Kamis, 22 Agustus 2013


Wanita Nias sedang berbondong pergi ke Gereja
Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron&Byrne, 1979). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997 dalam Baron&Byrne, 1979). Pengertian Gender dari kamus John Echol adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Pembahasan Gender menurut Mufidah secara normative pada:
1. Marginalisasi Perempuan
Anggapan bahwa perempuan dalam masyarakat konvensional kerap menjadi obyek penindasan dan terkalahkan dalam hal apapun termasuk peran dalam keluarga.
2. Penempatan perempuan pada subordinat
Anggapan wanita hanya sebagai pelengkap kehidupan kaum laki-laki dalam istilah jawa wanita sebagai konco wingking.
3. Stereotype Perempuan
Pelabelan atau sterootype perempuan dalam kontruksi sosial masyakat tertentu menjadi image wanita menjadi buruk. Dalam positivism yang diletakan oleh Hegel yang membuat stereotype aktif-pasiv, ia bersikukuh bahwa di dunia ini ada obyek aktif dan pasif, laki-laki adalah aktif sedangkan wanita adalah pasif.
4. Kekerasan(Violence)
Wanita dibagian wilayah dunia selalu dikaitkan dengan obyek kekerasan, karena secara kodrati adalah makhluk lemah yang harus dilindungi.
5. Beban Kerja yang tidak Proposional.
Anggapan wanita hanya sebagai pendamping dan pelengkap menjadikan wanita kerap dijadikan obyek eksploitasi, terutama didalam lapangan pekerjaan.
Pemahaman dan kontruksi pikiran yang menjadi dasar para kaum feminis kerap menuntut ulang dalam setiap metode penelitian sosial. Penelitian sosial harus mempertimbangkan peran wanita dan sadar akan pengaruh wanita, sehingga penelitian dinilai akan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga apa yang telah mempengaruhi para peneliti dari kalangan Arkeolog, Arkeologi harus mempertimbangkan peran kaum wanita masa lalu dalam dengan melihat kemungkinan-kemungkinan yang mucul dalam obyek kajiannya.
Penerapan dalam Ilmu Arkeologi.
Banyak penelitian dalam Arkeologi yang menggunakan pendekatan Gender, penelitian-penelitian ini kebanyakan berangkat dari asumsi marginalisasi peran wanita dalam kasus-kasus penafsiran obyek kajian arkeologi. Seperti yang dilakukan oleh Karlotte Brysting Damm ditulis dijurnal yang berjudul Time, Gender, and Produktion: A critical Evalution of Archaelogical Time Concepts, yang mencoba mempertanyakan kembali kefalidan penafsiran kaitannya konsep waktu dalam Arkeologi yang mencoba mengevaluasi pandangan atau konsep waktu yang dipahami oleh peneliti barat yang menurutnya kurang tepat saat digunakan dalam menafsirkan konstruksi kebudayaan masyarakat masa lampau. Damm membandingkan dengan konsep waktu menurut orang Papua yang memiliki perbedaan dengan konsep barat dan kemudian dikaitkan dengan produktivitas dan peran kaum wanita dalam membuat gerabah
dengan melihat akumulasi kereweng dalam sebuah situs. Selain itu dalam penelitian Irigaray, dan Cixous, 1985 yang memunculkan istilah Phallocentrism dalam setiap penafsiran yang meniadakan peran wanita dalam setiap sejarah peradaban, mencoba berangkat dari kritik penelitian yang telah lalu dan secara kualitatif kembali mengguakan pendekatan Gender, atau penelitian Mary Baker dalam jurnal Gender: Enabling Perspektive or Politically Correct Term? An Analysis of How Gender and Material Culture are Viemed by 1990s Academia, yang berpendapat bahwa harus ada sebuah pemikiran yang melawan dominasi akibat dikotomi dalam setiap penelitian arkeologi, dan masih banyak peneliti-peneliti yang lain yang mengguakan pendekatan ini, termasuk penelitian di Indonesia terutama akhir-akhir ini yang banyak mengungkap peran wanita masa klasik.
Berangkat dari kritik terhadap asumsi-asumsi terhadap kefalidan penelitian arkeolog,dan sampai pada proses penafsiran data yang sangat melihat atau mempertimbangkan peran wanita, seperti contohnya melihat kembali peran wanita dalam masyarakat prasejarah yang selalu diasumsikan sebagai pelaku food Gathering bukan hunter atau pemburu, sehingga anggapan ini menimbulkan kesan peran wanita yang tidak ada dalam konstruksi social, marginalisasi dan lain sebagainya, akan mempengaruhi pada sebuah kesimpulan akhir dalam penelitian.
Kritik Analisis Gender
Sebuah Kritik dari penerapan berbagai penelitian Gender didunia Arkeologi yang dilakukan Alison Wylie dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian arkeologi menggunakan pendekatan ini diawali oleh kritikan dan ketidak kepercayaan akan penafsiran yang dianggap menghilangkan peran-peran wanita. Bahkan menurutnya dalam stadium tertentu akhir-akhir ini penelitian berbasis Gender telah terintervensi oleh kepentingan politik yang cenderung pragmatis. Alasanya adalah seringkali penelitian ini tidak obyektif dan penuh kepentingan, selain itu apa yang disuarakan tidak atau sulit dalam pengaplikasianya di lapangan, melanggaran Norma-norma penelitian, dan selain itu dalam penerapanya sering kali melupakan konteks penelitian yang digeneralkan dalam sebuah teori yang mengikuti faham feminish . Kemudian dia mengutip pendapat yang ada dalam jurnal metodelogi dan teori arkeologi bahwa penelitian arkeologi dengan gender seringkali tidak sesuai dengan teori gender dalam disiplin ilmu gender. Selanjutnya dia mengusulkan bahwa Gender dapat berkontribusi dalam setiap penelitian Arkeologi dengan ketentuan: 1. kejujuran peneliti dalam menafsirkan penemuan Arkeology, 2. Penerapan teori gender harus sesuai dengan disiplin ilmu Gender atau Gender yang Normative (yaitu semata untuk mengungkap marjinalisasi peran wanita dalam obyek penelitian).3. Harus lebih melihat konteks.
Kesimpulan
Meskipun dalam perannya pendekat Gender dalam dunia Arkeologi menuai berbagai kritikan dan atau dukungan, penelitian Gender dalam arkeologi akan lebih obyektif jika tanpa adanya intervensi, dan tentu akan tetap bermanfaat untuk menyumbangkan data dalam disiplin ilmu arkeologi.
Daftar Pustaka:
Mufida, 2003: Paradigma Gender, Banyu Media Publishing. Jawa Timur
Mary Baker: Enabling Perspektive or Politically Correct Term? An Analysis of How Gender and Material Culture are Viemed by 1990s Academia. Jurnal Gender.
Karlotte Brysting Damm: Time, Gender, and Produktion: A critical Evalution of Archaelogical Time Concepts. Tanpa tahun.
Alison Wylie, 2007: Doing Archaelogy as s Feminist: Introduction. Jurnal arkeology Methode and Theory.

0 komentar:

Posting Komentar