Jumat, 01 Oktober 2010

Abad pencerahan Eropa dimana semangat mempelajari dunia timur sedang mencapai puncak-puncaknya, knowlade is power begitu jargon ilmuwan orientalisme yang ingin menimba berbagai pengetahuan dari timur. Bersamaan dengan itupula ilmu filologi mulai dikembangkan menjadi salah satu alat terutama untuk mempelajari manusia melalui bahasa. Sebuah mitos yang telah bertahan berabad-abad yaitu bahasa ibrani adalah bahasa Tuhan yang agung dan sacral, mulai menemui ajalnya, dan berdampak pada goyahnya stabilitas dinastik yang berlindung dalam doktrin dan komunitas agama. sehingga dampaknya adalah sekulerisasi di barat.

Akar-akar Budaya: perspektif Benerdict Anderson

Benerdict Anderson telah membahas tentang lahir dan berkembangnya mitos Nasionalisme yang terjadi sekitar abad ke IIV-XX, dalam bukunya Imaged Community. Ada hal yang menarik yang dapat kita ambil yang masih relevan dengan tulisan pendek ini yaitu terkait dengan akar-akar budaya atau system budaya sebagai identitas dan alat komunalitas. Menurut Anderson sebelum nasionalisme lahir ada dua ranah yaitu Komunitas religius dan Ranah Dinastik. Dua ranah tersebut akan sedikit kita bahas yang berdasarkan pada tulisan Anderson.

Komunitas Religius

Sebelum dunia ini mengenal paham nasionalisme sebagai pengikat manusia yang didasarkan atas paham-paham akan kecintaan dan pengorbanan terhadap tanah air, atau yang sering disebut tanah kelahirann (tanah tumpah darah), manusia telah mengenal konsep religius sebagai pemersatu. Kita mengetahui Nabi Muhammad SAW, pada abad ke 7 masehi diutus untuk menyampaikan risalah wahyu kepada bangsa Arap, tipologi masyarakat Arap yang berbeda-beda suku teryata mampu disatukan dengan satu pemahaman tentang konsep iman. Bahkan setelah pemerintahan Abasyiah agama ini mampu memperluas daerah pembebasanya dari Maroko hingga Andalusia Spayol, dan berhasil menyatukan perbedaan manusia dengan konsep pemersatu yaitu atas iman atau ketauhidan.

Begitu juga dengan Hindu dan Budha di wilayah yang lebih timur seperti India, Cina, dan Asia Tenggara. Mereka dipersatukan atas nilai-nilai keagamaan mereka. kepercayaan ini telah mampu menerobos perbedaan etnis, suku, dan bahasa di seluruh persebaran agama ini. Begitu juga Konfunsianisme telah mempersatukan tanah tiongkok atas da

Belahan dunia lain juga menunjukan hal yang sama Romawi dengan Katoliknya, dan sebelum islam berkembang di Persia yang disatukan kepercayaan paganismenya, mampu menyatukan manusia dari masing-masing daerah yang telah menganut kepercayaan yang sama.

Ranah Dinastik

Pemersatu lainya adalah ranah dinastik, ranah dinastik adalah pemersatu manusia didasarkan atas Dinasti-dinasti yang menguasai. Raja-raja dalam suatu wilayah tertentu memiliki daerah kekuasaan sendiri dengan berbagai kekuasaan atas struktur lapisan masyarakat. System yang terbentuk mulai Raja hingga kawulo (hamba), menjadi sebuah penanda status sosial dan bertahan hingga berabad-abad. Tak jarang agama menjadi alasan dasar atas hukum berlakunya system ini, seperti system kekhalifahan yang yang berkembang menjadi system pewarisan tahta bukan lagi system musyawarah.

Begitu juga di belahan dunia lainya, di China Mulai dari Dinasty Han hingga Ching masing-masing dinasti mewariskan tahta kepada keturunanya. Mitos atas perwalian Tuhan kepada Raja yang berkuasa menjadi hal yang telah ditetapkan. Di jawa raja mataram menyandang gelar Khalifatulloh atau wakil Alloh untuk memerintah Negara, konsep ini sebenarnya bergeser dari paham konsep keKhalifahan pada masa empat sahabat. Di jawa konsep yang berkembang lebih pada semacam takdir yang telah ditetapkan oleh Alloh untuk manusia tertentu hingga seluruh keturunanya, sehingga harus diterima apa adanya dan tidak boleh diganggu gugat, sedangkan untuk mempertahankannya dengan menciptakan mitos-mitos tertentu.

Semua ini baik komunitas religius ataupun Ranah dinastik telah mampu menyatukan perbedaan manusia dalam satu misi dan tujuan tertentu, sehingga kekuatan pemersatu dari kedua ranah ini adalah nilai-nilai religius atau kesamaan atas dasar keimanan, sedangkan dalam ranah dinastik lebih pada loyalitas kepada penguasa atau raja yang didukung mitos-mitos. Semua akar-akar budaya tersebut disebut “dunia lama”.

Eropa dalam Selimut Agama

Agama Isa telah memasuki kerajan Romawi dan menjadi agama resmi negera tersebut, semua wajib untuk menjalankan perintah agama bagi seluruh rakyat yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan ini. Daerah jajahan baru harus mengikuti ketentuan ini, jika tidak mengikuti tentu saja pemusnahan masal (Genoksida) akan dilakukan. Singkatnya antara agama dan Negara saling berkerjasama dan menguatkan antara satu dengan lainya, agama harus dijaga oleh kekuatan Negara, begitu juga sebaliknya agama harus mempunyai doktrin untuk menguatkan legitimasi penguasanya. Hal-hal yang bersifat pembaharuan yang akan mengganggu stabilitas keduanya akan dihancurkan.

Pada tahun 1517, misalnya menjadi contoh kongkret mulainya pembangkangan atau pemberontakan atas status quo ini, ketika Marthin Luther menentang “Holy Trade” atau perdangan dan eksploitas wilayah jerman pramerdeka. Hingga kerajaan Roma mengeluarkan Curia pada tahun 1520 yaitu sebuah maklumat Exsurge Domine(Bangkitlah Tuhan), yang berisi teguran keras terhadap soudara Marthin Luther dari Ordo Sanct yang menghidupkan bid’ah yang terkutuk. Singkat ceritanya aksi tersebut dilanjutkan oleh Marthin Luther dengan menolak keras dan membakar Bulla atau hukum ketentuan dari Vatikan yang berisi ketentuan Jerman untuk mengikuti kultur Vatikan dan menerapkan bahasa Latin yang sacral. Kekacauan ini memuncak ketika Marthin berani menafsirkan Penjanjian Baru ke dalam bahasa jerman. Perlu diketahui bahwa pada masa kerajaan Roma bahasa Latin adalah bahasa suci dan wajib digunakan disetiap daerah kekuasaan. Akibatnya bahasa-bahasa daerah seperti jerman, italia, dan lainya direduksi sedemikian rupa.

Contoh diatas hanya segelintir pemberontakan yang ditempuh melalui deskontruksi kesakralan bahasa dan budaya katolik yang berada di daerah kekuasaan Roma. Hingga akhirnya pemberontakan meluas dan membagi kekuasaan Roma atas beberapa wilayah-wilayah kecil yang berdaulat dengan masing-masing bahasanya, hal ini menandakan mulai hancurnya ranah dinastik yang sebagai awal alat pemersatu manusia.

Filologi dan peran aktifnya dalam sekulerisasi

Yang menarik dari contoh peristiwa tersebut adalah usaha penerjemahan Injil Perjanjian Baru oleh Marthin Luther yang menggemparkan dan heroik itu. Hal ini menjadi awal pemberontakan atas kondisi agama yang menjadi sebuah ketentuan yang tidak bisa digugat dan memaksa umatnya untuk mengikutinya tanpa proses rasionalisasi sebelumnya. Injil yang tadinya menjadi sepenuhnya Hak gereja vatikan dalam menafsirkan, Marthin berusaha melampau hal tersebut. Hegemoni gereja inilah yang menurut Marthin sebagai akar kebohongan yang berujung pada ketidakadilan yang berdalih pada ketentuan injil. Untuk itu Injil perlu ditafsirkan ulang ke bahasa Jerman agar masyarakat mampu memahami hakikat makna Injil itu sendiri. Sehingga masyarakat Jerman akan lebih memahaminya. Pemikiran dan karya Marthin Luther ini mendapatkan respon kagum dari Nietzsche sebagai berikut:

Mahakarya prosa Jerman….adalah mahakarya seorang pengkhotbah Jerman yang agung…dibandingkan dengan karya Luther maka, karya lain hanyalah karya sastra, yaitu sesuatu yang belum tumbuh di jerman atau palah yang tidak tumbuh…

Keberanian Marthin inilah menjadi awal pengkajian filologi untuk diterapkan dalam teks-teks perjanjian baru yang kemudian dikembangkan oleh para peneliti lainya. Yang perlu saya tekankan disini adalah keberanian Marthin yang berdampak bagi ahli-ahli untuk berani mempertanyakan apakah bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sacral yang dianggap awal bahasa manusia yang diturunkan oleh Tuhan?, kemudian pantaskah manusia masih mengagungkan bahasa Ibrani sebagai satu-satunya bahasa yang lanyak dipakai baik dalam kenegaraan atau agama?.kemudian apakah Tuhan mengutuk manusia akibat perbuatan Bid’ah, yang melanggar ketentuan Vatikan?

Kajian para filolog telah panjang lebar dibahas dalam kajian Orientalisme oleh Edward W Said (1978) diantaranya yang dibahas adalah kajian seorang filolog dari Paris Ernest Renan (1848), yang telah banyak mengkaji perbandingan bahasa dari Dunia Timur dan Barat. Ketertarikan Renan pada bahasa-bahasa Semit, Ibrani dan Sangsekerta membawa Renan sebagai seorang pengkaji bahasa yang handal. Dalam berbagai pidatonya, terutama di Sorbone ia berceramah tentang pengabdian filologi kepada ilmu-ilmu sejarah. Ia mengungkapkan bahwa apa yang sebenarnya diajarkan filologi, seperti halnya agama, kepada kita mengenai asal-usul umat manusia, peradaban, dan bahasa.

Selain itu pandangan Renan terhadap ilmu filologi adalah sebagai satu-satunya cara yang memungkinkannya sebagai seorang pemuda untuk keluar dari agama dan pindah ke filologi. Selain itu ia mengungkapkan bahwa “hanya satu pekerjaan saja yang tampaknya berharga untuk mengisi kehidupan saya. dan pekerjaan ini adalah meneruskan riset kritisnya terhadap agama Kristen”(proyek Renan terhadap sejarah asal-usul agama dan bahasa). kemudian atas proyek renan dalam mempelajari asal-usul bahasa ini adalah berhasil menghasilkan tata bahasa perbandingan, reklasifikasi bahasa dalam rumpun-rumpun, dan penolakan gagasan bahwa bahasa berasal dari Tuhan.

