Jumat, 17 Januari 2014

Hujan deras menggunyur Jakarta sore itu, beberapa ruas jalan nampak dipenuhi oleh air yang menghambat laju kendaraan. Kami bertiga; aku, Dika, Didin bertolak ke kantor  IBEKA (Istitut Bisnis dan  Ekonomi Kerakyatan, Link baca sini Sob: http://ibeka.netsains.net/) dari wisma BNI, rencana kami akan bertemu punggowo IBEKA,  Ibu Tri Mumpuni (baca Sob; http://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Mumpuni). Sesuai dengan kesepakatan sore kemarennya, kami bertiga akan merepotkan beliau, karena kami akan mengikuti beliau ke salah satu ujung kabupaten Subang. Kami beruntung karena diberi kesempatan langka untuk mengunjungi Bapak Iskandar Budisaroso yang tidak lain adalah Founder IBEKA dan suami Ibu Tri sendiri.
Ini dia Ibu Tri Mumpuni
Syahdan, awal pertemuan kami dengan Ibu Tri berawal dari Vira (Baca Sob: https://indonesiamengajar.org/pengajar-muda/elvira-rosanty/), waktu itu kami sedang hangat-hangatnya menjadi veteran Pengajar Muda. Maklum saja baru seminggu pulang dari penempatan. Kebetulan rekan kami ini, punya kawan waktu kuliah di UTM (University Technology of Malaysia), beliau adalah Astri (baca link: https://indonesiamengajar.org/pengajar-muda/nurrachma-saraswati/) , yang tak lain putri Ibu Tri dan Pak Iskandar. Singkat cerita dari Astri inilah kemudian kami bertemu dengan orang hebat seperti Ibu Tri dan Pak Is.

Kami bersama Ibu Tri berangkat ba’da Mahrib, ternyata hujan tak kunjung reda juga, justru semakin deras. Jalan-jalan semakin tenggelam sore itu. Tapi perjalanan kami tambah seru karena Ibu Tri, yang duduk di sebelah pak supir, selalu menghiasi dengan celoteh lucu yang berbobot, karena kami bisa banyak mengambil ilmu dari lelucon beliau. Beliau sekilas memang orang yang tegas dan tanpa tedeng aling-aling, jika mengomentari atau mengkritik sesuatu. Istilahnya ceplas-ceplos tapi bukan ngawur. Ceplas-ceplos beliau memakai dasar ilmu dan cara berfikir yang logis. Tentu saja dengan dibumbui penyedap yaitu selera humor beliau yang tinggi sehingga bikin kami tertawa selama menuju Subang. 
Tak terasa sekitar tiga jam, pukul 22.00 WIB kami sampai di sebuah rumah di Desa Cicadas, Kecamatan Sigalaherang, Kabupaten Subang. Kondisi malam hari dan hujan, sehingga kami tak terlalu menghiraukan lingkungan sekitar rumah. Kami di sambut ramah oleh bapak Iskandar, yang nampaknya sengaja menantikan hadirnya istri tercintanya sampai larut malam. Selanjutnya, kami semua makan malam sambil ngobrol banyak hal. Sesuatu hal yang paling mengesankan dari interaksi keluarga yang baru aku kenal ini adalah panggilan sayang untuk suami. Wow, jaman sekarang cukup langka aku mendengar panggilan itu dari seorang istri untuk suami. Interaksi mesra yang mereka tunjukan sungguh menginspirasi kami, sehingga bagaimana kedepannya harus bersikap kepada istri. Hal lain yang banyak kami belajar dari keluarga ini adalah, dari meja makan kecil, mereka mendikusikan soal kepentingan rakyat marginal di dunia yang besar ini. Mungkin Ibu dan Bapak ini sering memunculkan gagasan besar untuk rakyat, berawal dari meja makan kecil ini. Dahsyat!  

Pagi Pertama

Pagi 13-1-2014 ternyata gerimis masih membasahi tanah Subang, aku beranjak ke luar rumah  yang exsotis ini untuk melihat penampakan rumah dari luar. Ternyata benar dugaanku, penampakan alam selaras dengan rumah. Halaman rumah yang dirimbuni pepohonan yang berlantaikan permadani hijau rerumputan. Beranjak ke sebelah timur rumah yang tak kalah menarik, jauh di balik sawah berundak, terdapat bukit yang tak terlalu tinggi menghiasi hamparan padi yang belum lama di tanam petani. Gemercik air terjun mini menghiasi sebelah barat rumah, dengan jalan yang menanjak menuju semacam villa untuk para tamu.
Rumah Ibu Tri nampak sebelah barat

Gerimis belum saja turun, aku urung untuk mengeksplorasi lebih jauh sisi utara rumah, aku lebih memilih melihat tempat penangkaran kupu-kupu di sebelah barat rumah,  beberapa kupu-kupu terbang di bawah jaring-jaring yang menutupi rerimbunan pohon dan bunga di taman kupu-kupu ini. aku akhirnya tertarik untuk memasuki bengkel pembiakan kupu-kupu, sekaligus bengkel pengawetan kupu-kupu untuk bahan kerajinan.
 Sekitar pukul 07.30 WIB kami siap-siap untuk sarapan pagi. Nasi beserta lauk dan sayur rupanya sudah tersaji di meja. Tanpa bosa-basi kami santap. Awalnya kami mengira Bapak dan Ibu belum makan, karena tanda-tandanya nasi belum jua teraduk oleh centong, ternyata setelah kami konfirmasi beliau berdua, rupanya sedang puasa sunnah senin-kamis. Kan, kami dapat pelajaran lagi, kalau mau jadi orang hebat, sering-seringlah puasa. Istilah Pak Iskandar  tirakatan. Oke, kami akhirnya bertiga menikmati sajian nikmat pagi itu. selesai makan kamipun bertiga menghampiri Pak Is yang sedang dengerin lagu tahun 80-an, yang kami gak tau judulnya.

School Of Empathy

Istilah ini  diambil dari Bapak Iskandar. Inilah kira-kira untuk menggambar kegiatan kami selama tiga hari di Serdang. Selama itu kami mengalami proses berfikir untuk mencapai pencerahan. Selama itu pula empati kami diasah, mata kami dibuka untuk melihat realita kehidupan. Selama itu kami harus menentukan arah kami kedepannya, dan akhirnya kami masing-masing yakin untuk memilih garis kehidupan kami, yang memang harus kami buktikan dengan tindakan selanjutnya.
 
Wejangan dalam school of Empathy bersama Pak Is

Diawali dengan sebuah pertanyaan, proses itu berlangsung. Kami awalnya bertanya tentang sosial bisnis, sesuai dengan apa yang digeluti oleh beliau. Diskusi kami berlangsung, jawaban-jawaban beliau atas pertanyaan, mengantarkan kami pada fase-fase yang unik. Hingga akhirnya selama itu kami tak hanya mengalami proses dialetika atau pemasukan sebuah pemahaman yang di bawakan melalui logika-logika pembenaran, tapi kami mengalami semacam perjalanan spiritual..
Bersambung…

1 komentar: