Minggu, 22 Agustus 2010

      “Kalau petani memaksakan menjual sapi, agaknya akan kesulitan karena sapi impor mempunyai harga yang lebih rendah. Oleh karena ini ada baiknya petani memanfaatkan harga pasar daging.” Demikianlah usulan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta. Astungkoro, kamis (5/5) yang dimuat dalam sebuah media massa jum’at lalu(6/5). Usulan ini terkait dengan menyiasati anjloknya harga jual sapi yang terjadi akhir-akhir ini. Kalau kita mencermati apa yang diusulkan oleh Astungkoro, terlepas dari serius atau tidaknya usulan yang diberikan, dan juga terlepas dari pendapat personalkah atau mewakili institusi yang dikepalainya, kita akan melihat bahwa kondisi harga sapi sekarang telah membuat beberapa kalangan mulai bingung dan frustasi. Sampai-sampai solusi yang diberikan pemerintah untuk peternak adalah menjual dalam bentuk daging. Jika usulan ini kita banyangkan mekanisme pelaksanaanya berarti petani secara swadaya menyembelih sapi mereka, dan kemudian menjual daging ke konsumen secara langsung atau ke tengkulak, sehingga petrenak akan memperoleh harga daging, bukan harga sapi.
     Sekilas logis usulan yang diberikan, akan tetapi ada beberapa hal yang dilupakan yang membuat usulan tersebut susah dalam pelaksaan bagi sebagian besar peternak kecil. Pertama: kearifan lokal terutama masyarakat jawa, memelihara sapi bukanlah sebagai mata pecahariaan utama, dan bahkan sebagian besar masyarakat menilai bahwa, sapi masih sebagai hewan klangenan. Orientasi berternak masih sebagai saving dana untuk dimanfaatkan pada masa-masa paceklik, atau dijual saat membutuhkan dana untuk kebutuhan insidental, seperti untuk membanyar uang masuk sekolah anak, untuk hajatan besar, dan lain sebagainya. Dampaknya adalah masyarakat tidak rutin menjual ternak sapi, hanya saat-saat tertentu, itupun skala penjualanya kecil. Sehingga tidak mungkin peternak kecil melakukan proses penyembelihan hingga sampai mencari pembeli, secara teknis sulit dan biaya operasionalnya mahal. Kedua: tidak mudah mencari pangsa pasar untuk menjual daging, apalagi dilakukan secara mandiri oleh para peternak, kalaupun bisa larinya akan ke tengkulak yang membeli lebih murah, atau jika dijual ke tangan jagal, jagal akan lebih memilih untuk membeli sapi bukan daging, ketiga: pertenak kecil bukanlah pedagang yang tahu medan, dan memiliki jaringan luas, keempat: belum adanya jaminan keamanan, dan dukungan dari pemerintah bagi peternak untuk menjual hasil ternak dalam bentuk daging. Beberapa kendala diatas menjadi point yang harus dipertimbangkan secara logis bagi keterlaksananya usulan pemerintah tersebut. 
         Logika yang digunakan dalam membuat usulan ini, selain menghasilkan usulan yang sulit direalisasikan juga memberi sinyal kepada masyarakat seolah-olah pemerintah sekarang hanya sebatas berteori, dan tidak meberi solusi yang riil, dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Seharusnya pemerintah mengamalkan jargon “seng usul mikol” supaya masyarakat dan pemerintah bergotong-royong bersama-sama menjalankan usulan ini, selain itu mekanisme pelaksanaanya juga jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, sekarang ini terkesan pemerintah tidak mampu memberikan solusi yang terbaik, atas kondisi yang terus menghimpit peternak kecil. Pemerintah kehilangan kemampuannya sebagai pelindung masyarakat kecil, karena terkesan apa yang diusulkan biarlah masyarakat yang menjalankan, atau sekarang ini pemerintah sedang kehilangan jarak dengan rakyatnya sehingga tidak mampu lagi mengakomodasi keluhan masyarakat yang berdampak pada kebijakan yang sulit direlisasikan untuk rakyatnya. Masalah murahnya harga sapi, yang diwacanakan sebagai dampak impor sapi dari Australia, sehingga secara langsung dampaknya mengenai sektor riil, dalam hal ini adalah pertenak sebagai pelakunya adalah masalah yang bukan sepele. Hal demikian wajar mengingat Yogyakarta menjadi salah satu Provinsi yang jumlah peternak sapi cukup banyak, terutama Kabupaten Gunung Kidul, selain itu masyarakat peternak kecil harus menanggung banyak kerugian karena ongkos pembelian bibit sapi dan pemeliharaan tidak sesuai dengan harga jual. Belum lagi jika dihubungkan dengan system gadhoh yang trend sejak puluhan tahun bagi kalangan peternak kecil, hal ini sangat memukul perekonomian mereka, terutama bagi yang memihara. 
      Seharusnya sudah saatnya masyarakat harus kritis menanggapi isu ini, apakah kemudian isu ini murni akibat dari kebijakan impor sapi dari Australia atau ada indikasi-indikasi permainan ditingkat para pemilik modal besar, yang mewacanakan seolah-olah murahnya sapi lokal akibat serbuan sapi impor? Ataukah kemudian ada keterlibatan pemerintah dalam hal ini? Memang perlu peneyelidikan lebih lanjut terkait hal ini. Terlepas dari wacana tersebut, disini peran pemerintah sangat dibutuhkan, dan seharusnya segera bertindak, mengingat kondisi masyarakat terutama peternak kecil yang tidak mampu lagi mengandalkan hasil penjualan sapi sebagai peyokong perekonomian mereka. Sudah saatnya pemerintah ada digarda paling depan, sebagai aktor utama untuk melindungi masyarakat. Langkah riil dan dapat dipertanggungjawabkan menjadi hal yang ditunggu-tunggu sebagai solusi atas kondisi ini, bukan hanya sekedar usulan dan teori yang sulit diterima dan implementasinya nol. *Pernah dimuat di kolom opini Kedaulatan Rakyat

0 komentar:

Posting Komentar