoga saja orang-orang seperti ini, akan terus ada dan beranak pinak di bumi Nanggroe ini, amin.



   

Sabtu, 21 September 2013

Haii! peserta Festival Gerakan Indonesia Mengajar, berikut puisi yang dibacakan oleh Rozali. seorang anak murid dari SDN 25 Sawang, Aceh Utara. Video ini hanya menunjukan bahwa, anak-anak pelosok Aceh Utara mempunyai mimpi dan cita-cita yang tinggi. Ayo dukung mereka!!
Rozali demikianlah anakku ini dipanggil. Anak aktif dan pemberani ini tak kenal kata "hanjet!", yang artinya "tidak bisa!", seandainya diminta untuk tampil atau mengerjakan tugas. Rozali anak periang yang tak banyak mengeluh. Tak hanya itu saja, anak ke tiga dari lima bersaudara ini mempunyai sikap yang sopan dan mempunyai sikap kepemimpinan yang patut dicontoh oleh teman-temannya. sikap kepemimpinan ini selalu ditunjukan saat perannya yang selalu menjadi pemimpin upacara bendera. Tak hanya itu, Rozali menjadi pemimpin kelas sejak Ia kelas 5. Rozali juga sering ditunjuk oleh Kepala Sekolah Pak Zulfikli untuk melatih teman-temannya menjadi pemimpin upacara. lebih dari itu sebenarnya sikap kepemimpinnya ditunjukan oleh anak ini ketika sering menggantikan temannya menjadi petugas upacara. Semua peran ia bisa, mulai dari membaca teks UUD 45 sampai menjadi petugas pengibar bendera.

Pagi hari Rozali selalu menyapaku dengam godaan khasnya, yaitu ngomong bahasa Aceh. awalnya aku kesulitan memahami apa perkataannya, tapi lama kelamaan aku memahami. "pu haba, pajan ka truk?" (bagaimana kabarnya,kapan sampai sekolah?) sambil mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, ia ngomong dengan intonasi cepat. Akupun hanya tersenyum, karena tak bisa menjawab apa yang ditanyakan anak ini. Tak lama kemudian ia selalu membantuku membersihkan halaman kantor. Saat kawan-kawan lain sibuk bermain, ia lebih sering membantuku membawa kotak sampah.

Rozali tinggal bersama kedua orang tua dan kakak perempuannya. Rumahnya tak bertetangga, karena terletak di pinggiran hutan jauh dari pusat kampung. Rumah papan kayu ini terletak disebuah bukit, yang belum teraliri dengan listrik dan air bersih. Jarak rumah Rozali dengan sekolah sekitar 500 Meter, dekat memang karena sekolah kami kebetulan terletak jauh dari pusat kampung dan lebih dekat dengan rumah Rozali. Letak rumah Rozali yang sekitar 2 KM dari pusat kampung, tak membuat anak ini tak mengaji di Balai. setiap pukul 5 sore, ia sudah terlihat di kedai depan balai, untuk menunggu Teungkunya datang. 

Selain pintar dan mempunyai sikap kepemimpinan, Rozali juga mempunyai ketertarikan dalam musik dan puisi. Entah berapa kali anak ini selalu menawarkan diri untuk direkam saat mendendangkan lagu seperti artis. Jiwa seninya juga membuat ia jago membuat puisi. ketertarikan pada lagu dan puisi ini membuatnya selalu ingin menjadi artis terkenal. Semoga cita-citamu tergapai hai Rozali, pak guru selalu mendoakanmu ^_^
Krue Seumangat Aneuk Nanggroe!

Kamis, 12 September 2013



Logo Akber Lhokseumawe
Kegiatan Class
               Entah tepatnya tanggal berapa waktu itu, sekitar bulan Maret 2013, sebuah undangan mengisi acara tiba-tiba datang dari Akademi Berbagi Medan yang dibawa oleh Rifki Furqon, anak Aceh yang kebetulan saudaranya menjadi kepala

sekolah Akber Medan. Tentu tawaran ini menggiurkan akan tetapi, karena suatu hal kami akhirnya tidak menyanggupinya. Dari sini, kemudian hadir sebuah gagasan untuk membuat Akber Lhokseumawe. Tetapi kemudian pertanyaannya adalah siapa yang mau bersusah payah membangun sebuah perkumpulan yang tak menghasilkan profit dalam bentuk materi. Awalnya tentu kami masih berfikir-fikir bahwa, tidak akan ada yang mau bersusah payah membangun fondasi awal Akber di Lhokseumawe. Ide ini kemudian berlarut tak teraplikasikan dalam sebuah gerakan nyata, lebih pada angan-angan yang terus kami impikan dan selalu dibayangi sebuah pertanyaan besar, kapan Akber terwujud di bumi Nanggroe ini? tentu semua dengan sejuta harapan yang diidamkan bersama, yaitu membangun ruang berbagi dan dialog di tengah-tengah remaja Aceh.

                Bulan keempat kami di Aceh, sebuah undangan kali ini datang dari sebuah lembaga kursus bahasa Inggris yang bernama HES, kepanjangan dari Hana Engglish School. Lembaga ini berdiri di Lhokseukon, sebuah kota kecil  di Aceh Utara. Di sinilah seorang bernama Bang Hanif dengan penuh optimisme membangun usaha dibidang jasa itu. Selanjutnya kami mengetahui bahwa Bang Hanif ini juga merupakan tenaga pengajar Bahasa Inggris di Universitas Malikhussaleh, yang menjadi salah satu kampus besar di Aceh.  Orang pekerja keras ini mengundang kami untuk sedikit menceritakan pengalaman selama tugas  di depan para peserta kursus.


                Singkat cerita dari sinilah kemudian ada sebuah keajaiban yang mengharuskan Akber Lhokseumawe lahir. Ajaib, karena kami dipertemukan Bang Hanif yang ternyata sejak lama beliau berkeinginan membuat Akber di Aceh, akan tetapi belum terlaksana. Dari sinilah kemudian angan-angan kami dapat terwujud, dan akhirnya kami bersepakat untuk bersama melahirkan Akber di Nanggroe.

