“Kalau
petani memaksakan menjual sapi, agaknya akan kesulitan karena sapi impor
mempunyai harga yang lebih rendah. Oleh karena ini ada baiknya petani memanfaatkan
harga pasar daging.” Demikianlah usulan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan
Koperasi dan UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta. Astungkoro, kamis (5/5) yang
dimuat dalam sebuah media massa jum’at lalu(6/5). Usulan ini terkait dengan
menyiasati anjloknya harga jual sapi yang terjadi akhir-akhir ini. Kalau kita
mencermati apa yang diusulkan oleh Astungkoro, terlepas dari serius atau
tidaknya usulan yang diberikan, dan juga terlepas dari pendapat personalkah
atau mewakili institusi yang dikepalainya, kita akan melihat bahwa kondisi
harga sapi sekarang telah membuat beberapa kalangan mulai bingung dan frustasi.
Sampai-sampai solusi yang diberikan pemerintah untuk peternak adalah menjual
dalam bentuk daging. Jika usulan ini kita banyangkan mekanisme pelaksanaanya
berarti petani secara swadaya menyembelih sapi mereka, dan kemudian menjual
daging ke konsumen secara langsung atau ke tengkulak, sehingga petrenak akan
memperoleh harga daging, bukan harga sapi.
Sekilas logis usulan yang diberikan,
akan tetapi ada beberapa hal yang dilupakan yang membuat usulan tersebut susah
dalam pelaksaan bagi sebagian besar peternak kecil. Pertama: kearifan lokal
terutama masyarakat jawa, memelihara sapi bukanlah sebagai mata pecahariaan
utama, dan bahkan sebagian besar masyarakat menilai bahwa, sapi masih sebagai
hewan klangenan. Orientasi berternak masih sebagai saving dana untuk
dimanfaatkan pada masa-masa paceklik, atau dijual saat membutuhkan dana untuk
kebutuhan insidental, seperti untuk membanyar uang masuk sekolah anak, untuk
hajatan besar, dan lain sebagainya. Dampaknya adalah masyarakat tidak rutin
menjual ternak sapi, hanya saat-saat tertentu, itupun skala penjualanya kecil.
Sehingga tidak mungkin peternak kecil melakukan proses penyembelihan hingga
sampai mencari pembeli, secara teknis sulit dan biaya operasionalnya mahal.
Kedua: tidak mudah mencari pangsa pasar untuk menjual daging, apalagi dilakukan
secara mandiri oleh para peternak, kalaupun bisa larinya akan ke tengkulak yang
membeli lebih murah, atau jika dijual ke tangan jagal, jagal akan lebih memilih
untuk membeli sapi bukan daging, ketiga: pertenak kecil bukanlah pedagang yang
tahu medan, dan memiliki jaringan luas, keempat: belum adanya jaminan keamanan,
dan dukungan dari pemerintah bagi peternak untuk menjual hasil ternak dalam
bentuk daging. Beberapa kendala diatas menjadi point yang harus dipertimbangkan
secara logis bagi keterlaksananya usulan pemerintah tersebut.
Logika yang
digunakan dalam membuat usulan ini, selain menghasilkan usulan yang sulit direalisasikan
juga memberi sinyal kepada masyarakat seolah-olah pemerintah sekarang hanya
sebatas berteori, dan tidak meberi solusi yang riil, dan sesuai dengan kondisi
masyarakat. Seharusnya pemerintah mengamalkan jargon “seng usul mikol” supaya
masyarakat dan pemerintah bergotong-royong bersama-sama menjalankan usulan ini,
selain itu mekanisme pelaksanaanya juga jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, sekarang ini terkesan pemerintah tidak mampu memberikan solusi
yang terbaik, atas kondisi yang terus menghimpit peternak kecil. Pemerintah
kehilangan kemampuannya sebagai pelindung masyarakat kecil, karena terkesan apa
yang diusulkan biarlah masyarakat yang menjalankan, atau sekarang ini
pemerintah sedang kehilangan jarak dengan rakyatnya sehingga tidak mampu lagi
mengakomodasi keluhan masyarakat yang berdampak pada kebijakan yang sulit
direlisasikan untuk rakyatnya. Masalah murahnya harga sapi, yang diwacanakan
sebagai dampak impor sapi dari Australia, sehingga secara langsung dampaknya
mengenai sektor riil, dalam hal ini adalah pertenak sebagai pelakunya adalah
masalah yang bukan sepele. Hal demikian wajar mengingat Yogyakarta menjadi
salah satu Provinsi yang jumlah peternak sapi cukup banyak, terutama Kabupaten
Gunung Kidul, selain itu masyarakat peternak kecil harus menanggung banyak
kerugian karena ongkos pembelian bibit sapi dan pemeliharaan tidak sesuai
dengan harga jual. Belum lagi jika dihubungkan dengan system gadhoh yang trend
sejak puluhan tahun bagi kalangan peternak kecil, hal ini sangat memukul
perekonomian mereka, terutama bagi yang memihara.
Seharusnya sudah saatnya
masyarakat harus kritis menanggapi isu ini, apakah kemudian isu ini murni
akibat dari kebijakan impor sapi dari Australia atau ada indikasi-indikasi
permainan ditingkat para pemilik modal besar, yang mewacanakan seolah-olah
murahnya sapi lokal akibat serbuan sapi impor? Ataukah kemudian ada
keterlibatan pemerintah dalam hal ini? Memang perlu peneyelidikan lebih lanjut
terkait hal ini. Terlepas dari wacana tersebut, disini peran pemerintah sangat
dibutuhkan, dan seharusnya segera bertindak, mengingat kondisi masyarakat
terutama peternak kecil yang tidak mampu lagi mengandalkan hasil penjualan sapi
sebagai peyokong perekonomian mereka. Sudah saatnya pemerintah ada digarda
paling depan, sebagai aktor utama untuk melindungi masyarakat. Langkah riil dan
dapat dipertanggungjawabkan menjadi hal yang ditunggu-tunggu sebagai solusi
atas kondisi ini, bukan hanya sekedar usulan dan teori yang sulit diterima dan
implementasinya nol. *Pernah dimuat di kolom opini Kedaulatan Rakyat
0 komentar:
Posting Komentar