Said mengatakan bahwa” tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa pencapaian-pencapaian ini dapat dikatakan merupakan konsekuensi langsung dari pandangan yang mengatakan bahwa bahasa seluruhnya adalah fenomena manusiawi. Ketika secara empiris ditemukan bahwa apa yang dinamakan bahasa-bahasa sacral (utamanya bahasa Ibrani) sama sekali bukanlah bahasa yang paling kuno dan bukan berasal dari Tuhan”. Kemudian Said menegaskan kembali bahwa apa yang dikatakan Foulcault sebagai penemuan bahasa suatu peristiwa sekuler yang menggantikan konsepsi agama tentang bagaimana Tuhan menganugerahi bahasa kepada manusia di Taman Eden(Said,1978:206)

Tentu saja apa yang dirumuskan Renan melalui hasil risetnya tersebut menggemparkan Eropa, bahkan sempat dilarang pembahasanya, terutama bagi yang masih memegang kuat akan tradisi-tradisi agama Katolik. Statement ini juga mendukung proses sekulerisasi agama yang sedang berkembang subur di Eropa pada masa itu. Kemudian hasil kajian Renan inipun kembali di lanjutkan oleh sejumlah peneliti diantaranya William Jones yang meneliti status orisinalitas bahasa(1785-1792), dan Franz Bopp dalam bukunya Vergleichende Grammatik (1832). Keduanya berasumsi bahwa dinasti keilahian bahasa benar-benar telah diruntuhkan dan direduksi menjadi sejenis gagasan yang dapat berubah-ubah. Untuk itu, jika umat Kristiani menyakini bahwa bahasa-bahasa di Dunia ini sebenarnya berasal dari bahasa Ibrani, maka perlu memiliki suatu konsepsi yang baru untuk bertahan hidup menghadapi bukti empiris yang mereduksi status keilahian bahasa dari kitab sucinya (Said, 1978:206). Pemahaman kaum sekuler inilah yang ikut menyumbang runtuhnya ranah dinastik dan komunitas keagamaan yang semakin ditinggalkan, dengan menggantikan sebuah “Dunia Baru” yaitu dunia ilmu pengetahuan dan rasionalitas.

Kesimpulan

Abad bangkitnya ilmu pengetahuan di Eropa mampu menghancurkan segi-segi keilahian dan dinastik hingga mencapai sebuah titik kehancuran, hingga muncul apa yang disebut abad sekulerisasi terhadap hal-hal yang berbau konservatif terutama di Barat. Ilmu filologi sebagai salah satu produk dari “Dunia Baru”, ikut berperan terhadap proses sekulerisasi tersebut hingga akhirnya menjauhkan manusia Eropa dari kehidupan Agama dan system Dinasti.

Daftar Pustaka

Anderson, Benerdict;2001: Komunitas-Komunitas Terbayang(Imagined Community): INSIST, Yogyakarta.

Said. W. Edward; 1978`: Orientalisme: Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Minggu, 22 Agustus 2010


Jamak para pelaku usaha telah memboking sejumlah televisi swasta untuk menayangkan iklan produknya jauh hari sebelum memasuki Ramadhan. Dalam iklan tersebut ditampilkan bagaimana dahaganya puasa yang harus dihilangkan dengan meminum sirup, kemudian iklan mengarahkan persepsi konsumen bahwa sirup mampu menyatukan perbedaan yang ada, dan bukan buka puasa itu sendiri, kemudian iklan obat, yang menjelaskan bahwa puasa itu mengakibatkan penyakit perut tertentu, sehingga harus minum obat setelah sahur dan sebagainya, jelas bahwa iklan ini hanya memberi arahan yang tidak benar dan menyebarkan ketakutan bahwa puasa itu penyebab sakit tertentu. Kemudian produk-produk yang sesungguhnya tidak kaitanya dengan Ramadhan, akan tetapi disetting sehingga seolah ada kaitanya dan harus dibeli konsumen saat Ramadhan, biasanya mereka mengatas namakan Ramadhan yang kemudian menawarkan dengan harga yang lebih murah, atau paket-paket tertentu. Dan masih banyak iklan yang hanya memanfaatkan momentum puasa sebagai pelaris produk mereka.
Melihat pola-pola diatas bisa ditafsirkan bahwasanya pertama, pemilik produk nampaknya tidak sabar untuk menjual produk mereka sehingga mengharuskan mereka berlomba-lomba untuk cepat-cepat menayangkan iklan produk mereka, bahkan jauh sebelum Ramadhan tiba. Kedua, kreasi-kreasi untuk menciptakan variasi produk untuk Ramadhan terus dilakukan oleh perusahaan, hal ini untuk memenuhi hasrat tinggi para konsumen saat Ramadhan. Sehingga disini kebutuhan “palsu” yang sebenarnya tidak harus dipenuhi oleh masyarakat, sebagai akibat dari sifat konsumtif, bertemu dengan egoisme perusahaan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di bulan penuh berkah ini. Ketiga, memunculkan pola konsumtif masyarakat yang jelas dilakukan oleh produsen selaku pemangku kepentingan pasar, yang sebenarnya ikut bertanggung jawab atas pola konsumtif masyarakat hingga mencapai tingkat yang cukup tinggi seperti saat ini.keempat, melalui konstruksi yang dibangun produsen, mampu menciptakan kelalaian konsumen akan prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa pembudayaan atas pola konsumtif yang dilatih oleh para pemangku kepentingan pasar ini mengakibatkan munculnya apa yang disebut dengan masyarakat konsumtivisme. Kata konsumtivisme adalah gabungan dari dua suku kata yaitu konsumtif dan isme. Konsumtif yang berarti adalah sifat menghabiskan atau memakai. Hal ini menjelaskan bahwa kecenderungan manusia adalah memakai atau menghabiskan. Seperti biasanya ketika manusia dalam setiap harinya harus memakai atau menghabiskan makanan sebagai sumber energi, atau ketika manusia dalam setiap detiknya harus memakai oksigen sebagai salah satu kebutuhan pokok tubuh manusia. Hal ini menjadi sebuah kodrat bahwa manusia adalah mahluk konsumtif. Akan tetapi berbeda jika kata konsumtif telah ditambah dengan isme yang berarti sudah memasuki wilayah yang lebih substansial yaitu menjadi sama dengan kata Nasionalisme, Patriotisme, dan Kapitalisme. Isme disini berarti mempunyai makna pandangan hidup, falsafah, atau ideologi, sehingga konsumtif adalah menjadi pandangan hidup, ideologi, gaya hidup atau falsafah hidup yang difokuskan pada nilai-nilai untuk menghabiskan, dan memakai sesuatu. Falsafah yang tertanam akan mempengaruhi setiap pola piker, perkataan, hingga perbuatan, yang awalnya, dikontruksikan oleh pemangku kepentingan pasar, sehingga apapun dalam setiap kegiatanya berujung pada satu tujuan yaitu menghabiskan atau memakai.
Bulan Ramadhan yang seharusnya sebagai refleksi umat atas ketidakmerataan tingkat ekonomi manusia, sehingga dalam puasa kita diuji untuk ikut merasakan dunia lain yang sedang merasakan kelaparan, berubah menjadi ajang untuk meningkatkan pola konsumtivisme masyarakat, karena konstruksi pemangku kepentingan pasar. Sehingga puasa sesungguhnya berfungsi untuk menahan nafsu menjadi ajang untuk meningkatkan nafsu untuk membelanjakan kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya pemborosan. Hal ini wajar ketika esensi puasa tidak menjadi sebuah dasar atas ritual ini, sehingga ritual puasa kering akan pemaknaan. Artinya pemahaman puasa hanya ikut merasakan lapar saja, akan tetapi tidak sampai pada sebuah pemaknaan bahwa, nafsu untuk membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang tidak diperlukan, harus ditahan pula, walaupun godaan akan nafsu itu terus menerus dilakukan. Sehingga seolah-olah pemahaman yang berkembang bagi orang yang berpuasa saat ini adalah hanya ikut merasakan rasa lapar dan dahaganya kaum fakir dan miskin, tetapi tidak sampai pada usaha untuk merasakan kaum fakir dan miskin yang juga tidak pernah bisa merasakan nikmatnya belanja barang mewah, membeli pakaian bagus atau merasakan minuman sirup yang manis dan berkelas.
Dengan demikian pantaslah jika Ramadhan tahun ini atau tahun-tahun yang akan datang menjadi sebuah bulan yang tidak hanya diharapkan karena keagunganya, akan tetapi diharapkan juga karena potensi konsumtif masyarakatnya oleh orang-orang tertentu selaku pemangku kepentingan pasar. Sehingga jika orang biasanya berkata Marhaban Ya Ramadhan, saya lebih suka dan saya anggap relevan jika berkata Marhaban Ya Konsumtivisme, bukan karena Ramadhanya, tapi karena dampak dari mekanisme kepentingan pasar.