Suatu pekerjaan akan mudah jika dikerjakan dengan bergotong royong, demikian halnya dengan Akber Lhokseumawe. Di awal perintisaanya, kami juga melakukan konsultasi dengan Sekolah Demokrasi. Dengan respon yang positif, anak-anak Sekolah Demokrasi akan membantu apa saja yang bisa dijangkau oleh mereka. Waktu itu sekitar bulan april Sekolah Demokraasi menawarkan tempat dan peserta untuk kelas pertama Akber, sehingga pada akhir bulan itu kami bisa mewujudkan Akber di Lhokseumawe. Kelas pertama demikian kami menyebutnya, lagi-lagi gotong royong untuk membuat kelas perdana ini, beruntung kami karena ada Rifqi Furqon waktu itu yang mau membantu untuk menjadi pembicara pertama di Akber Lhokseumawe.

                Memang tak ada sesuatu yang mudah diraih tanpa adanya sebuah usaha, begitu juga dengan Akber ini. dalam perjalannya Akber tentu menemui berbagai hambatan dan rintangan. Kini Akber sepenuhnya dikelola oleh para remaja hebat asli Aceh. Sedangkan Pengajar Muda hanya sedikit membantu jika ada yang dibutuhkan dalam perjalannya. Setiap bulan Akber selalu menyelenggarakan kelas di Kota Lhokseumawe dengan berbagai tema yang mampu menarik para remaja di kota ini. selain itu, kini Akber juga menjadi salah satu forum yang berperan dalam bidang sosial. Ketika bencana gempa terjadi di Takengon dan Bener Meriah, mereka ikut turun tangan membantu saudara mereka.

                Kami para Pengajar Muda berharap Akber Lhokseumawe selamanya menjadi ruang berbagi, ruang dialog anak-anak muda Aceh tentang berbagai hal positif untuk membangun Aceh yang lebih baik. 


Kamis, 05 September 2013

Masa lalu
Pak Geuchik Banta tiba-tiba menghampiriku, sambil menggenggam bendelan kertas agak lusuh yang bertuliskan “Proposal Permohonan Pengadaan Listrik Gampong Araselo”. Awalnya aku mengira ada sesuatu hal serius yang ingin beliau sampaikan, tapi perkiraan itu meleset, karena Pak Geuchik hanya ingin meminjam sejenak Laptopku, untuk mengotak-atik surat sebagai lampiran proposal. Kisah bendelan lusuh ini aku ingat kembali setelah delapan bulan bergaul dengan masyarakat Araselo. Tepatnya saat aku pulang dari Banda Aceh dan tak disangka bahwa malam ini adalah malam pertama warga bercengkrama dengan yang namanya listrik PLN. Ini bukan momentum yang remeh temeh, karena ini adalah perjuangan panjang selama kurang lebih lima tahun. Pak Geuchik pendahulu hingga sekarang, Pak Banta yang dibantu masyarakat naik turun gunung, membawa bendelan lusuh ini. Mereka tak berhenti keluar masuk mulai dari kantor kecamatan sampai Kantor Bupati, tujuannya yaitu memohon dihadirkannya listrik di kampung kami.

Araselo selama ini tak beristrik PLN. Syahdan waktu awal pembangunan kampung di bekas areal hutan ini, jamak masyarakat di sini menggunakan tenaga surya sebagai penerangan dan cukup untuk menghiduokan satu radio untuk memecah keheningan. Waktu terus berlalu, tentu ini tidak sesuai dengan perkembangan jaman, karena kebutuhan akan hiburan dan peralatan elektronik lainnya semakin tak terelakan. Maka tak heran jika sebelum adanya listrik PLN kedai-kedai sebagai jantung kedua pusat peradaban kampung setelah masjid, ramai karena hadirnya daya listrik yang lebih besar bersumber dari genset. Itulah sebabnya kedai bagaikan lampu yang dikerubungi anai-anai karena saking banyaknya orang.

 Berlanjut pada kisah bendelan lusuh “ajaib” yang di bawa pak Geuchik tadi. Alhasil perjuangan pak Geuchik ini membuahkan hasil, sekitar tiga bulan menjelang puasa 1434 H. Petugas PLN naik ke kampung dan tak kurang dari satu bulan, pekerjaan membentangkan kabel dan tiang listrik sepanjang 10 KM itupun rampung. Sebuah kerja kompak yang membuahkan hasil memuaskan. Dan kini saat hari pertama listrik dialirkan, aku baru sadar akan ajaibnya benda bendelan lusuh tadi. Yah kini bendelan ini merubah segala aspek kehiduan masyarakat Araselo. Betapa tidak malam ini kedai buka lebih lama dari biasanya yang hanya pukul 01.00 malam. Termasuk kedai emakku, ternyata emakku berfikiran bahwa listrik PLN lebih murah dari pada listrik genset untuk menghidupkan peralatan elektronik TV, sehingga emakpun tak ragu untuk melayani pembeli lebih lama dari biasanya. Dampaknya anak-anakku juga ngikut nongkrong lebih lama, karena menanti orang tua mereka yang masih keasyikan menonton layar kaca. Paginya lebih heboh lagi, suara penyiar  berita TV, yang selama ini aku rindukan, karena tak pernah terdengar, meramaikan suasana pagi di warung emakku. Belum lagi dengan dendangan pagi lagu dangdut dari radio baru tetanggaku  yang ikut meramaikan pagi itu.

Laju dampak adanya listrik tak bisa dihambat lagi. Banyangkan saja sekarang alokasi keuangan masyarakat lebih dipertimbangan untuk menghadirkan barang elektronik. Setidaknya kini di Araselo ada dua kulkas yang dibeli dua hari pasca ada listrik. Rumah-rumah kini mulai mempunyai ruangan privat untuk hiburan yang kadang sedikit menggeser budaya komunalisme di kampung, dan yang pasti anak-anak sekarang akan lebih sering menonton televisi. Ah, semua itu tentu suatu masalah yang tidak usah menjadi focus yang penting sekarang tentunya anak-anakku bisa belajar dan membaca buku pinjaman perpustakaan di malam hari, tanpa ada hambatan. Kini tak ada alasan gelap, tapi tentu kemudian alasan akan berganti dengan alasan lain yang lebih canggih kalau anakku lalai mengerjakan tugas rumahnya. Ini wajar, tentu menjadi tantangan terbaruku, dan tentu tantangan baru buat orang tua wali, karena harus pinter-pinter mengatur waktu.

Malam itu selain menjadi malam pertama kampungku beranjak dari kegelapan, sekaligus menjadi malam istimewa karena bertepatan dengan hari meugang. Sebuah tradisi masyarakat Aceh menjelang bulan suci ramadhan untuk mengkonsumsi daging sapi. Malam itu mungkin beribu-ribu sapi di Aceh ini disembelih untuk memenuhi kebutuhan daging. Tak hanya para orang tua yang sibuk, anak-anakkupun tak mau kalah.

Di malam meugang inipun aku memahami bahwa barang lusuh ajaib itu setidaknya menumbuhkan kepercayaan diri dan optimisme masyarakat bahwa selama ini masyarakat masih diperhatikan. Keberadaan listrik ini tentu akan menjadi sebuah harapan baru akan majunya kampung Araselo.


 
         
Kegiatan tadarus malam
Usailah Hari Meugang 1434 H kali ini yang diakhiri dengan gigitan terakhir untuk daging sapi yang dimasak rendang khas Aceh berkuah lemak. Sebuah tradisi yang tak akan lekang dalam ingatanku bagaimana menjalani hari-hari sambil mengamati hiruk-pikuk masyarakat mengisi cadangan lemak dan protein dalam tubuh, guna menghadapi puasa Ramadan esok harinya. Spontan acara makan daging harus dipercepat, karena adzan sholat Mahgrib untuk tanggal 9 Juli 2013, telah dikumandangkan oleh Teungku Imum Masjid. Suara lirih untuk merespon panggilan adzan yang aku lakukan kali ini berbeda rasanya. Berbeda karena waktu inilah peralihan menuju bulan suci dan berbeda karena saat itupula aku teringat masa seperti saat ini yang biasa bersama keluarga di rumah. Usai melantunkan bait demi bait panggilan adzan, aku bergegas membantu emakku yang memungut piring berlemak dan sejumlah gelas. Setelah usai aku mulai siapkan diri untuk menunaian panggilan Rob.


            Kini Ramadhan aku tekatkan untuk meningkatkan segala sesuatu yang terbaik seperti halnya Ramadhan sebelumnya, namun orientasinya berbeda, karena kali ini aku niatkan peningkatan terbaikku untuk anak-anakku dan masyarakatku di mana sekarang aku berpijak. Itu sedikit bocoran doa sehabis shalat sore itu. Malam pertama dan kedua aku merasakan Ramadan yang sungguh hikmat, berada dikampung pedalaman Aceh, dengan segala tradisi yang menyertainya. Saat siang semua masyarakat menjalankan kewajiban puasanya, saat menjelang puasa suasana semakin ramai, karena semua disibukkan dengan persiapan buka puasa, demikian dengan malam, semua bersujud dan bersimpuh di masjid untuk mengekspresikan kehidupan religiusnya. Semua berpadu dengan apik tanpa perbedaan mahzab atau teknis cara beribadah yang diributkan seperti di kota-kota.

Ramadan Produktif

            Sekilas, sehari dua hari nampak tak berbeda dengan kampung halamanku di Jawa. Namun tentu kemudian mulai terasa perbedaannya. Apa perbedaan yang aku rasakan? Masyarakat disini seperti membalik waktu, siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Mengapa demikian?  Jawabannya ada pada pola kegiatan masyarakat selama bulan suci yang berubah total. Pada waktu malam hari masyarakat menjalankan ibadah sholat teraweh yang umum di sini dilaksanakan sebanyak dua puluh tiga rakaat. Kemudian setelah itu ada yang berbeda, mereka tadarus sampai waktu sahur tiba. Inilah yang membuat beda dari daerah lain di Indonesia. Perbedaan semakin mencolok ketika rupanya tidak hanya tadarus, tetapi aktivitas siang dialihkan waktunya saat malam. Contohnya jam buka warung kopi yang keberadaan menjamur di Aceh dari kota sampai pelosok-pelosoknya. Aku tinggal di salah satu warung kopi, disitulah merasakan bagaimana meenunggu pelanggan sampai jam sahur, alias nonstop dari sore. Tidak hanya aktivitas ngopi aja ternyata, lebih dari itu aktivitas angkat kayu dari hutanpun dialihkan pada malam hari.

            Jelas dampaknya adalah waktu siang harinya. Ketika bakda subuh pertamaku di awal ramadahan, aku melihat pemandangan yang khas puasa di sini, yaitu pemadangan kampung mati. Nyaris dari subuh sampai menjelang siang tak ada hiruk-pikuk orang lewat terlebih orang bekerja. Orang keluar saat matahari persis di atas ubun-ubun, dengan wajah kantuk dan terlihat letih, itu pemandangan umum, terutama anak-anakku yang mengikuti pola kegiatan yang sama dengan orang dewasa. Awalnya aku berfikir ini hal yang wajar karena malamnya mereka beraktifitas hingga pagi hari, tetapi kemudian kalau dikaitkan dengan agenda di sekolah nantinya, pasti pola ini akan menghambat saat pelaksanaan pesantren Ramadhan nantinya. Dan terbukti, pesantren Ramadan di sekolahku dilaksanakan satu minggu setelah libur puasa. Alhasil hari pertama pelaksaan hanya ada lima anak murid yang berangkat bersama kepala sekolah dan satu guru. Dugaanku gak meleset ternyata, karena kondisi ini bertahan sampai hari ketiga, selanjutnya semua bubar, alias menghilang ditelan heningnya siang.
Ramadan produktif


