Minggu, 22 Agustus 2010


Jamak para pelaku usaha telah memboking sejumlah televisi swasta untuk menayangkan iklan produknya jauh hari sebelum memasuki Ramadhan. Dalam iklan tersebut ditampilkan bagaimana dahaganya puasa yang harus dihilangkan dengan meminum sirup, kemudian iklan mengarahkan persepsi konsumen bahwa sirup mampu menyatukan perbedaan yang ada, dan bukan buka puasa itu sendiri, kemudian iklan obat, yang menjelaskan bahwa puasa itu mengakibatkan penyakit perut tertentu, sehingga harus minum obat setelah sahur dan sebagainya, jelas bahwa iklan ini hanya memberi arahan yang tidak benar dan menyebarkan ketakutan bahwa puasa itu penyebab sakit tertentu. Kemudian produk-produk yang sesungguhnya tidak kaitanya dengan Ramadhan, akan tetapi disetting sehingga seolah ada kaitanya dan harus dibeli konsumen saat Ramadhan, biasanya mereka mengatas namakan Ramadhan yang kemudian menawarkan dengan harga yang lebih murah, atau paket-paket tertentu. Dan masih banyak iklan yang hanya memanfaatkan momentum puasa sebagai pelaris produk mereka.
Melihat pola-pola diatas bisa ditafsirkan bahwasanya pertama, pemilik produk nampaknya tidak sabar untuk menjual produk mereka sehingga mengharuskan mereka berlomba-lomba untuk cepat-cepat menayangkan iklan produk mereka, bahkan jauh sebelum Ramadhan tiba. Kedua, kreasi-kreasi untuk menciptakan variasi produk untuk Ramadhan terus dilakukan oleh perusahaan, hal ini untuk memenuhi hasrat tinggi para konsumen saat Ramadhan. Sehingga disini kebutuhan “palsu” yang sebenarnya tidak harus dipenuhi oleh masyarakat, sebagai akibat dari sifat konsumtif, bertemu dengan egoisme perusahaan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di bulan penuh berkah ini. Ketiga, memunculkan pola konsumtif masyarakat yang jelas dilakukan oleh produsen selaku pemangku kepentingan pasar, yang sebenarnya ikut bertanggung jawab atas pola konsumtif masyarakat hingga mencapai tingkat yang cukup tinggi seperti saat ini.keempat, melalui konstruksi yang dibangun produsen, mampu menciptakan kelalaian konsumen akan prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa pembudayaan atas pola konsumtif yang dilatih oleh para pemangku kepentingan pasar ini mengakibatkan munculnya apa yang disebut dengan masyarakat konsumtivisme. Kata konsumtivisme adalah gabungan dari dua suku kata yaitu konsumtif dan isme. Konsumtif yang berarti adalah sifat menghabiskan atau memakai. Hal ini menjelaskan bahwa kecenderungan manusia adalah memakai atau menghabiskan. Seperti biasanya ketika manusia dalam setiap harinya harus memakai atau menghabiskan makanan sebagai sumber energi, atau ketika manusia dalam setiap detiknya harus memakai oksigen sebagai salah satu kebutuhan pokok tubuh manusia. Hal ini menjadi sebuah kodrat bahwa manusia adalah mahluk konsumtif. Akan tetapi berbeda jika kata konsumtif telah ditambah dengan isme yang berarti sudah memasuki wilayah yang lebih substansial yaitu menjadi sama dengan kata Nasionalisme, Patriotisme, dan Kapitalisme. Isme disini berarti mempunyai makna pandangan hidup, falsafah, atau ideologi, sehingga konsumtif adalah menjadi pandangan hidup, ideologi, gaya hidup atau falsafah hidup yang difokuskan pada nilai-nilai untuk menghabiskan, dan memakai sesuatu. Falsafah yang tertanam akan mempengaruhi setiap pola piker, perkataan, hingga perbuatan, yang awalnya, dikontruksikan oleh pemangku kepentingan pasar, sehingga apapun dalam setiap kegiatanya berujung pada satu tujuan yaitu menghabiskan atau memakai.
Bulan Ramadhan yang seharusnya sebagai refleksi umat atas ketidakmerataan tingkat ekonomi manusia, sehingga dalam puasa kita diuji untuk ikut merasakan dunia lain yang sedang merasakan kelaparan, berubah menjadi ajang untuk meningkatkan pola konsumtivisme masyarakat, karena konstruksi pemangku kepentingan pasar. Sehingga puasa sesungguhnya berfungsi untuk menahan nafsu menjadi ajang untuk meningkatkan nafsu untuk membelanjakan kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya pemborosan. Hal ini wajar ketika esensi puasa tidak menjadi sebuah dasar atas ritual ini, sehingga ritual puasa kering akan pemaknaan. Artinya pemahaman puasa hanya ikut merasakan lapar saja, akan tetapi tidak sampai pada sebuah pemaknaan bahwa, nafsu untuk membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang tidak diperlukan, harus ditahan pula, walaupun godaan akan nafsu itu terus menerus dilakukan. Sehingga seolah-olah pemahaman yang berkembang bagi orang yang berpuasa saat ini adalah hanya ikut merasakan rasa lapar dan dahaganya kaum fakir dan miskin, tetapi tidak sampai pada usaha untuk merasakan kaum fakir dan miskin yang juga tidak pernah bisa merasakan nikmatnya belanja barang mewah, membeli pakaian bagus atau merasakan minuman sirup yang manis dan berkelas.
Dengan demikian pantaslah jika Ramadhan tahun ini atau tahun-tahun yang akan datang menjadi sebuah bulan yang tidak hanya diharapkan karena keagunganya, akan tetapi diharapkan juga karena potensi konsumtif masyarakatnya oleh orang-orang tertentu selaku pemangku kepentingan pasar. Sehingga jika orang biasanya berkata Marhaban Ya Ramadhan, saya lebih suka dan saya anggap relevan jika berkata Marhaban Ya Konsumtivisme, bukan karena Ramadhanya, tapi karena dampak dari mekanisme kepentingan pasar.

0 komentar:

Posting Komentar