      “Kalau petani memaksakan menjual sapi, agaknya akan kesulitan karena sapi impor mempunyai harga yang lebih rendah. Oleh karena ini ada baiknya petani memanfaatkan harga pasar daging.” Demikianlah usulan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta. Astungkoro, kamis (5/5) yang dimuat dalam sebuah media massa jum’at lalu(6/5). Usulan ini terkait dengan menyiasati anjloknya harga jual sapi yang terjadi akhir-akhir ini. Kalau kita mencermati apa yang diusulkan oleh Astungkoro, terlepas dari serius atau tidaknya usulan yang diberikan, dan juga terlepas dari pendapat personalkah atau mewakili institusi yang dikepalainya, kita akan melihat bahwa kondisi harga sapi sekarang telah membuat beberapa kalangan mulai bingung dan frustasi. Sampai-sampai solusi yang diberikan pemerintah untuk peternak adalah menjual dalam bentuk daging. Jika usulan ini kita banyangkan mekanisme pelaksanaanya berarti petani secara swadaya menyembelih sapi mereka, dan kemudian menjual daging ke konsumen secara langsung atau ke tengkulak, sehingga petrenak akan memperoleh harga daging, bukan harga sapi.
     Sekilas logis usulan yang diberikan, akan tetapi ada beberapa hal yang dilupakan yang membuat usulan tersebut susah dalam pelaksaan bagi sebagian besar peternak kecil. Pertama: kearifan lokal terutama masyarakat jawa, memelihara sapi bukanlah sebagai mata pecahariaan utama, dan bahkan sebagian besar masyarakat menilai bahwa, sapi masih sebagai hewan klangenan. Orientasi berternak masih sebagai saving dana untuk dimanfaatkan pada masa-masa paceklik, atau dijual saat membutuhkan dana untuk kebutuhan insidental, seperti untuk membanyar uang masuk sekolah anak, untuk hajatan besar, dan lain sebagainya. Dampaknya adalah masyarakat tidak rutin menjual ternak sapi, hanya saat-saat tertentu, itupun skala penjualanya kecil. Sehingga tidak mungkin peternak kecil melakukan proses penyembelihan hingga sampai mencari pembeli, secara teknis sulit dan biaya operasionalnya mahal. Kedua: tidak mudah mencari pangsa pasar untuk menjual daging, apalagi dilakukan secara mandiri oleh para peternak, kalaupun bisa larinya akan ke tengkulak yang membeli lebih murah, atau jika dijual ke tangan jagal, jagal akan lebih memilih untuk membeli sapi bukan daging, ketiga: pertenak kecil bukanlah pedagang yang tahu medan, dan memiliki jaringan luas, keempat: belum adanya jaminan keamanan, dan dukungan dari pemerintah bagi peternak untuk menjual hasil ternak dalam bentuk daging. Beberapa kendala diatas menjadi point yang harus dipertimbangkan secara logis bagi keterlaksananya usulan pemerintah tersebut. 
         Logika yang digunakan dalam membuat usulan ini, selain menghasilkan usulan yang sulit direalisasikan juga memberi sinyal kepada masyarakat seolah-olah pemerintah sekarang hanya sebatas berteori, dan tidak meberi solusi yang riil, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Seharusnya pemerintah mengamalkan jargon “seng usul mikol” supaya masyarakat dan pemerintah bergotong-royong bersama-sama menjalankan usulan ini, selain itu mekanisme pelaksanaanya juga jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, sekarang ini terkesan pemerintah tidak mampu memberikan solusi yang terbaik, atas kondisi yang terus menghimpit peternak kecil. Pemerintah kehilangan kemampuannya sebagai pelindung masyarakat kecil, karena terkesan apa yang diusulkan biarlah masyarakat yang menjalankan, atau sekarang ini pemerintah sedang kehilangan jarak dengan rakyatnya sehingga tidak mampu lagi mengakomodasi keluhan masyarakat yang berdampak pada kebijakan yang sulit direlisasikan untuk rakyatnya. Masalah murahnya harga sapi, yang diwacanakan sebagai dampak impor sapi dari Australia, sehingga secara langsung dampaknya mengenai sektor riil, dalam hal ini adalah pertenak sebagai pelakunya adalah masalah yang bukan sepele. Hal demikian wajar mengingat Yogyakarta menjadi salah satu Provinsi yang jumlah peternak sapi cukup banyak, terutama Kabupaten Gunung Kidul, selain itu masyarakat peternak kecil harus menanggung banyak kerugian karena ongkos pembelian bibit sapi dan pemeliharaan tidak sesuai dengan harga jual. Belum lagi jika dihubungkan dengan system gadhoh yang trend sejak puluhan tahun bagi kalangan peternak kecil, hal ini sangat memukul perekonomian mereka, terutama bagi yang memihara. 
      Seharusnya sudah saatnya masyarakat harus kritis menanggapi isu ini, apakah kemudian isu ini murni akibat dari kebijakan impor sapi dari Australia atau ada indikasi-indikasi permainan ditingkat para pemilik modal besar, yang mewacanakan seolah-olah murahnya sapi lokal akibat serbuan sapi impor? Ataukah kemudian ada keterlibatan pemerintah dalam hal ini? Memang perlu peneyelidikan lebih lanjut terkait hal ini. Terlepas dari wacana tersebut, disini peran pemerintah sangat dibutuhkan, dan seharusnya segera bertindak, mengingat kondisi masyarakat terutama peternak kecil yang tidak mampu lagi mengandalkan hasil penjualan sapi sebagai peyokong perekonomian mereka. Sudah saatnya pemerintah ada digarda paling depan, sebagai aktor utama untuk melindungi masyarakat. Langkah riil dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi hal yang ditunggu-tunggu sebagai solusi atas kondisi ini, bukan hanya sekedar usulan dan teori yang sulit diterima dan implementasinya nol. *Pernah dimuat di kolom opini Kedaulatan Rakyat

