Selasa, 01 Oktober 2013

HARI Pendidikan Daerah (Hardikda) ke 54 dimeriahkan oleh berbagai seremonial yang senyatanya bersifat insidental. Sesuai amanah yang disampaikan oleh Gubernur Zaini Abdullah, sesungguhnya masih ada pekerjaan rumah yang selalu mengikuti langkah kita. Langkah kita bersama membenahi mutu pendidikan Aceh.

Salah satunya adalah refleksi tentang kesenjangan peran pelaku pendidik formal dan non formal.  Segelintir masyarakat masih memandang bahwa pendidikan adalah peran dinas pendidikan, majelis pendidikan, UPTD, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru saja. Sehingga saat ada terjadi kegagalan mencapai target pada ujian nasional beberapa waktu lalu, sekelompok aktor formal pendidik ini yang disalahkan. Memang hal ini wajar karena mereka adalah perpanjangan tangan negara yang mempunyai kewajiban konstitusional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, senyatanya semua pihak mempunyai andil yang sama. Lebih adil kiranya jika “kue” peran pendidik ini kita rumuskan kembali.

Banyak teori yang menyebutkan bahwa lingkungan sangat berpengaruh dalam mencetak generasi muda. Pada bagian ini pendidik non formal patut mengisi perannya. Contoh yang umum tentang motivasi anak dalam belajar. Seorang anak tentu akan memiliki etos belajar yang bagus ketika lingkungan sekolah mendukung dan berbanding lurus dengan lingkungan keluarga yang juga mendukung. Keluarga yang kondusif, dengan orang tua yang selalu memperhatikan pola belajar anak dan memberikan stimulus-stimulus dalam bentuk perhatian dan kasih sayang. Keluarga menjadi katalisator kesuksesan anak.

Lingkungan pendidikan (baca : sekolah) tidak terlepas dari pengaruh  lingkungan sekitar. Sekolah tidak dapat diisolasi dari hiruk-pikuk masyarakatnya. Senyatanya sekolah adalah model sebuah masyarakat mini. Sekolah adalah tempat anak didik belajar tentang bagaimana hidup. Sekolah justru harus lebih “dikawinkan” lagi oleh lingkungan masyarakat, karena masyarakat juga merupakan alat pembelajaran yang hidup dan nyata bagi peserta didik.

Bagaimana momentum Hardikda kita arahkan untuk memperbaiki kondisi ini? Tentu dengan optimisme menata kembali keseimbangan peran masyarakat sebagai pendidik non formal dan lembaga pendidikan sebagai pendidik formal dalam kancah belajar mengajar. Bahasa populernya adalah menciptakan sebuah “ekosistem pendidikan”. Istilah ini diadopsi dari Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class (2002) yang dikutip Yudi Latif dalam tulisan perspektifnya “Memuliakan Talenta” (2013). Ekosistem pendidikan menciptakan sebuah lingkungan kondusif yang semaksimal mungkin mendukung dan mendorong peserta didik untuk tumbuh dan berkembang. Ekosistem pendidikan ini bagaikan lingkungan tempat ikan hidup, yang tidak hanya didukung oleh adanya asupan makanan yang mencukupi. Lebih dari itu, ikan membutuhkan tingkat keasaman air yang terkontrol, kuantitas predator dan penyakit yang relatif rendah, serta yang terpenting adalah adanya daya dukung komponen lingkungan seperti adanya tumbuhan dan komponen alam lainnya sebagai tempat berlindung yang nyaman bagi ikan.

Ekosistem pendidikan dapat tercipta ketika ada kesadaran tingkat tinggi dari pihak masyarakat untuk berperan aktif mengawal pelaksanaan pendidikan. Masyarakat ikut terlibat dalam menciptakan suasana kondusif dan teladan bagi generasi yang sedang dicetak. Bayangkan ketika semua pihak berperan dalam mensukseskan pendidikan. Semua berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan perannya masing-masing. Segelintir anggota masyarakat yang mempunyai hak dan otoritas dalam mengontrol lingkungan dalam skala lebih luas misalnya, menciptakan kebijakan yang mendukung terciptanya suasana kondusif untuk anak didik. Contoh lainnya mahasiswa yang beruntung karena dianggap lebih terdidik, ikut terlibat aktif membimbing adik-adiknya di lingkungan “gampongnya” masing-masing. Bisa juga para bapak atau ibu yang duduk di lingkungan legislatif, yudikatif, dan eksekutif ikut berperan aktif dalam dunia pendidikan, minimal memperhatikan anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya yang masih duduk di bangku sekolah. Tentu semua akan terlihat indah dan harmonis ketika semua sinergis.

Aceh dalam konteks lokalitas atau local wisdom telah mempunyai modal untuk menciptakan ekosistem pendidikan. Contoh riilnya adalah Aceh mempunyai perpustakaan gampong yang jika digelorakan kembali akan menjadi salah satu wahana dalam menciptakan atmosfer pendidikan yang lebih bergairah. Aceh juga mempunyai balai-balai, warkop atau cafe sebagai ruang diskusi yang representatif dan memungkinkan dukungan dunia pendidikan dari para pihak pendidik non formal. Belum lagi keberadaan dayah yang sejak dahulu ikut membentuk generasi muda Aceh. Di pelosok-pelosok gampong Aceh juga mempunyai jam belajar yang padat, terutama untuk mengkaji ilmu agama. Ini berpotensi baik sebagai proteksi terhadap pengaruh-pengaruh budaya global yang kurang sesuai dengan keluhuran budaya lokal. Masih banyak kearifan lokal Aceh lainnya yang berpotensi besar sebagai embrio untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih sinergis antara satu pihak dengan yang lainnya.

Kita harus mulai memiliki pandangan tentang prioritas untuk menciptakan ekosistem pendidikan bagi generasi Aceh yang lebih baik. Baik pihak yang secara langsung diamanahi oleh undang-undang atau para pendidik non formal yang mempunyai kewajiban moral atas ini. Seperti yang selalu dikatakan oleh pendiri Gerakan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan bahwa “mendidik bukan hanya tugas guru semata, tetapi mendidik adalah tugas bagi orang-orang terdidik”. *opini ini dipublikasikan oleh Atjeh post

0 komentar:

Posting Komentar