Jumat, 23 Agustus 2013


Polonia 3 November 2012, udara segar menyambut kedatangan kami, dan nampak di aspal bandara bekas kubangan air tanda Kota Medan baru saja mendapatkan berkah hujan. Suasana pagi yang masih sepi membuat udara kota masih segar dan belum terkontaminasi asap kendaraan. Setelah beres mengambil carier dan ransel, kami-pun bergegas menuju terminal bandara. Kebetulan disalah satu kios di bandara rumah makan padang sudah membukakan pintunya lebar-lebar, pertanda siap melayani pengunjung. Mungkin saat itulah pikiran kita sama yaitu, ingin segera mengisi perut yang memang sejak pukul 01.00 WIB dini hari perut belum optimal terisi.  
Makanan padang adalah makanan universal bagi kami. Artinya makanan padang menjadi pilihan utama, saat kita buta arah ketika memilih makanan. Kerap saat kita lapar dikota orang, kita tidak usah berfikir panjang soal kecocokan rasa atau kehalalan makanan, ya tentu saja karena masakan padang secara rasa dan kehalalan insyaAlloh terjamin.Tentu ini berlaku bagi kami yang awam masalah kuliner. Dugaan kami tidak terlampau jauh, dan memang masakan Padang hampir sama rasanya dimana-mana, yang membedakan hanyalah soal harga yang sesuai dengan konteks daerahnya.
Jam menunjukan pukul 08.30 waktu Medan. Kami-pun ber-tujuh (ditambah satu orang dari team operasional) seusai menyantap makanan, seperti halnya kawan-kawan PM lain yang sudah mulai memamerkan foto-foto mereka yang terpampang di facebook atau Twiter. kami-pun tak mau kalah untuk segera mencari space yang strategis untuk sekedar berfoto dan memamerannya ke hadapan publik pengguna media sosial. Supaya publik memahami arti foto kita, kita-pun mengambil latar bandara polonia, sehingga setidaknya foto kami banyak bercerita tentang posisi kami.
Setelah narsis di depan kamera, kami kembali didepan rumah makan. Seperti halnya kebanyakan kota-kota di Indonesia, kami-pun masih menyaksikan pemandangan yang cukup membuat kami miris. Tepat disamping kami, anak-anak yang kira-kira masih sekolah dasar harus bekerja menyemir sepatu dan sambil menikmati rokok. Pemandangan ini membuat kami berfikir bahwa, pada kondisi tertentu anak-anak Indonesia harus berjuang untuk hidup dan mengorbankan hak-hak mereka yaitu menikmati pendidikan dan kasih sayang. Tak lama kemudian, sekitar pukul 09.00, dua orang Medan membawa dua mobil menyapa kami. Kami-pun kemudian paham bahwa, team akomodasi sudah mempersiapkan segalanya, termasuk akomodasi kami menuju ke Aceh Utara. Kami-pun segera menuju mobil, meninggalkan pemandangan yang cukup umum tadi. 
Kota Medan menjadi awal perjalanan kami di Pulau Sumatra ini. Pulau yang kaya, dan mempunyai sejarah panjang mulai dari masa klasik kerajaan Sriwijaya dan Samudera Pasai, tempat Ibukota Indonesia saat darurat, dan menjadi tempat lahirnya beberapa tokoh-tokoh nasional seperti Tan Malaka dan tokoh ulama kharismatik masa Orde Baru yaitu HAMKA. bagi kami Sumatera adalah pulau istimewa. Terlebih kami akan menuju ke Bumi Serambi Mekah, tempat yang masyhur dengan berbagai lika-liku sejarahnya yang panjang, dan tempat yang bagi Bangsa Indonesia adalah tempat istimewa.