Jumat, 20 Agustus 2010


Pendahuluan
          Sejarah islam dalam konteks masyarakat Indonesia memiliki cerita panjang dan berliku-liku. Masyarakat islam dalam sejarah kurun waktu abad 18 sampai awal abad 20, sering dikisahkan sebagai masyarakat yang menderita, terjajah dan termarjinalkan, sampai pada munculnya sejarah para tokoh-tokoh islam yang mencoba membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Restrukturasi pemahaman Islam dalam konteks masyarakat Indonesia yang dilakukan oleh tokoh-tokoh islam, dalam cacatan sejarah sesungguhnya belum banyak diungkap lebih dalam dasar pemikiranya. Padahal peran-peran yang dilakukan adalah sebuah upaya membangun masyarakat yang bebas melalui pembudayaan nilai-nilai agama.
          Salah satu tokoh lokal dalam narasi sejarah nusantara adalah Mangkunegoro I sebagai tokoh yang sukses mengejawantahkan nilai-nilai Islam ke dalam sebuah ideologi pembebasan, perjuangan, dan pendidikan dalam rangka menghancurkan tirani Belanda dan Pemerintahan Mataram Islam yang telah berpihak pada kolonialisme. Adapun sedikit kisah dan dasar pemikiran Mangkunegoro I, agar kita lebih mengenal dan memahami konteks Sosial-Budaya masa dakwah beliau, yang dikutip dari Babat Tutur via Zainudin yang ditulis oleh KGPAA Mangkoenegoro abad 18 M adalah sebagai berikut:
            Sebagaimana kita ketahui bahwa datangnya kolonial Belanda pada abad 17 masehi memulai ekspansinya terhadap kerajaan Mataram Islam. Belanda sebenarnya bukanlah sebuah entitas yang kuat, akan tetapi cerdas dalam memainkan setiap perannya, dalam rangka menggerogoti kekuasaan Mataram Islam. Belanda memainkan politiknya yang dikenal dengan devide et Impera, karena Belanda menyadari kekuatan militernya tidak akan mampu menyaingi Mataram. Sehingga pada akhirnya, tahun 1757 dan 1813 terjadi perjanjian Giyanti dan muncullah dua kekuasaan dibawah naungan Gurbenur jenderal Belanda, yaitu Hamengkubuwono (Yogyakata) dan Pakubuwono (Surakarta). Kedua kerajaan telah menjadi sempat menjadi representasi penjajah Belanda, Belanda melalui Hatings telah mempengaruhi (menggunakan penafsiran yang sempit terhadap takdir dalam islam) dan merusak idealism kebebasan, dan akal sehat , dua keraton Islam ini. Hartings pernah berkata berkata: Sampun Wonten manah kang sakserik, lawan sampun andarbeni manah, malang sarambut gawene, mapan wus pasthinipun, wong kumpeni darmi amalih, atas karsaning Alloh, dipun sami runtut, kumpeni darmi kewala, srinarendra legeg tan angling, kewran ajrih pineksa (Hartings: 84:301 via Zainudin).
Artinya: janganlah Sultan dan Sunan merasa kecewa, lagipula jangan terlintas pikiran yang jelek sedikitpun juga, sebab sudah menjadi kehendak Alloh, Kumpeni hanya bertindak membagi saja, hendaknya selalu rukun, kumpeni hanya melakukan apa yang telah digariskan Alloh, raja susunan tampak membisu seribu basa, tak sepatahpun tak terucap, hatinya menemui kesulitan, merasa ketakutan karena dipaksa keadaan.

