Selasa, 01 Oktober 2013

    Sekitar tahun 2001 yang lalu, ada perselisihan pendapat antara kedua orang tuaku. Kedua orang hebat ini mempunyai argument masing-masing untuk menentukan tempat yang nantinya menjadi sumurku untuk menimba ilmu. Maklum saja bagi sebuah keluarga yang baru pertama kalinya mempunyai anak yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMP, ini menjadi sesuatu yang harus benar-benar dipertimbangkan. Konon masalah ini tak berhenti di ruang sempit rumah tangga saja, kedua orang tuaku masing-masing mencari “koloni” dari luar rumah tangga, yang dianggap lebih pengalaman, mungkin untuk sekedar mencari bahan masukan atau tambahan argumentasi, biar lebih mantab. Ini artinya Ayah dan Ibuku sudah melibatkan pihak luar untuk memutuskan internal keluarganya, tentu ini akan menjadi tak mudah. terlebih ada keluarga besar yang ikut memberi masukan.
    Sebuah hal yang menarik di rumah kecil kami yang tentu sebagai latar belakang adanya perbedaan pendapat. Pertama latar belakang keluarga ayahku yang lebih didominasi oleh kalangan berpendidikan pesantren. Sehingga ayahku lebih memilih aku untuk meneruskan ke pesantren. Pertimbangan ini juga dilatari dengan adanya pengaruh lingkungan yang semakin kuat daripada orang tua sendiri untuk mendidik anaknya. Maklum saja kedua ayah dan ibu orang sibuk yang bekerja di kantor. Masih jelas di ingatan sejak kecil pembantu rumah tangga menjadi orang tua keduaku. Itulah sebabnya ayahku lebih berat untuk memasukan ke pesantren dari pada SMP  karena selain pendidikan pesantren yang ketat, pengaruh lingkungan cukup minim.
Bagaimana dengan ibuku? Jelas ibuku adalah orang berlatar pendidikan bukan pesantren. Konon tujuh saudara ibu semua disekolahkan di sekolah pemerintah hingga setara diploma, hasilnya jelas semua sekarang menjadi pegawai. Tentu waktu itu ibuku lebih memilih aku untuk melanjutkan ke jenjang SMP non-pesantren. Selain alasan berijazah juga karena bercermin dari keluarga ibuku semua anak-anaknya sekolah dipendidikan formal kota. Keluarga besar ibuku sangat mencerminkan bagaimana hasil pendidikan formal yang pluralistik dan sekularis. Dari sisi pergaulan, keluarga besar ibuku cukup luas, banyak teman dan jaringan itulah ciri keluarga besar dari ibuku. Mereka hingga kini mengisi berbagai profesi mulai dari dosen, dokter hingga pengusaha.  Dari sisi keragaman sebagai hasil pendidikan juga terlihat dari perbedaan kenyakinan dan agama yang mereka yakini. Keluarga ibuku terpecah dalam dua kenyakinan karena pergaulan dan keterbukaan mereka terhadap pengaruh selama dalam masa pendidikan.  
    Latar belakang kedua orang tuaku ini terlihat juga dalam perjalanannya mendidik anak-anaknya. Aku sangat beruntung karena keduannya memang sepakat untuk gotong royong saling mengisi. Waktu mahrib tiba, ayahku bersiap untuk menggembleng dasar-dasar ilmu agama, mulai dari membaca iqro’, sholat, dan bersuci setidaknya hingga aku lulus sekolah dasar. Sehabis sholat Isyak peran bergeser ke ibu, dia selalu membimbing belajar dan mengejarkan pekerjaan rumah hingga pukul sembilan malam.
    Lalu bagaimana hasil akhir dari dua perdebatan itu. tentu kemudian ada kompromi dalam perdebatan ini. nampaknya keduanya gak mau mengalah karena ini soal masa depan anaknya. Hingga suatu saat ada sebuah informasi datang ke telinga ayah. Bahwa ada pondok pesantren yang mengharuskan santrinya sekolah. Jelas kemudian ayahku langsung tertarik untuk mencari info lebih dalam soal sekolah ini. tak lama informasi yang terkumpul cukup banyak, kemudian terjadi dialog antara ayah dan ibu. Disitulah kemudian lahir sebuah kesepakatan bersama untuk menyekolahkanku dalam dua alam yaitu alam pondok pesantren dan alam sekolah formal atau yang dikenal dengan pesantren modern. Keputusan itu cepat, karena semua unsure keinginan telah terpenuhi dari masing-masing pihak. Unsure pesantren dan unsure sekolah formal yang terwadahi dalam satu tempat.
    Dari situlah kemudian aku mulai mengenal bagaimana kehidupan pesantren dan sekolah formal. Kehidupanku kemudian berubah tiga ratus delapan puluh derajat, karena harus menyelami kehidupan yang padat dan penuh pengalaman. Sekarangpun aku baru sadar bagaimana dahulu ayah dan ibu berbeda pendapat hingga berakhir pada sebuah kompromi yang cerdas untuk menyekolahkan aku di pesantren dan sekolah formal sekaligus. Dan tentu aku baru merasakan hasil yang lebih ketika menjalani kedua macam pendidikan ini. Semua tadi adalah hasil usaha keras kedua orang tuaku untuk menjadikan aku anak yang berguna. Terimakasih ayah ibu.   


0 komentar:

Posting Komentar