Saat perjalanan itulah, masing-masing pikiran kami melayang. Saya sendiri memikirkan dan menerka-nerka tentang kondisi masyarakat disana. Sesaat pikiran melayang ke hal lain, tentang kapasitas diri, mampukah merubah entitas perilaku ditengah-tengah kondisi masyarakat yang bisa saja diluar ekspektasi dan seterusnya pikiranku melayang. Sekarang merambah ke kondisi masyarakat di penempatan yang katanya pelosok itu. Cukup capek terus-menerus saya membanyangkan soal Aceh. Pikiran-pikiran yang kadang tak terkendalikan sempat membuat saya tak sempat istirahat selama perjalanan.
Masjid Tua di Sumatera Utara
Waktu Dhuhur-pun datang. Terasa lama sekali, kabarnya delapan jam waktu efektif menuju Lhoksuemawe, sebuah kota yang kabarnya berkembang karena kekayaan buminya. Mobil berhenti di sebuah masjid tua yang membuat jiwa arkeolog saya terpantik lagi. Masjid yang indah dengan arsitektur khas Aceh, sempat membuat kami mengira bahwa kami telah sampai Aceh. Masjid di sebuah daerah di Sumatera Utara itu adalah masjid tua yang dibangun oleh salah satu tokoh ulama didaerah ini. Sayang sekali saya tidak sempat mengabadikan soal nama dan latar belakang sejarahnnya karena waktu tidak banyak. Akan tetapi saya sempat memotret bagian-bagian menarik dari bangunan yang penuh ornamen yang indah itu.
Deretan Tulisan Asmaul Husna di Aceh Timur
Sekitar 3 jam kemudian, kami sampailah di Provinsi Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Timiang. Kesan pertama saya melihat aceh adalah kehidupan keberagamaan masyarakatnnya. Masjid dan balai gampong hampir disepanjang perjalanan terlihat cukup rame. Masjid dan balai menjadi jatung aktivitas masyarakat dalam sebuah gampong atau dusun. Tempat ini menjadi  tempat masyarakat berhubungan dengan Tuhan dan antar sesam manusia, selain itu majlis ilmu yang sering disebut munasyah dan pengajian anak-anak setiap hari diselenggarakan disini. Disepanjang pinggiran jalan juga kami lihat papan-papan bertuliskan Asma’ul khusna yang berjumlah 99 nama indah Alloh. Mungkin nama-nama ini dipaparkan agar masyarakat selalu mengingat nama Alloh dan selalu menghafalnya.
Dua jam kemudian tibalah kami disebuah kota yang cukup rame, yaitu kota Lhouksuemawe. Masjid Islamic Center yang megah menyambut kami dijantung kota itu. Kota kedua terbesar di Provinsi Aceh ini adalah tempatnya pabrik pupuk terbesar di Asia tenggara Iskandar Muda yang dahulu sering muncul didalam pelajaran sekolah dasar. Terlihat disempanjang jalan adalah warung kopi, Aceh adalah surganya warung kopi atau cafe. Sebelum cafe-cafe ala kota menjamur, Aceh telah mengenal warung kopi, tempat berkumpul dan nongkrong bagi semua kalangan dan umur. Kami-pun tak mau melewatkan kesempatan ini, setelah menaruh barang-barang diwisma, sebuah warung kopi yang isunya elite di Lhouksuemawe kami jajal. Dhapu kana kupi, yang kurang lebih artinya ada kopi di dapur adalah nama cafe ini. Cafe ini terletak dipinggir jalan utama dan tepat di depan Islamic Center. Cafe ini dilengkapi beberapa LCD dan proyektor tempat masyarakat menonton pertandingan sepak bola. Dan terlihat didinding terpampang foto-foto yang saya tidak tau siapa itu dan lambang Gerakan Pemuda Pancasila juga dilukiskan ditembok itu.

Suasana Cafe di Lhokseumawe

Cerita hari pertama di Aceh ini diakhiri di cafe ini. Dan akhirnya memutuskan bahwa cafe ini menjadi markas sementara kami saat berkumpul di Lhouksuemawe.

0 komentar:

Posting Komentar