Periode Mangkunegoro 1

          Adalah Mangkunegoro I (MN I) yang tumbuh dalam kondisi zaman yang dikuasai oleh penguasa yang tunduk dengan Kolonial, setiap kebijakan Kraton yang tidak sesuai dengan kehendak Belanda dilarang sehingga muncul masyarakat yang tertindas. Kekuatan agama telah tidak mampu menjadi kekuatan pembebasan, bahkan menjadi kekuatan pelanggeng status quo para penguasa tirani ini . MN I sebagai keluarga Kraton yang masih memiliki kekuasaan dan hati nurani, mencoba menafsirkan agama dengan kacamata yang sangat berbeda dengan masyarakat saat itu, yang sedang dipengaruhi oleh raja yang terbelenggu oleh kolonial. MN I berpandangan agama adalah kekuatan pembebasan dari kekuatan selain Alloh, hal ini mampu membawa MN I dalam kondisi berselisih dengan dua raja. MN I memimpin berbagai perlawanan dan harus menghadapi tiga pemerintahan sekaligus yaitu Belanda, Yogyakarta, dan Surakarta. Keberanian beliau sering dikisahkan sebagai perlawanan Pangeran Slambernyowo yang heroik.
Sawab aku wes anekad tur aderah, batur kabeh suntari, yen tresna maringwang, insun tedha mring Alloh, barengo mati lan mami, saure kukila, sedoyo kang prajurit. (Babat Tutur,Durmo, 14: 257 via Zainudin)
Artinya: aku telah bertekad bulat, tidak ada pilihan lain mati atau mukti, kalian prajuritku semua, jika kalian cinta padaku, marilah kita bersama bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan, andaikata aku gugur di medan laga, mari kita gugur bersama, gugur di kaharibaan Alloh, Segenap prajurit menyatakan kesanggupan. (Babat Tutur,Durmo, 14: 257 via Zainudin, 2000)
Kemudian selain itu pandangan akan dunia keislaman, menurut pandangan MN I adalah sebuah hal yang harus diinternalisasikan nilai-nilainya, agar masyarakat memahami tentang keislaman. Hal ini ditampilkan dengan sikap kompromis beliau dalam memadukan antara Budaya Jawa dengan Islam, dalam konteks membendung arus pemahaman Islam, dalam pengaruh dua penguasa tirani dibawah Belanda.
Pepanganan bangun enjing, enjinge mariem monggang, para kaum donga kabeh, sasampuniro kondangan, mandhapi ringgit tiyang, pandene wong nonton agung, pangeran anerat kuran. (Babat Tutur, Asmaradana, 3 123/235 via Zainudin, 2000)
Artinya: pagi harinya panganan telah disediakan, disertai penghormatan meriam dan gamelan monggang, para kaum semuanya memanjatkan doa, di pendopo digelar wayang orang, banyak sekali yang menyasikan, pangeran dipati berkenan menulis Quran. (Babat Tutur, Asmaradana, 3 123/235 via Zainudin,2000)
Dalam kontek kehidupan ekonomi dan social abad 18 adalah masa sulit, Belanda menguasai pantai utara jawa, sedangkan dua keraton Mataram harus membayar pajak tinggi kepada Belanda. Alhasil rakyat yang menanggung beban itu. Kehidupan wanitapun tidak pada kondisi yang beruntung. Wanita diperlakukan sebagai barang atau being-in-itself, bukan being-for-itself,(Zainudin: 2000) telah jamak pula, wanita dikenal: Lwirning tan sarju ring jagat tri gatinya, tar hana mamener luahnya kawruhi, ika stri wwad bahnawi tar reju wilud, lunika padha tan wenang tutukna .(pada hakikatnya apa yang tidak pantas didunian ini ada tiga macam, ulahnya yang tak pantas, yaitu perempuan, akar, sungai, jalanya berkelok tidak pantas kita tiru dan berhati-hati jika bergaul dengan mereka.(serat Nitri cotro via Zainudin, 2000)
Pandangan MN I terhadap ekonomi, social, dan kesataraan gender, ditaafsirkan berbeda yaitu dapat kita ketahui sebagai berikut:
Sarengipun tunggil sasi warsa, bandaran pasar legi, bangun dinan-dinan, nora pinupun beya,cina mupu den mantuni, kinarya dana, sidhekah saben legi. (Babat Tutur, Durmo, 26: 35 via Zainudin, 2000).
Artinya: bulan syawal pembangunan tiap-tiap hari dilakukan di Bandaran pasar legi, lagi pula tiap jatuh pasaran legi, segala jenis pajak ditiadakan, Cina-cina pun tidak dipungut biaya, pembebasan itu sebagai bentuk sedekah. (Babat Tutur, Durmo, 26: 35 via Zainudin, 2000)
Beras lan uyah miwah kang beras ketan, mring kang bala waradin, serta bangun pasar, pasar pon ing ngajengan, kretek dipun dandani, kakalen pasar, dinudhukan waradin. (Babat Tutur, Durma: 16, via Zainudin, 2000)
Artinya: beras, garam, dan beras ketan diberikan kepada semua wadyabala secara merata, kemudian membangun pasar pon didepan kraton dan memperbaiki jembatan, sanitasi di pasarpun dibangun. (Babat Tutur, Durma: 16, via Zainudin, 2000)
Ambal ping tiga prajurit estri, kang mulat andongong, dene pawestri kebat tingkahe, rampek bareng trengginas tarampil, gawok kang ninggali, pan kalah wong kakung. (Babat Tutur,Mijil,14, Via Zainudin, 2000)
Artinya: tiga kali pangeran dipati memerintahkan prajurit wanita, melepaskan tembakan salvo, mereka tampak handal,rampak, serasi, cekatan, dan menguasai, yang menonton kesemuanya heran biarpun prajurit lelaki kalah juga. (Babat Tutur,Mijil,14, Via Zainudin, 2000)
Sadina pangran diptya, appearing dhuwit marang kang abdi, peparing beras panda agung, sedaya pan warat, serta ingkang abdi sadaya winuruk, dongane wong sholat (Babat Tutur: Pangkur, 28, Via Zainudin 2000)
Artinya: sehari penuh pangeran dipati memberi uang kepada abdi juga diberikanya mereka beras, secara merata, semua para abdi diberi pengajaran doa-doa sholat. (Babat Tutur: Pangkur, 28, Via Zainudin 2000)
Potret kehidupan MN I, sebagai wakil dari pembaharu abad ke 18, sebagai representasi perlawanan budaya lokal terhadap kolonialisme dan pemahaman agama yang mandek akibat campur tangan Belanda. Kekusaan Mataram yang telah tunduk kepada kolonial, rupanya merubah sikap dan mental raja yang mudah didekte dan mengorbankan kepentingan rakyat jelata. Bahkan keberadaan agama diarahkan sebagai pelanggeng dan alat mempertahankan kondisi yang menindas rakyat ini. Bagaimanapun kalau kita mencoba menafsirkan pandanan MN I untuk melakukan penafsiran ulang terhadap agamanya dan diejawantahkan dalam kehidupan sosialnya adalah wujud kesadaran beliau dalam melihat situasi zamanya. dan kemudian agama mampu dipadukan sebagai solusi atas masalah-masalah zamanya. Internalisasi nilai-nilai keislaman dalam budaya jawa menjadi point penting untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk memahami dan menyadari kondisi zamanya. Kekuasaanpun menjadi sebuah hal yang harus diingkari jika kekuasaan telah tidak memihak kepada rakyat. Dua abad kemudian K.H Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah sebagai representasi dari pemahaman nilai-nilai Islam dalam konteks lokal pada abad 20, mencoba kembali mestukturasi pemahaman islam masyarakat.
Periode Akhmad Dahlan
Background kelahiran Muhammadiyah sebagai respon terhadap masyarakat yang bodoh dan miskin akibat penjajahan kolonial, K.H Ahmad Dahlan founding father Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga sosial seperti Penolong Kesengsaraan Oemum (PKO), dan untuk pendidikan Muhammadiyah mendirikan sarana-sarana pendidikan seperti Sekolah Rakyat. Dakwah semacam ini sebagai upaya memahamkan Islam dalam konteks masyarakat yang urban , sehingga perlunya melihat kebutuhan masyarakat dengan mempertimbangkan peta sosiologis dan psikologisnya. Keberhasilan Ahmad Dahlan membaca peta medan dakwah ini, menjadikan dakwah Islam beliau sukses dan berjalan damai dan toleran. Hal-hal inilah yang menjadikan Muhammadiyah mampu menerapkan dakwah Islam yang kultural dengan masyarakat perkotaan yang secara sosio-kultur berpandangan lebih praktis, plural, dan rasional . Sehingga penanaman Islam melalui lembaga-lembaga pendidikannya mampu diterima dan menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kemudian apa yang telah dilakukan K.H Ahmad Dahlan adalah sebuah proses restrukturasi pemahaman masyarakat islam terutama pada konteks itu adalah masyarakat sekitar keraton. Di zamannya beliau mencoba mengembalikan nilai-nilai islam yang telah hilang akibat penjajahanya yang lama telah dilakukan oleh Belanda. Inferioritas nampaknya telah mendarah daging didalam pemahaman masyarakat korban penjajahan. Nilai-nilai agama yang lama dipahami teryata telah tumpul dan tidak sesuai dengan kondisi pemeluknya. Akan tetapi setelah munculnya Ahmad Dahlan dengan pemahaman islam barunya, nilai-nilai islam sebagai sebuah kekuatan mulai di munculkan kembali, sebagai solusi atas permasalahn-permasalahan yang ada.