            “Aku tak boleh lengah”, pikirku pagi pertama menghadapi kondisi ini. sengaja karena sebelumnya telah aku prediksi, pagi hari pukul delapan aku bergegas mandi dan merapikan seluruh atribut kebesaran saat mengajar. Aku pun bergegas berdiri si simpang tiga, depan rumahku dengan harapan anak-anak melihatku dan kemudian tertarik untuk ke sekolah. Sepuluh menit masih sepi, dua puluh menit kemudian berlalu, “benar-benar kampung mati” batinku. Tak seorangpun lewat. “Sabar saja, mungkin lima menit atau sepuluh menit lagi bakalan ada yang menyapa”. Gumamku sendiri di pertigaan itu. Benar saja jerih penantian itu membuahkan juga, terlihat dari jauh lorong empat, dua anak alit memakai seragam berjalan menuju pertigaan. Spontan energy semangatku kembali. “Assallamualaikum” sapaku, ‘Waalaikumussalam” “anak-anak ada puasa”? “ada pak” serempak mereka menjawab “alhamdulilah, “tunggu yang lain sebentar ya”. Lima menit berlalu, nampaknya Cuma Fauzan dan Maullidin yang bakal menjadi santriku di hari pertama ini. Tak mau kehilangan akal, aku ajak mereka memanggil anak-anak yang lain di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Alhasil ada tiga tambahan anak lagi yang mau bangun pagi itu dan mengikuti kegiatan disekolah pagi ini.

            Demikian juga dengan hari-hari selanjutnya, nampaknya santri setiaku hanya lima anak ini. itupun dihari kedua mereka protes karena enggan lagi kegiatan pesantren kilat dilakukan di sekolah. Maklum saja sekolah jauh dan harus naik turun bukit, ini membuat kami semua cepat lelah. Oke, keputusanku bulat mulai saat ini kegiatan pesantren kilat aku alihkan ke balai pengajian. Anak-anakku nampaknya senang sekali dengan keputusan ini. kegiatan di balai, ternyata tak mampu menarik kehadiran lebih banyak lagi, tetapi alhamdulilah setidaknya sekarang bertambah tiga orang lagi. Dan kegiatan ini tak bertahan sampai seminggu, seperti yang aku rencanakan sebelumnya, karena kemudian anak-anak tak nampak lagi. Muncul pertayaan dalam benakku, mengapa demikian? Apakah anak-anakku terlalu terbebani dengan materi yang telah aku susun selama pesantren kilat? “Ah, nampaknya bukan karena itu”. batinku terusik, karena aku merasa kegiatan yang aku sodorkan semua menyenangkan, tak ada mata pelajaran seperti biasa, semua kegiatan aku balut dengan permainan, lagu, dan kegiatan lomba yang menyenangkan.

            Kegiatan bersama anakku diluar kegiatan pesantren ramadhan aku desain ulang dengan menyesuaikan kondisi yang ada. Nampak anak-anak tak sepenuhnya menghilang dari hadapanku. Karena sehabis sholat dzuhur mereka mulai berdatangan menghampiri rumahku. Saat itulah aku buka lebar-lebar pintu rumah. “ini kesempatan bagus” harapanku, setidaknya seharian mereka tak hanya membalas rasa kantuknya di dalam rumah mereka. Ini waktunya mereka produktif di hari puasa. Siang itu satu episode film kartun tentang nabi aku putar. Alhasil mereka ketagihan dan selalu minta episode yang lain. Tak mau kalah dengan anak-anak, aku siasati dengan peraturan. “kalau mau nonton lagi ada syaratnya”, pintaku. “apa pak syaratnya?” “ sebentar lagi aka ada lomba membuat karangan di majalah Bobo, siapa yang mau ikut?” tanpa ekpresi dan tak ada yang angkat jari satupun. “kalau nanti kalian berhasil mengarang dan menulis, bapak akan kasih film lagi”,tiba-tiba serentak mereka angkat tangan, nah, ternyata berhasil juga. Hari-hari selanjutnyapun sesuai kontrak, mereka mau mengarang untuk persiapan lomba dan tanpa disadari puasa mereka produktif.   

            Puasa hari keempat, aku ikuti saja ritme denyut kegiatan masyarakat dikampungku. Hal yang berat bagiku adalah teraweh dua puluh tiga rakaat, dengan tempo yang cukup cepat. Bagiku ini hal yang baru, meskipun sebelumnya di tempat asalku mahzab ini umum dipraktikan. Selama ini aku melaksanakan teraweh mengikuti sebelas rokaat, dengan tempo yang sedang. Di sini aku mengikuti pola masyarakat, meskipun ini berlawanan dengan fiqihku yang masih kukuh dua belas rakaat. Tentu keputusan ini aku lakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama aku hanya menjaga stabilitas kampungku. Yang perlu digarisbawahi bahwa permasalahan fiqih menjadi sesuatu hal yang sensitif di Aceh. Masyarakat di sini meskipun melaksanakan tradisi keIslaman secara turun menurun, mereka tetap mengamini bahwa mereka adalah Ahlul Sunnah Wal Jamaah, artinya adalah pengikut sunnah Nabi, alias merujuk perilaku nabi setiap dalam ritual yang mereka kerjakan. Diluar kominitas atau pola ritual yang mereka kerjakan, akan di sebut sebagai kaum Muhammadiyah. Ini sebuah kenyataan umum, bahwa bagi pelaksana teraweh sebanyak dua belas rakaat adalah bukan Ahlul Sunnah tapi mereka adalah Muhammadiyah. Bukan tanpa konsekuensi bagi orang yang menyandang gelar ini, secara sosial penyandannya akan pelik.

