Kamis, 05 September 2013

Masa lalu
Pak Geuchik Banta tiba-tiba menghampiriku, sambil menggenggam bendelan kertas agak lusuh yang bertuliskan “Proposal Permohonan Pengadaan Listrik Gampong Araselo”. Awalnya aku mengira ada sesuatu hal serius yang ingin beliau sampaikan, tapi perkiraan itu meleset, karena Pak Geuchik hanya ingin meminjam sejenak Laptopku, untuk mengotak-atik surat sebagai lampiran proposal. Kisah bendelan lusuh ini aku ingat kembali setelah delapan bulan bergaul dengan masyarakat Araselo. Tepatnya saat aku pulang dari Banda Aceh dan tak disangka bahwa malam ini adalah malam pertama warga bercengkrama dengan yang namanya listrik PLN. Ini bukan momentum yang remeh temeh, karena ini adalah perjuangan panjang selama kurang lebih lima tahun. Pak Geuchik pendahulu hingga sekarang, Pak Banta yang dibantu masyarakat naik turun gunung, membawa bendelan lusuh ini. Mereka tak berhenti keluar masuk mulai dari kantor kecamatan sampai Kantor Bupati, tujuannya yaitu memohon dihadirkannya listrik di kampung kami.

Araselo selama ini tak beristrik PLN. Syahdan waktu awal pembangunan kampung di bekas areal hutan ini, jamak masyarakat di sini menggunakan tenaga surya sebagai penerangan dan cukup untuk menghiduokan satu radio untuk memecah keheningan. Waktu terus berlalu, tentu ini tidak sesuai dengan perkembangan jaman, karena kebutuhan akan hiburan dan peralatan elektronik lainnya semakin tak terelakan. Maka tak heran jika sebelum adanya listrik PLN kedai-kedai sebagai jantung kedua pusat peradaban kampung setelah masjid, ramai karena hadirnya daya listrik yang lebih besar bersumber dari genset. Itulah sebabnya kedai bagaikan lampu yang dikerubungi anai-anai karena saking banyaknya orang.

 Berlanjut pada kisah bendelan lusuh “ajaib” yang di bawa pak Geuchik tadi. Alhasil perjuangan pak Geuchik ini membuahkan hasil, sekitar tiga bulan menjelang puasa 1434 H. Petugas PLN naik ke kampung dan tak kurang dari satu bulan, pekerjaan membentangkan kabel dan tiang listrik sepanjang 10 KM itupun rampung. Sebuah kerja kompak yang membuahkan hasil memuaskan. Dan kini saat hari pertama listrik dialirkan, aku baru sadar akan ajaibnya benda bendelan lusuh tadi. Yah kini bendelan ini merubah segala aspek kehiduan masyarakat Araselo. Betapa tidak malam ini kedai buka lebih lama dari biasanya yang hanya pukul 01.00 malam. Termasuk kedai emakku, ternyata emakku berfikiran bahwa listrik PLN lebih murah dari pada listrik genset untuk menghidupkan peralatan elektronik TV, sehingga emakpun tak ragu untuk melayani pembeli lebih lama dari biasanya. Dampaknya anak-anakku juga ngikut nongkrong lebih lama, karena menanti orang tua mereka yang masih keasyikan menonton layar kaca. Paginya lebih heboh lagi, suara penyiar  berita TV, yang selama ini aku rindukan, karena tak pernah terdengar, meramaikan suasana pagi di warung emakku. Belum lagi dengan dendangan pagi lagu dangdut dari radio baru tetanggaku  yang ikut meramaikan pagi itu.

Laju dampak adanya listrik tak bisa dihambat lagi. Banyangkan saja sekarang alokasi keuangan masyarakat lebih dipertimbangan untuk menghadirkan barang elektronik. Setidaknya kini di Araselo ada dua kulkas yang dibeli dua hari pasca ada listrik. Rumah-rumah kini mulai mempunyai ruangan privat untuk hiburan yang kadang sedikit menggeser budaya komunalisme di kampung, dan yang pasti anak-anak sekarang akan lebih sering menonton televisi. Ah, semua itu tentu suatu masalah yang tidak usah menjadi focus yang penting sekarang tentunya anak-anakku bisa belajar dan membaca buku pinjaman perpustakaan di malam hari, tanpa ada hambatan. Kini tak ada alasan gelap, tapi tentu kemudian alasan akan berganti dengan alasan lain yang lebih canggih kalau anakku lalai mengerjakan tugas rumahnya. Ini wajar, tentu menjadi tantangan terbaruku, dan tentu tantangan baru buat orang tua wali, karena harus pinter-pinter mengatur waktu.

Malam itu selain menjadi malam pertama kampungku beranjak dari kegelapan, sekaligus menjadi malam istimewa karena bertepatan dengan hari meugang. Sebuah tradisi masyarakat Aceh menjelang bulan suci ramadhan untuk mengkonsumsi daging sapi. Malam itu mungkin beribu-ribu sapi di Aceh ini disembelih untuk memenuhi kebutuhan daging. Tak hanya para orang tua yang sibuk, anak-anakkupun tak mau kalah.

Di malam meugang inipun aku memahami bahwa barang lusuh ajaib itu setidaknya menumbuhkan kepercayaan diri dan optimisme masyarakat bahwa selama ini masyarakat masih diperhatikan. Keberadaan listrik ini tentu akan menjadi sebuah harapan baru akan majunya kampung Araselo.


 

0 komentar:

Posting Komentar