Pembahasan
Setelah saya ngalor-ngidul, menarasikan sebagaian kejadian dan pemikiran-pemikiran penting dalam sejarah Indonesia, saya mencoba menggenahkan maksud penulisan saya ini supaya sedikit lebih bermakna. Awal sekali saya mencoba masuk pada pemikiran lokal yang merujuk pada pemikiran Mangkunegoro I (8 april 1752 M) yang mencoba merestrukturasi pemahaman islam dengan memasukan islam dalam konteks budaya lokal dan dimaknai sebagai sebuah kekuatan pembebasan. Sebagai sebuah analisis, agar kelihatan lebih ilmiah saya mengutip tulisan Nurcholis Madjid, kaitanya peran islam dalam menanggapi budaya adat, sebagai berikut:
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara islam dan budaya lokal di akui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul-Fiqh, bahwa adat itu dihukumkan (al-‘adatu muhkamat) atau yang lebih lengkapnya adat adalah syari’at yang dihukumkan (al-‘adatu syari’ah muhkamat), artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam islam.
Berkenaan dengan itu, perlu lagi ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat, atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah makna kehadiran islam di suatu tempat atau negeri. Karena itu setiap masyarakat islam mempunyai masa jahiliyahnya sendiri yang sebanding dengan apa yang ada pada bangsa arap.( Nurcholis Madjid. 1982)
Demikian apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid terkait hubungan budaya lokal dengan islam. Nampak jelas pada Babat Tutur bahwa Mangkunegoro I mempunyai konsep dakwah islam yang melampui konteks social-kultur masyarakatnya. MN I menggunakan pendekatan yang arif dan bijaksana, serta mampu memadukan semua aspek kultur lokal dengan agama islam. konsep al-‘adatu syari’ah muhkamat dapat di terapkan dalam kehidupan social kemasyarakatan, sehingga agama mendapat regulasi dari adat yang ada, begitu juga sebaliknya adat mendapat pengakuan dari Islam, sehingga keduanya saling menguatkan.
Bagaimanapun tirani pemerintah lokal dan Belanda adalah representasi kekuatan yang hanya diarahkan pada kepentingan masing-masing pasar. Belanda berkepentingan memperkuat ekonominya sebagai salah satu syarat hidup di masyarakat Eropa(untuk mempersiapkan era masyarakat industri), dan harus bersaing dengan Inggris, Italia, Parancis, dan lainya. Proses ini dipandang sebagai keharusan untuk memperbanyak sumber-sumber alam yang dikuasai di Dunia Timur. Sehingga akibat pemikiran bangsa Belanda yang praktis ini, menghalalkan menindas bangsa lain, yang menghalangi kepentinganya. Begitu juga dengan kekuatan Kraton yang tetap berambisi mempertahankan status quo-nya. Tirani inilah yang menggugah MN I dengan segala kemampuan fikir lokalnya, untuk memperluas tafsir agama menjadi ajaran pembebasan. Kemudian pembebasan ditafsirkan lagi dalam sebuah kerangka fikir yang humanis dan lebih komplek, sehingga pembebasan bukanlah melulu dalam hal fisik. Akan tetapi kekuatan spiritual, ekonomi, skill, dan budaya, yang diwujudkan dalam bentuk pendidikan.
Kemudian saya membahas tentang Restrukturasi pemahaman Islam yang dilakukan oleh K.H Ahmad Dahlan, di tengah-tengah zaman modern dan barat telah mapan dengan julukan masyarakat industrinya, sehingga budaya pragmatism sudah masuk didalamnya, hal ini ditunjukan dengan penguasaan kolonial didaerah jajahanya. Selain itu penindasan dan penghilangan kemanusiaan dilancarkan demi memenuhi kebutuhan industrinya.Apa yang telah dilakukan Ahmad Dahlan mencoba membangun kembali fungsi agama sebagai sebuah ideologi pergerakan untuk mengarah ke kehidupan yang lebih baik.
Tentu saja apa yang telah dilakukan baik Ahmad Dahlan atau Mangkunegoro I, adalah kesadaran pribadi masing-masing untuk bergerak pada sebuah kesadaran kolektif yang mencoba menstrukturkan kembali budaya islam sehingga mampu menjadi sebuah entitas atas solusi problem umat. Lalu bagaimana dengan konteks sekarang?
Kesimpulan
Restrukturasi pemahaman islam bagi masyarakat bangsa Indonesi adalah point penting yang dilancarkan oleh kedua tokoh guna menanggapi kondisi zamanya yang tidak mendukung dan cenderung pada menghilangkan kebebasan atau hak hidup manusia. Point penting dalam proses ini adalah memahami kondisi social masyarakat dan menempatkan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan sebagai solusi atas permasalahan yang ada.
1. Nicholas Hartingh (1754), adalah seorang intelektual sekelas C. Snouck Hourgronje yang ditugasi pemerintah Belanda untuk meneliti sosio-kultur masyarakat Aceh. N.Hatingh juga menjabat sebagai Gurbenur direktur jawa pantai utara-timur yang terkenal cerdas karena menguasasi bahasa dan budaya jawa dan sebagai intelektual yang berhasil memecah kerajaan Mataram, menjadi kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.
2. Peristiwa rusaknya pemerintahan mataram juga digambarkan oleh pujangga kita Ranggawasito (1802-1874), yang menyebutkan bahwa “ sekarang martabat negara, tampak telah sunyi seyap, sebab rusak pelaksanaan peraturanya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, cendikiawan dan para ahli hanyut ikut arus…..(dikutip dari Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat. Tiara wacana, 2006, Yogyakarta.)
3. Belanda mengangakat pangeran Pakubuwono III, dengan gelar Kajeng susuhan pakubuwono senopati ngaloga Abdurrahman sayidin panatagomo. Politik ini dilancarkan guna melanggengkan kepentingan belanda atas Mataram.zainuddin fananie.2000, Restrukturasasi Budaya Jawa : perspektif KGPAA Mangkunegoro I Muhammadiyah University Press.
4. Mengingat Muhammadiyah sendiri didirikan di pusat kraton Yogyakarta sekaligus pusat pemerintahan Belanda di Yogyakarta. sehingga paling tidak masyarakat telah bersentuhan dengan budaya belanda yang lebih maju.selain itu melihat kenyataan perkembangan Muhammadiyah yang lebih ke masyarakat perkotaan.
5. Dalam sejarah kita mengetahui bahwa muhammadiyah tumbuh dilingkungan keraton yang feodalistik dan kuat akan Budaya jawanya. Akan tetapi sejak abad ke 19 belanda telah banyak membangun berbagai instrument guna menguatkan cengkraman politiknya, dengan membangun berbagai lembaga pendidikan (dalam sejarah dikenal politik balas budi). Secara sosiologis hal ini mempunyai dampak pada masyarakat. Masyarakat secara tidak langsung telah bersinggungan dengan cirri budaya modern atau Urban yang dikenalkan oleh pemerintah Belanda.

Daftar Pustaka:
Fananie M. Zainudin, 2000 Restrukturasasi Budaya Jawa : perspektif KGPAA Mangkunegoro I.
Reorientasi Wawasan Keislaman. Yogyakarta: LPPI-UMY.
Madjid Nurcholis. 1982, Islam dan Budaya Lokal: masalah Akulturasi Timbal-Balik dalam Islam Doktrin dan Peradaban. Paramadina, Jakarta.
Kuntowijoyo,2006. Fungsi Agama dalam Kehidupan Modern dalam Budaya dan Masyarakat. Tiara wacana.Yogyakarta.