            Hari keempat ramadahan disini aku melihat sebuah kenyataan yang kadang membuat gregetan dan sedikit maklum. Biasa melihat dikampung asalku, masjid akan sepi dari jamaah sholat teraweh ketika sudah mendekati waktu lebaran, atau minimalnya separoh bulan Ramadan. Di sini aku melihat hal yang membuat aku tercengang.  Baru hari keempat jamaah sholat teraweh tak lebih dari delapan orang untuk kaum adam. Selebihnya mereka terlihat di pusat peradaban yang baru bagi mereka yaitu warung kopi. Entah apa yang ada di dalam benak pikiran masyarakatku disini. Tentu ini menjadi alasan keduaku mengapa aku harus selalu terlibat dalam kegiatan teraweh, selain karena ingin menadapat ridha Illahi, yaitu jelas sebagai orang baru disini aku hanya ingin memberi contoh dengan tindakannku. Aku ajak anak-anakku untuk mengikuti teraweh, meskipun tak selesai. Istiqomah dan jangan absen sekalipun kecuali jika sakit.       

            Memang kemudian anak-anakpun mengikuti orang-orang dewasa yang sebagaian besar kehidupan malam ramadhannya hanya nongkrong di warung kopi. Tapi, tak apalah aku hanya berkewajiban memberi mereka semacam contoh tentang bagaimana harus berkomitmen dengan agama itu.
    Sekali lagi, gerakan ini semacam pemantik bagi semua kalangan untuk lebih serius memperhatikan soal pendidikan di Aceh. Ini bukan sebuah program kerja selama Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar berada di Aceh saja, melainkan ini adalah sebuah gerakan kesadaran bersama untuk menebar kepeduliaan dan optimisme bagi semua pihak terhadap kondisi pendidikan. Aceh mungkin tak separah Papua atau daerah pelosok lain yang benar-benar kekurangan buku, karena akses mereka yang relative lebih sulit. Tetapi kemudian mengapa perlu adanya gerakan ini di Aceh? jawabannya adalah Aceh tak hanya butuh buku, tetapi Aceh butuh kepedulian.


                Hampir dua tahun sudah sejak Pengajar Muda angkatan pertama ditugaskan ke Aceh lalu menggagas gerakan ini yang kemudian gerakan ini sempat pasang surut dan mengalami mati suri. Terlebih sejak Pengajar Muda angkatan pertama mendadak meninggalkan Aceh karena alasan keamanan. Untung kemudian ada Penyala Aceh sebagai gerakan literasi Indonesia Mengajar yang memang harus berusaha keras untuk menghidup-hidupi gerakan ini, tapi kemudian karena tak ada kepastian akhirnya sejenak dihentikan. Pengajar Muda angkatan kedua datang, Alhamdulilah pelan-pelan dan dengan gotong royong gerakan ini kembali di gelorakan.


              Ini lebih karena Penyala Aceh sebagai salah satu lokomotif gerakan mempunyai keinginan kuat dan semangat menjalankan gerakan ini. “One Man One Book for Aceh” kembali ramai dan banyak menadapatkan dukungan dari personal-personal yang ada di luar dan dalam Aceh. Dukungan ini tentu dalam berbentuk kiriman buku dan surat untuk anak-anak Aceh. Bahkan, kemudian dukungan juga datang dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri. Mereka banyak mengirim post card dan pesan optimis untuk anak-anak Aceh. Mungkin kiriman ini bagi kebanyakan orang terlihat sederhana dan kecil-kecilan, tapi bagi anak-anak Sekolah Dasar, mendapatkan kiriman post card dari Eropa dengan coretan kalimat penyemangat di dalamnya menjadi sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan  sebelumnya. Tentu ini kemudian tak sederhana bagi anak-anak.

Salah satu sekolah sasaran one man

             Kini semua pihak mudah berkontribusi untuk pendidikan di Aceh. Cukup dengan mengirimkan buku atau pesan positif ke PO BOX 1144 Lhokseumawe, buku-buku mereka yang berasal di Luar Aceh atau di luar negeri sekalipun dapat sampai ke tangan anak-anak di pelosok Aceh Utara. Sampai saat ini Aceh Penyala dan Pengajar Muda telah menyaluran ke beberapa sekolah yang dianggap masih sedikit memiliki fasilitas buku bacaan untuk mendukung kegiatan belajar peserta didik.  Kami juga bersyukur karena selama kegiatan didukung oleh Perpustakaan Daerah Aceh Utara yang mau membantu untuk berperan yaitu meminjamkan buku mereka untuk program Perpustakaan Keliling.

Iklan lucu buatan papi piyoh


            Tentu semua pencapaian gerakan sederhana ini merupakan hasil gotong royong semua pihak. Kedepannya memang harapannya akan lebih banyak pihak yang campur tangan dan lebih peduli lagi dengan kondisi pendidikan di Aceh. Suatu saat nanti pasti Pengajar Muda akan meninggalkan Aceh, akan tetapi “ One Man One Book for Aceh” tak boleh berhenti seiring dengan selesainya masa penugasan Pengajar Muda. Gerakan ini harapannya terus menjadi pemantik kepedulian atau lebih tepatnya menarik orang untuk lebih memperhatikan soal pendidikan terutama di bumi Nanggroe ini.

Senin, 02 September 2013

Bergaya di Islamic Center Lhokseumawe
Lhokseumawe Minggu 4 November 2012, pukul 07.00 adalah hari pertama  kami berenam menginjakkan kaki di Bumi Nanggroe. Agenda pagi itu adalah mencari sarapan di tempat yang nyaman buat ngobrol, sembari membahas agenda hari esok. Saat beranjak dari wisma tempat kami transit sebelum tinggal di desa masing-masing, terlihat beberapa RBT atau ojek motor telah menyambut. Kami-pun lebih memilih berjalanan kaki untuk sekedar melemaskan kaki sehabis perjalanan jauh dari Medan kemaren. Tak lama berjalan, deretan warung kopi telah menyambut kedatangan kami, tanpa berfikir panjang kami pilih satu yang strategis dan memesan hidangan yang ada, tanpa kecuali kopi khas Aceh yang terkenal yaitu Ulle kareng.


            Rapat hari pertama-pun kami lakukan. Agenda rapat pagi itu akan membahas berbagai hal termasuk jadwal sillaturohmmi dengan beberapa organisasi yang dahulu pernah dijalin oleh Pengajar Muda sebelumnya dan membahas persiapan agenda hari senin kedepan, yaitu serah terima ke Dinas Pendidikan Aceh Utara. Di tengah-tengah kegiatan rapat, terlihat satu persatu orang mulai memadati ruangan warung kopi. Pemandangan ini kelak akan menjadi sesuatu hal yang wajar, karena minum kopi dan warung kopi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Aceh. Ngopi adalah semacam adiktif bagi orang Aceh dan tidak sebatas itu, warung kopi adalah pusatnya informasi karena dari situlah kemudian soal politik hingga permasalahan keluarga diperbincangkan. Sehingga tak heran jika warung ini mulai dipadati masyarakat.

            Saat itu pula kemudian hadir sekelompok orang laki-laki yang kemudian mengambil posisi duduk yang tak jauh dari meja kami. Terlihat orang-orang ini menenteng kamera SLR dan juga tas carier. Entah apa yang dibahas orang-orang ini, akan tetapi terlihat sesekali mereka menjajal kameranya untuk memotret beberapa sudut jalan dan bangunan yang terlihat dari warung kopi. Dan sesekali pula mereka melihat kegiatan kami. Kami yang kebetulan waktu itu masih cupu karena kemana-mana masih menggunakan rompi Pengajar Muda dan juga mengenakan ransel, nampaknnya berhasil membuat mereka penasaran untuk bertanya. Hingga akhirnya mereka-pun menyapa dan berkenalan dengan kami. Cukup panjang dan tak biasa orang-orang ini bertanya hingga kemudian kami sadar bahwa sekumpulan orang ini adalah wartawan dari beberapa media massa lokal yang meramaikan Aceh.

 Sesungguhnya kami sendiri masih sangat hati-hati berbicara dengan orang lain di Aceh, terlebih dengan orang-orang pers. Maklumlah karena kami masih terlampau baru dan belum mengenal medan hidup di Aceh. Selain itu kami sedikit memahami bahwa, kondisi masyarakat Aceh masih cenderung klise, terlebih dengan pendatang baru. Seperti dugaan saya sebelumnnya karena wartawan, mereka-pun akhirnya mewancarai kami cukup mendalam, termasuk soal tujuan dan misi kami di Aceh. Terlihat serius lontaran pertayaan yang diajukan, kamipun menjawab normatif dan tentunya berhati-hati menanggapi setiap pertanyaan-pertayaan yang dilontarkan, terlebih ketika salah seorang wartawan bertanya soal misi terselubung program ini. Wow, “misi terselubung” Kami-pun agak kaget mendengar lontaran pertanyaan ini dan tentu masih dengan jurus yang sama kami berusaha menjawabnya. Di balik seluruh jawaban yang kami sampaikan, selalu kami tegaskan bahwa tidak ada misi terselubung, semua adalah murni untuk dunia pendidikan. Entah puas atau tidak mereka hanya selalu mengangguk-anggukan kepala. Kemudian laiknya pencari berita, mereka juga luput memotret kami.

Cerita soal para pencari berita, tak berhenti hanya saat kami di warung kopi saja, masih dihari yang sama, kami juga bertemu wartawan media online waktu kami iseng melihat-lihat kantor dinas pendidikan Provinsi Aceh Utara. Seorang pemuda yang mengaku sebagai pemburu berita lantas seperti biasa beberapa pertanyaan soal tujuan, kegiatan, dan pandangan kami terhadap Aceh pun Ia ajukan. Kami masih seperti biasa, hati-hati menjawab serbuan pertanyaan yang Ia berikan. Tak lama kemudian salah seorang dari kami, juga ditelpon oleh salah satu wartawan di Banda Aceh. Lagi-lagi mereka masih bertanya soal hal yang sama yaitu, terkait misi kami di Aceh. Dan akhirnya sampai sore hari, tanpa disadari sekitar lima media massa baik itu cetak ataupun online telah mencatat kehadiran kami di Aceh Utara.

Setiap kata dalam berita memang akan menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi. Untaian kata dalam kalimat juga membantu kita untuk memahami sesuatu hal yang dirasakan oleh orang lain. Begitu juga dengan tinta-tinta yang akan terpapar di media massa. Lema-lema ini akan menggambarkan apa yang terjadi dan akan membentuk persepsi orang yang membacannya tentu sesuai dengan pemahaman si pembaca. Akan tetapi, perlu selalu diingat bahwa kata-kata tidak utuh menggambar sebuah kondisi, atau bahkan bisa saja apa yang digambarkan parsial atau tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya, sehingga dampaknya akan menimbulkan penafsiran yang jauh berbeda dengan realitas yang ada. Bisa saja penafsiran yang terbentuk adalah positif atau justru negatif. Prinsip-prinsip inilah yang kami pegang, sehingga kami selalu memiliki formula tersendiri yaitu berhati-hati dalam memilih kata untuk berbicara dan selalu melontarkan kata-kata positif.

Senin 5 November 2012, memasuki hari ketiga kami di Aceh, setidaknya saat di kecamatan saya melihat tiga media massa cetak yang memuat kami. Sebelumnnya juga media online telah mengabarkan keberadaan kami. Justru saya mengetahui adanya berita tentang hadirnya Pengajar Muda saat tengah minum di warung kopi. Terlebih saat saya berkenalan dengan alumni Sekolah Demokrasi yang sedang duduk di warung kopi, ekspresi pertama yang ia lontarkan adalah perkataan “Abang yang dimuat di koran ini ya?”. Sambil menunjukan selembar kertas, bergambar enam orang berlatar Masjid Agung Lhokseumawe. “Wuih! Sudah jadi seleb ni”, batinku. Tak berhenti disini sehari setelahnya, Pak Fajri salah seorang kawan guru di SD tempat saya mengajar juga menunjukan beberapa helai kertas koran yang telah dipotong, ternyata kertas ini adalah berita Pengajar Muda. Kemudian setelah saya minta potongan-potongan kertas itu, Ia pun menolak dengan alasan untuk kenang-kenangan.   

Dari sekian media massa, setidaknnya terdapat tiga media massa cetak yang mememuat informasi yang tidak sesuai alias keliru. Salah satu media memberitakan dengan judul besar “Enam Pengajar Perempuan Siap Mengajar di Pelosok”, media cetak yang satunya memberitakan “Enam Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar akan mengajar 1,4 bulan”, dan media yang lain juga memberitakan hal yang tidak sesuai dengan keterangan yang kami berikan. Mulai dari judul yang telah salah terlebih dahulu, hingga konten isi beritanya yang juga tidak sesuai. Seperti dugaan awal kami bahwa, media kadang tidak sengaja akan memberitakan hal yang tidak sesuai dengan kondisi nyata, dan dampaknya bisa positif atau justru negatif, seperti halnya apa yang telah terpampang di media-media lokal Aceh, banyak poin-poin yang tidak sesuai, sehingga akan banyak informasi yang terpotong atau setengah-setengah. Sehingga hasilnya adalah antara kenyataan dengan hasil penangkapan si pembaca tidak sesuai. Saya-pun hanya berharap semoga dengan adanya berita-berita ini akan banyak orang yang berfikir positif dengan kehadiran para Pengajar Muda di Aceh Utara untuk kedua kalinya. Dan untuk media massa semoga kedepannya banyak membantu kami menyebarkan kabar-kabar positif dari pelosok untuk masyarakat Aceh, demi terwujudnya pendidikan yang diidamkan bersama.

Jumat, 23 Agustus 2013

Anak Araselo di bukit 26 yang berlatar belakang kampung





 Kampung Araselo begitu orang lebih mengenal kampung ini. kampung yang terletak dihamparan luas bekas lahan pertanian dan hutan ini merupakan kampung bentukan pemerintah daerah saat Darurat Militer Aceh. Kampung ini terletak di atas bukit Dama Beleuen. memang banyak getah Damar disini itulah sebabnya masyarakat menamai Dama, sedangkan Buleun adalah bulan yang memantulkan cahaya terang pada malam hari di bukit ini. terangkailah kata Cot Dama Buleun (Bukit Damar Buleun).
Fasilitas umum masjid dan balai pengajian
Mengolah buah jerna menjadi salah satu mata pencaharian

Kampung ini secara legal kemudian bernama Kampung Dama Buleuen tetapi lebih terkenal dengan Araselo. Araselo berasal dari nama sebuah perusahaan PT Alas Halo, sebuah perusahaan yang mendapatkan tender dari pemerintah daerah untuk mengelola kawasan pertanian terpadu ini pada tahun 2004 hingga 2007. Araselo kemudian secara administratif bagian dari desa Riseh Tunong, Kecamatan Sawang atau sekitar 71 Km dari Kota Lhokseumawe. Masyarakat Araselo sesungguhnya adalah binaan PT Alas ini. Jumlah mereka mencapai 300 kepala keluarga yang berasal dari keluarga miskin dan korban konflik di kecamatan Sawang dan sekitarnya. Mereka mendapatkan fasilitas rumah sederhana dan kebun 1,5 hektar untuk masing-masing kepala keluarga.
Salah satu contoh rumah di Araselo
 Mayoritas masyarakat disini menjadi petani kebun. adapun komoditas yang bisa dihasilkan disini adalah pinang, kelapa sawit, dan buah-buahan musiman seperti durian. sedangkan selebihnya masyarakat disini menjadi petani hutan. para petani hutan ini biasanya menebang hutan atau memanen komoditas yang bisa dijual, seperti buah jerna, rotan, dan getah damar.
 Kampung Araselo awalnya mempunyai fasilitas umum yang cukup memadai seperti masjid, puskesmas, general genset, dan saluran pipa air. akan tetapi setelah ditinggal oleh PT Alas Helo semua fasilitas terabaikan. dan kini masyarakat secara swadaya kembali membangun fasilitas.
Jalan yang menanjak menjadi salah satu ciri Araselo

Jalan-jalan di kampung Araselo terjal dan cukup susah untuk dilalui kendaraan karena selain tanah liat yang licin saat hujan juga sebagain besar jalan dilapisi oleh bebatuan sungai untuk mengurangi tingkat kelicinan. kampung ini dikelilingi hutan pegunungan geurodong yang mulai gundul, sehingga udara disini masihsejuk
dan segar.
Anak-anak Araselo tetap bersemangat





Anak-anak tidak mengenal kata putus asa. jarak tempuh rumah ke sekolah yang rata-rata jauh, kurang lebih 1-3 Km dan harus menaiki bukit, ditambah jalan yang berbatu. akan tetapi semua itu tak mengurung semangat mereka untuk terus maju.

Polonia 3 November 2012, udara segar menyambut kedatangan kami, dan nampak di aspal bandara bekas kubangan air tanda Kota Medan baru saja mendapatkan berkah hujan. Suasana pagi yang masih sepi membuat udara kota masih segar dan belum terkontaminasi asap kendaraan. Setelah beres mengambil carier dan ransel, kami-pun bergegas menuju terminal bandara. Kebetulan disalah satu kios di bandara rumah makan padang sudah membukakan pintunya lebar-lebar, pertanda siap melayani pengunjung. Mungkin saat itulah pikiran kita sama yaitu, ingin segera mengisi perut yang memang sejak pukul 01.00 WIB dini hari perut belum optimal terisi.  
Makanan padang adalah makanan universal bagi kami. Artinya makanan padang menjadi pilihan utama, saat kita buta arah ketika memilih makanan. Kerap saat kita lapar dikota orang, kita tidak usah berfikir panjang soal kecocokan rasa atau kehalalan makanan, ya tentu saja karena masakan padang secara rasa dan kehalalan insyaAlloh terjamin.Tentu ini berlaku bagi kami yang awam masalah kuliner. Dugaan kami tidak terlampau jauh, dan memang masakan Padang hampir sama rasanya dimana-mana, yang membedakan hanyalah soal harga yang sesuai dengan konteks daerahnya.
Jam menunjukan pukul 08.30 waktu Medan. Kami-pun ber-tujuh (ditambah satu orang dari team operasional) seusai menyantap makanan, seperti halnya kawan-kawan PM lain yang sudah mulai memamerkan foto-foto mereka yang terpampang di facebook atau Twiter. kami-pun tak mau kalah untuk segera mencari space yang strategis untuk sekedar berfoto dan memamerannya ke hadapan publik pengguna media sosial. Supaya publik memahami arti foto kita, kita-pun mengambil latar bandara polonia, sehingga setidaknya foto kami banyak bercerita tentang posisi kami.
Setelah narsis di depan kamera, kami kembali didepan rumah makan. Seperti halnya kebanyakan kota-kota di Indonesia, kami-pun masih menyaksikan pemandangan yang cukup membuat kami miris. Tepat disamping kami, anak-anak yang kira-kira masih sekolah dasar harus bekerja menyemir sepatu dan sambil menikmati rokok. Pemandangan ini membuat kami berfikir bahwa, pada kondisi tertentu anak-anak Indonesia harus berjuang untuk hidup dan mengorbankan hak-hak mereka yaitu menikmati pendidikan dan kasih sayang. Tak lama kemudian, sekitar pukul 09.00, dua orang Medan membawa dua mobil menyapa kami. Kami-pun kemudian paham bahwa, team akomodasi sudah mempersiapkan segalanya, termasuk akomodasi kami menuju ke Aceh Utara. Kami-pun segera menuju mobil, meninggalkan pemandangan yang cukup umum tadi. 
Kota Medan menjadi awal perjalanan kami di Pulau Sumatra ini. Pulau yang kaya, dan mempunyai sejarah panjang mulai dari masa klasik kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai, tempat Ibukota Indonesia saat darurat, dan menjadi tempat lahirnya beberapa tokoh-tokoh nasional seperti Tan Malaka dan tokoh ulama kharismatik masa Orde Baru yaitu HAMKA. bagi kami Sumatera adalah pulau istimewa. Terlebih kami akan menuju ke Bumi Serambi Mekah, tempat yang masyhur dengan berbagai lika-liku sejarahnya yang panjang, dan tempat yang bagi Bangsa Indonesia adalah tempat istimewa.
Saat perjalanan itulah, masing-masing pikiran kami melayang. Saya sendiri memikirkan dan menerka-nerka tentang kondisi masyarakat disana. Sesaat pikiran melayang ke hal lain, tentang kapasitas diri, mampukah merubah entitas perilaku ditengah-tengah kondisi masyarakat yang bisa saja diluar ekspektasi dan seterusnya pikiranku melayang. Sekarang merambah ke kondisi masyarakat di penempatan yang katanya pelosok itu. Cukup capek terus-menerus saya membanyangkan soal Aceh. Pikiran-pikiran yang kadang tak terkendalikan sempat membuat saya tak sempat istirahat selama perjalanan.
Masjid Tua di Sumatera Utara
Waktu Dhuhur-pun datang. Terasa lama sekali, kabarnya delapan jam waktu efektif menuju Lhoksuemawe, sebuah kota yang kabarnya berkembang karena kekayaan buminya. Mobil berhenti di sebuah masjid tua yang membuat jiwa arkeolog saya terpantik lagi. Masjid yang indah dengan arsitektur khas Aceh, sempat membuat kami mengira bahwa kami telah sampai Aceh. Masjid di sebuah daerah di Sumatera Utara itu adalah masjid tua yang dibangun oleh salah satu tokoh ulama didaerah ini. Sayang sekali saya tidak sempat mengabadikan soal nama dan latar belakang sejarahnnya karena waktu tidak banyak. Akan tetapi saya sempat memotret bagian-bagian menarik dari bangunan yang penuh ornamen yang indah itu.
Deretan Tulisan Asmaul Husna di Aceh Timur
Sekitar 3 jam kemudian, kami sampailah di Provinsi Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Timiang. Kesan pertama saya melihat aceh adalah kehidupan keberagamaan masyarakatnnya. Masjid dan balai gampong hampir disepanjang perjalanan terlihat cukup rame. Masjid dan balai menjadi jatung aktivitas masyarakat dalam sebuah gampong atau dusun. Tempat ini menjadi  tempat masyarakat berhubungan dengan Tuhan dan antar sesam manusia, selain itu majlis ilmu yang sering disebut munasyah dan pengajian anak-anak setiap hari diselenggarakan disini. Disepanjang pinggiran jalan juga kami lihat papan-papan bertuliskan Asma’ul khusna yang berjumlah 99 nama indah Alloh. Mungkin nama-nama ini dipaparkan agar masyarakat selalu mengingat nama Alloh dan selalu menghafalnya.
Dua jam kemudian tibalah kami disebuah kota yang cukup rame, yaitu kota Lhouksuemawe. Masjid Islamic Center yang megah menyambut kami dijantung kota itu. Kota kedua terbesar di Provinsi Aceh ini adalah tempatnya pabrik pupuk terbesar di Asia tenggara Iskandar Muda yang dahulu sering muncul didalam pelajaran sekolah dasar. Terlihat disempanjang jalan adalah warung kopi, Aceh adalah surganya warung kopi atau cafe. Sebelum cafe-cafe ala kota menjamur, Aceh telah mengenal warung kopi, tempat berkumpul dan nongkrong bagi semua kalangan dan umur. Kami-pun tak mau melewatkan kesempatan ini, setelah menaruh barang-barang diwisma, sebuah warung kopi yang isunya elite di Lhouksuemawe kami jajal. Dhapu kana kupi, yang kurang lebih artinya ada kopi di dapur adalah nama cafe ini. Cafe ini terletak dipinggir jalan utama dan tepat di depan Islamic Center. Cafe ini dilengkapi beberapa LCD dan proyektor tempat masyarakat menonton pertandingan sepak bola. Dan terlihat didinding terpampang foto-foto yang saya tidak tau siapa itu dan lambang Gerakan Pemuda Pancasila juga dilukiskan ditembok itu.

Suasana Cafe di Lhokseumawe

Cerita hari pertama di Aceh ini diakhiri di cafe ini. Dan akhirnya memutuskan bahwa cafe ini menjadi markas sementara kami saat berkumpul di Lhouksuemawe.